Mongabay.co.id

Foto: Mandi di Sungai Musi, Sehatkah?

 

 

Puluhan warga, dari anak-anak hingga orangtua, mandi dan mencuci di tepian Sungai Musi. Mereka tidak peduli jika air Sungai Musi tercemar, mulai dari limbah rumah tangga, rumah sakit, industri rumah tangga, pabrik, hingga limbah perkebunan yang berada di huluan sungai yang panjangnya sekitar 750 kilometer.

“Sejak kecil, kami mandi di sini, Dik. Sehat-sehat saja,” kata seorang warga kampung 14 Ulu, yang tengah menyikat giginya terus berkumur dengan air Sungai Musi berwarna coklat kehitaman.

Baca: Denyut Nadi Bahari di Jembatan Ampera

 

Warga di tepian Sungai Musi merasa sehat-sehat saja meskipun mandi menggunakan air Sungai Musi yang tercemar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selain orang dewasa, anak-anak dari balita hingga usia sekitar sepuluh tahun, mandi di sepanjang tepian Sungai Musi.

Aktvitas mandi sore yang dilakukan masyarakat 14 Ulu, yang kampungnya berada di antara Jembatan Ampera dan Jembatan Musi VI, dilakukan berurutan. Sekitar pukul empat sore, anak-anak mulai menceburkan diri ke Sungai Musi, diikuti kelompok perempuan atau ibu rumah tangga sekitar pukul lima sore, dan menjelang magrib baru laki-laki yang datang.

“Sore, setelah bermain biasanya kami dan teman-teman selalu mandi di sini, lebih enak mandi di sungai daripada di rumah,” kata seorang anak yang kemudian langsung terjun ke Sungai Musi.

 

Anak-anak mandi di tepi Sungai Musi tanpa peduli sampah dan limbah industri. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Apakah setiap rumah di tepian Sungai Musi tidak memiliki kamar mandi? “Punya, hampir semua rumah di sini punya. Sudah ada air PDAM-nya. Tapi, untuk mandi sore, kami sudah terbiasa mandi di Sungai Musi, nyaman dan bebas. Tapi banyak juga yang mandi di pagi hari,” kata seorang warga lainnya.

Mereka menetap di rumah rakit, perahu tongkang, menggunakan langsung air Sungai Musi. Sama seperti di masyarakat di tepian Sungai Musi, mereka menggunakan air PDAM atau air mineral kemasan untuk masak dan minum.

 

Mandi merupakan kegiatan yang dilakukan masyarakat di tepian Sungai Musi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dipenuhi limbah berbahaya

Dikutip dari walhisumsel.or.id, sepanjang 2016, Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan [LHP] Sumatera Selatan telah melakukan pemantauan di 72 titik sungai dengan metode storet. Hasilnya, 41 lokasi tercemar berat dan 31 lokasi tercemar ringan. Storet merupakan cara untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan.

Sungai Musi masuk pada kondisi tercemar berat. Ada tiga titik pantau di sepanjang sungai ini, di kawasan Kota Palembang, yang jika dibiarkan kondisinya kian memprihatinkan: kawasan Pulokerto [Gandus], kawasan Jembatan Ampera, dan Borang.

 

Ibu-ibu mandi dan mencuci di tepian Sungai Musi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ancaman lainnya adalah, beragam aktivitas industri yang menghasilkan limbah merkuri. Hasil penelitian Eddy, dkk [2012] menunjukkan, Sungai Musi, tepatnya antara Polokerto sampai Pulau Salah Nama telah tercemar merkuri.

Kadarnya dalam air berkisar 17,250 – 21,750 ppb, sementara kadar merkuri di sedimen antara 1.125 – 2.521 ppb. Keberadaan merkuri dalam air dan sedimen dapat menyebabkan terakumulasi dengan biota yang ada, termasuk ikan. Sebab, logam merkuri mudah masuk ke tubuh ikan melalui proses rantai makanan.

 

Sungai Musi bukan hanya sebagai tempat mencuci, mandi, juga sumber air bersih meski kualitas airnya tercemar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Data pencemaran lain, penelitian yang dilakukan Yuanita Windusari dan Netta Permata Sari terkait kualitas perairan Sungai Musi Palembang tahun 2015 menunjukkan, kadar amoniak di Sungai Musi yang berasal dari air seni dan tinja sebesar 0,8 mg. Nilai ini berada di atas nilai baku mutu yang hanya 0,5 mg. Amoniak umumnya bersifat basa, pH di atas 8.

Kandungan nitrat dalam amoniak dapat menyebabkan terjadinya sindrom blue baby, bayi mengalami rendah oksigen dikarenakan hemoglobin tidak dapat mengangkut darah yang berisi oksigen sebagaimana mestinya. Sindrom ditandai dengan kulit di sekitar mata dan mulut berwarna biru atau keunguan.

 

Mandi di tepian Sungai Musi, sehatkah? Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bukan hanya itu, limbah sampah rumah tangga berperan meningkatkan nilai klorida di Sungai Musi sebesar 5,6 mg, jauh melampaui batas maksimum di sungai yang ditetapkan sebesar 0,3 mg.

Limbah industri pabrik serta rumah sakit yang berada di sekitar aliran Sungai Musi juga menyebabkan total coliform atau bakteri sebesar 2.400 koloni per 100 ml, lebih tinggi dibandingkan total coliform pada baku mutu perairan yang hanya sebesar 1.000 koloni per l00 ml.

Berbagai macam zat berbahaya yang terkandung di air Sungai Musi tentu akan berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat di tepian sungai. Alasannya, mereka sangat bergantung pada sungai, baik untuk kebutuhan rumah tangga, ekonomi, maupun sebagai sarana transportasi.

 

Rumah-rumah panggung yang masih bertahan di kampung 14 Ulu, Palembang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menghadapi musim pancaroba seperti sekarang, warga tepian Sungai Musi harus waspada terhadap berbagai macam penyakit seperti diare, yang diakibatkan lingkungan tidak sehat.

Dikutip dari laporan profil kesehatan Kota Palembang, jumlah penderita diare rentang 2012-2016 sebanyak 37.896 kasus.

Penelitian terbaru kondisi Sungai Musi penting dilakukan. Mengingat, masyarakat di tepian Sungai Musi menggunakan airnya langsung, di tengah industri, rumah tangga, mall, dan rumah sakit, yang terus mengalirkan limbahnya.

 

*Nopri Ismipenulis lepas dan menyukai fotografi, mengikuti pelatihan jurnalistik Mongabay Indonesia di Palembang pada 2017 dan 2018

 

 

Exit mobile version