Mongabay.co.id

Pohon Natal dari Plastik dan Ecobrick, Sebuah Praktik Pertobatan Ekologis

 

Sejumlah pria tengah menata dengan rapi botol-botol bekas air mineral. Sekilas, tak ada bedanya dengan botol lainnya. Namun, ternyata botol bekas itu telah diisi potongan-potongan plastik. Itulah yang disebut sebagai ecobrick. Mereka menata ecobrick menjadi pohon natal di Gereja Katedral Kristus Raja, Purwokerto, Jawa Tengah. Pohon natal yang terbuat dari ecobrick memang cukup unik, karena lazimnya pohon natal bentuknya cemara, baik pohon hidup atau cemara plastik.

Tetapi tahun ini, berbeda. Gereja Katedral, Purwokerto sengaja memanfaatkan plastik yang kemudian dibentuk menjadi ecobrick untuk dijadikan pohon natal.

“Kami, umat Katolik, memiliki keprihatinan besar terhadap apa yang dialami oleh bumi. Bumi semakin panas, karena telah terjadi pemanasan global atau global warming. Pencemaran di mana-mana. Bahkan, pencemaran plastik telah membuat ikan mati. Atau ikan yang mengonsumsi plastik, akhirnya juga dimakan manusia. Tentu saja, ini akan berdampak bagi kesehatan,”ungkap Pastor Kepala Gereja Katedral, Purwokerto, Romo Sulficius Parjono Pr saat ditemui pada Senin (16/12).

baca : Uniknya Pohon Natal dari Sampah

 

Umat Gereja Katedral Kristus Raja Purwokerto, Jateng, sedang mengecek ecobrick yang digunakan untuk pembuatan pohon natal. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Keprihatinan itu kemudian diwujudkan dalam refleksi teologis yakni pertobatan ekologis yang dicanangkan pada September lalu. “Salah satu implementasi dari kepedulian terhadap bumi adalah bagaimana menjaga bumi. Secara sederhana, kami memahaminya adalah ikut bersama-sama mengelola sampah. Mulai dari rumah masing-masing. Untuk itulah, sejak September lalu, dari 1.300 keluarga yang menjadi umat di Gereja Katedral memuat ecobrick. Mengumpulkan sampah plastik dan dimasukkan ke dalam botol bekas air mineral,”jelasnya.

Jadi, kata Romo Parjono, pertobatan ekologis tidak semata-mata hanya bentuk keprihatinan, tetapi aksi nyata dari umat. “Ada perubahan sikap yang harus dilakukan. Artinya, umat Katolik harus merefleksikan bagaimana pencemaran plastik sudah terlalu memprihatinkan, sehingga ada perubahan sikap untuk tidak mengonsumsi plastik. Jika masih tetap menggunakan plastik, maka harus ada tanggung jawab mengelolanya. Sikap yang dapat dilaksanakan dalam keseharian adalah kalau belanja silakan membawa tas sendiri. Atau dalam pertemuan-pertemuan, sudah tidak lagi memakai air mineral dalam kemasan plastik. Silakan membawa botol sendiri-sendiri, panitia atau yang punya acara menyiapkan airnya,” katanya.

Ketua Panitia Natal Gereja Katedral Purwokerto Ignatius Heru Santosa mengatakan dalam setiap keluarga diberi tanggung jawab untuk membuat ecobrick. Dalam pembuatan ecobrick, umat tidak boleh menggunakan plastik baru, melainkan plastik bekas sehingga benar-benar sebagai upaya mengurangi plastik di lingkungan rumah dan sekitarnya. “Di Gereja Katedral, ada 20 lingkungan (wilayah). Masing-masing lingkungan ada sekitar 50 keluarga. Sehingga kalau dalam satu keluarga membawa tiga ecobrick, maka akan terkumpul sebanyak 3 ribu ecobrick,”jelas Heru.

Menurut Heru, pihaknya membuat pohon natal dengan diameter bawah 4 meter dan ketinggian 6 meter. “Setelah dihitung-hitung, untuk membuat pohon natal membutuhkan setidaknya 2 ribu ecobrick. Sedangkan 500 ecobrick digunakan untuk kaki-kaki pohon natal. Sedangkan 500 sisanya dipakai untuk membuat gua,”ujarnya

baca juga : Pesona Pohon Natal Berbahan Daur Ulang ala Nangalimang

 

Konstruksi bagian dalam pohon natal ecobrick. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Menurut Heru, untuk membuat satu ecobrick, maka dibutuhkan sekitar 200-250 gram plastik bekas. Plastik bekas tersebut dimasukkan ke dalam botol dan dimampatkan sehingga benar-benar penuh. “Secara total, kalau dihitung untuk pembuatan pohon natal dan gua natal, maka membutuhkan kisaran 6-7,5 kuintal plastik bekas. Jadi, kami bersyukur mampu mengurangi sampah plastik sebanyak itu,”katanya.

Ia mengatakan bahwa pihak gereja menempatkan di halaman gereja sebagai bagian dari kampanye kepedulian lingkungan. Pohon natal merupaan pohon terang yang diharapkan menerangi lingkungan sekitar. Artinya, dengan adanya pohon natal berbahan ecobrick, diharapkan juga dapat mengajak masyarakat ikut serta mempedulikan lingkungan, salah satunya adalah dengan mengelola sampah plastik.

Lalu bagaimana setelah natal usai, mau diapakan? Menurut Heru, panitia telah memiliki rencana untuk memanfaatkan kembali ecobrick. “Setelah natal usai, kami akan menggunakan ecobrick tersebut untuk membuat kerajinan, meja, kursi, dan bahkan untuk tembok pengganti semen. Semuanya tidak akan sia-sia, karena dapat dimanfaatkan kembali.”

Ternyata tak hanya di Gereja Katedral saja yang memanfaatkan limbah plastik. Di SD Karitas Purwokerto, misalnya, juga membuat pohon natal berbahan baku limbah plastik. Umumnya, limbah plastik yang dimanfaatkan adalah bekas bungkus mi instan dan kopi. “Kami mengimplementasikan apa yang disebut dengan pertobatan ekologi. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan sampah plastik untuk pembuatan pohon natal. Ini merupakan bentuk dari upaya perubahan pola hidup dan mendidik anak-anak sedari kecil agar mempedulikan soal sampah, khususnya mengelola sampah plastik,”kata Kepala SD Karitas Purwokerto Maryatun.

perlu dibaca : Cerita Ponpes Berwawasan Lingkungan yang Menuju Kemandirian

 

Pohon natal dengan bahan baku limbah plastik di halaman SD Karitas Purwokerto. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dia mengatakan bahwa keputusan sekolah untuk membuat pohon natal berbahan baku limbah pastik sekitar sebulan lalu. Begitu ada keputusan mengenai pembuatan pohon natal dari limbah plastik, maka siswa, orang tua wali dan guru bekerja untuk mengumpulkan sampah-sampah plastik. “Tidak hanya dari rumah saja sampahnya, melainkan juga dari tetangga dan warung-warung. Ternyata baik siswa, orang tua, dan guru sangat antusias untuk mengumpulkan,”ujarnya.

Setelah terkumpul, maka sampah-sampah tersebut dirangkai dengan menggunakan benang. “Banyak yang ikut terlibat pada kegiatan meronce sampah-sampah plastik yang umumnya adalah bekas bungkus mi instan dan kopi. Sampah-sampah plastik yang telah dironce, kemudian dipasang di sebuah bambu yang telah dibentuk menyerupai piramida. Diameter bawah sekitar 4 meter dan tinggi pohon natal 8,6 meter. Bentuknya sederhana, tetapi makna mendalam ada di balik pembuatan pohon natal ini, yakni kepedulian umat Katolik terhadap lingkungan,”tandasnya.

Maryatun mengungkapkan setelah usai natal, limbah plastik tersebut tidak dibuang begitu saja, namun dimanfaatkan untuk pembuatan ecobrick. “Ada tidak lanjut dari pemanfaatan dari limbah plastik pohon natal, yakni sebagai bahan membuat ecobrick. Sehingga pascanatal, kegiatan lanjutannya adalah membuat ecobrick. Kalau sudah jadi ecobrick, akan bisa dijadikan meja, kursi dan lainnya dan akan diletakkan di lingkungan sekolah,”tambahnya.

 

Siswa SD Karitas ikut serta menempelkan sampah plastik untuk pembuatan pohon natal. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sejumlah siswa SD Karitas sangat antusias untuk ikut serta meronce dan memasangnya di pohon natal. “Saya ikut membuat pohon natal sudah beberapa hari. Sebelumnya ikut meronce di dalam kelas bersama guru dan orang tua wali. Setelah rampung, kemudian dipasang untuk membuat pohon natal. Saya bersama orang tua mengumpulkan sampah-sampah plastik tidak hanya dari rumah, melainkan juga dari warung-warung,”kata Veronica (10) murid SD setempat.

Siswa lainnya, Brandon (10) mengaku senang mengumpulkan sampah plastik, membersihkan, kemudian meronce. “Sampah plastik yang langsung dibuang akan mencemari lingkungan. Tetapi ternyata ada manfaatnya kalau dikelola. Salah satunya adalah untuk pembuatan pohon natal ini.”

Pohon natal yang berada di Gereja Katedral, Purwokerto dengan bahan baku ecobrick dan pohon natal di SD Karitas Purwokerto menjadi bagian penting dari upaya ikut peduli terhadap lingkungan. Apalagi, sejak SD sudah ada edukasi mengenai kepedulian terhadap pengelolaan sampah plastik.

 

Exit mobile version