Mongabay.co.id

Pohon Natal Pengingat Masalah Lingkungan di Bali

 

Ketut Suarca, pecalang (petugas keamanan desa adat di Bali) berjaga di depan gereja GPIB Maranatha, Denpasar, jelang perayaan malam Natal. Ia mengenakan kain (kamen) dan udeng (ikat kepala) khas pakaian adat Bali dengan seragam pecalang desanya.

Ia dan rekannya berjaga di depan gereja, sekitar pohon natal yang keseluruhannya terbuat dari ratusan kemasan minuman kaleng beraneka merek. Kaleng-kaleng minuman aluminium ini digunting lalu ditekuk jadi berbentuk bunga, kemudian dirangkai menjadi tiga buah pohon natal.

Gereja ini kerap berkreasi dengan sampah dalam membuat hiasan pohon natal tiap tahunnya. “Sebelumnya pernah botol bekas dan pipet,” ingat Ketut yang rajin ditugaskan berjaga mengamankan warga yang beribadah di sekitar gereja ini. Di Bali, banyak desa adat bekerja sama mengamankan tempat ibadah non Hindu.

GPIB Marantha di Jl. Surapati, Denpasar ini tahun-tahun sebelumnya membuat kreasi pohon natal dari pipet (2018) dan plastik mika (2017). Unsur utamanya limbah plastik.

baca : Pohon Natal dari Plastik dan Ecobrick, Sebuah Praktik Pertobatan Ekologis

 

Tiga buah pohon natal terbuat dari kaleng bekas minuman beraneka merek di GPIB Maranatha, Denpasar, pada perayaan Natal 2019. Gereja ini rutin membuat kreasi dari limbah plastik. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Masalah laten

Perilaku menusia dan kurangnya infrastruktur terlihat di Kebun Raya Bedugul, Tabanan. Pada 22-23 Desember sebaran sampah di kawasan taman dan hutan terluas di Bali ini sangat menyulitkan petugas kebersihan. Selama musim liburan, pengunjung memang membeludak, bahkan kemacetan sudah dimulai dari kebun raya saat sore hari.

Semua tong sampah penuh dan meluber di rerumputan. Bahkan tak sedikit terlihat pengunjung membiarkan sampah plastiknya seperti kemasan minuman berserakan di beberapa sudut taman. Dibiarkan begitu saja ketika usai piknik. Tak hanya di kebun raya, sebaran sampah plastik terutama kemasan minuman dan kresek juga nampak memenuhi parkiran Pura Ulun Danu Beratan. Tong sampah juga meluber.

Pengelolaan sampah sampai kini jadi momok di pulau dewata pusat industri pariwisata ini. Volume sampah meningkat dan sejumlah TPA kini tak sanggup menampung alias overload, berujung kebakaran dan konflik dengan warga sekitar.

Tahun ini, sedikitnya terjadi belasan hari kebakaran di TPA Suwung, Temesi, dan Klungkung. Warga desa sekitar TPA Suwung yang terluas dan jadi tempat penampungan sampah sejumlah kabupaten kini sudah melarang truk luar Denpasar membuang sampahnya.

baca juga : Darurat Pengelolaan Sampah di Bali, Rentan sebabkan Konflik Sosial dan Ekonomi. Seperti Apa?

 

Pemandangan sebuah tempat pembuangan sementara yang meluber ke tengah jalan raya di samping mall di Denpasar pada 24 Desember 2019. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sampah yang belum tertangani di Bali lebih dari 2000 ton per hari (52%). Ini sekitar 100 truk dengan muatan maksimum 20 ton. Tak heran, hampir semua Tempat Pembuangan Akhir (TPA) penuh.

Belum lagi sampah laut yang akan terdampar di daratan pada akhir tahun sampai awal tahun yang terjadi rutin saat hujan dan angin Barat. Pada saat puncaknya, ratusan ton sampah anorganik dominan plastik akan terdampar di hampir seluruh pesisir Bali terutama di Selatan, pusat wisata. Misalnya pantai Kuta, Legian, Jimbaran, sampai Nusa Penida.

Di sisi lain, regulasi soal penanganan dan pengelolaan sampah cukup banyak dibuat tahun ini oleh Pemkot dan Pemprov Bali. Kampanye Gerakan Nasional Pilah Sampah dari Rumah pun dihelat oleh Kementrian Kehutan dan Lingkungan Hidup pada 22 Desember 2019 di Lapangan Renon, Denpasar.

Terakhir Gubernur Bali I Wayan Koster mengeluarkan Peraturan Gubernur No.47/2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber pada Kamis (21/11/2019) di Denpasar. Sampah harus diselesaikan sedekat mungkin dengan sumber sampah, dan seminimal mungkin yang dibawa ke TPA, hanya residu. Demikian idenya.

Sebelumnya sudah ada Pergub larangan penggunaan plastik sekali pakai seperti sedotan, kresek, dan styrofoam. Namun masih banyak toko yang menjualnya.

Kondisi TPA di Kab/Kota sebagian besar diakui bermasalah seperti melebihi kapasitas (overload), kebakaran, pencemaran air tanah, bau, dan lainnya. Sampah yang belum tertangani dengan baik ini ada yang dibakar (19%), dibuang ke lingkungan sekitar (22%), serta terbuang ke saluran air (11%).

Gubernur Bali Wayan Koster pada pidato akhir tahunnya, 20 Desember lalu mengakui ada tantangan Pergub ini sehingga ia berharap memperluas jangkauan penerapan kebijakan pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai sampai di Desa/Desa Adat, pasar, sekolah, dan komunitas lainnya.

Juga pengelolaan sampah berbasis sumber di Desa/Desa Adat, pasar, sekolah, dan komunitas lainnya. Akan dilakukan gerakan yang melibatkan partisipasi para pihak dalam pengelolaan sampah berbasis sumber dan membangun budaya hidup bersih.

Pengelolaan sampah di sumber sampah memang ideal. Namun, pengalaman sejumlah Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di Bali yang overload karena cenderung ditimbun tanpa pengolahan penting jadi pijakan.

Jumlah timbulan sampah di Bali yang mencapai 4,281 ton/hari. Dari jumlah itu yang sudah bisa tertangani dengan baik diklaim sebanyak 2,061 ton/hari (48%).

perlu dibaca : Setelah Gagal, Pembakaran Sampah Jadi Listrik Kembali Dilakukan di Bali

 

Wacana tidak memberikan kresek pada pembeli di Pasar Badung, namun sampai akhir Desember masih terlihat banyak yang menyediakan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pergub ini merangkum apa yang sudah diatur dalam sejumlah regulasi seperti UU dan Perda pengelolaan sampah. Pasal 24 berbunyi sampah residu dari kegiatan pengelolaan sampah di sumber sampah wajib diangkut dan diolah di TPA.

Peran masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga antara lain menggunakan barang dan/atau kemasan yang dapat didaur ulang dan mudah terurai oleh proses alam, membatasi timbulan sampah dengan tidak menggunakan plastik sekali pakai, dan menyetor sampah yang tidak mudah terurai ke alam ke Bank Sampah atau Fasilitas Penampungan Sementara (FPS). Tak ada sanksi pidana dalam Pergub ini, hanya sanksi administrasi.

Peraturan Gubernur ini juga mengatur tentang kewajiban produsen untuk melakukan pengurangan sampah dengan cara menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk untuk didaur ulang, diguna ulang dan dimanfaatkan kembali. Dengan menunjuk Bank Sampah unit, Bank Sampah sektor, dan Bank Sampah induk di setiap kabupaten/kota sebagai FPS.

Luh Kartini, dosen pertanian Universitas Udayana dan ahli tanah yang juga salah satu tim penyusun Pergub ini meyakini manfaat regulasi ini jika diterapkan. Apabila warga mengolah sampah dari rumah, dan TPST mampu memproduksi kompos dari sampah organik, maka mengurangi ketergantungan pembelian pupuk organik dari luar Bali.

“Dinas Pertanian beli pupuk organik 10 ribu ton per tahun, harus dikawal agar Bali bisa produksi pupuk organik berkualitas,” kata perempuan yang menekuni cacing tanah ini. Dari hitungannya, jika 5% sampah organik bisa diolah jadi pupuk kompos, maka menghasilkan sekitar 42 ribu ton kompos per tahun. Ini mendukung wacana Bali pertanian organik yang sudah dicanangkan.

Menurutnya tak sedikit pupuk organik tidak berkualitas karena dicampur bahan lain yang tak bernutrisi. Kartini berharap pupuk dari komposting yang dihasilkan desa-desa bisa dibeli pemerintah.

 

Exit mobile version