Mongabay.co.id

Bertahan Hidup di Tengah Berbagai Bencana Ekosistem

Sejumlah siswa menggunakan masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Meskom, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Selama tahun ini, Indonesia mengalami kebakaran hutan dan dan lahan (karhutla). Mencermati data BNPB di tahun 2019 terdapat 2.862 titik api. Pada peristiwa sebelumnya, karhutla di tahun 2015 menyebabkan 2,6 juta hektar lahan terbakar (meliputi provinsi Kalteng, Kalbar, Kalsel, Kaltim, Riau, Jambi, Sumsel) menyebabkan kerugian mencapai Rp. 221 trilyun.

Secara aspek sosial, dapat dipastikan karhutla menimbulkan dampak serius bagi aktivitas ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan. Apabila kerugian dalam bentuk fisik baik ekonomi, pendidikan, kesehatan maupun infrastruktur dapat dihitung, tentu saja kerusakan ekosistem tidak sepenuhnya dapat dipulihkan sepert sediakala.

Menurut hemat penulis, jasa baik ekosistem tidak dapat dinilai dari ekonomi semata tetapi tidak terhitung karena hal vital yang mendukung kehidupan manusia dan makhluk Tuhan lainnya. Sebagai bukti, pemanfaatan lahan gambut yang tidak sesuai peruntukannya akan menyumbang emisi gas rumah kaca seperti CO2, metana, nitrogen oksida.

Selain itu, lahan gambut sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (Harsono, 2012). Lahan gambut menjadi ladang industri sejak tahun 1990-an.

Baca juga: Bank Dunia: Kerugian Indonesia akibat Dampak Karhutla 2019 Capai Rp 72,95 Triliun

Lahan gambut menjadi salah satu ekosistem yang mengalami kerusakan yang menyebabkan karhutla dan kabut asap yang menghasilkan polusi udara. Polusi udara tersebut memicu gangguan kesehatan ringan hingga ancaman kesehatan yang serius yaitu kerusakan paru-paru.

Kerusakan ekosistem yang menyebabkan polusi udara parah menimbulkan ancaman serius bagi kaum marjinal. Yang pertama, kelompok masyarakat miskin dan kedua kelompok masyarakat yang mata pencahariannya tergantung pada alam.

Tanpa adanya kabut asap, kelompok miskin sudah bertarung untuk bertahan hidup dalam kesehariannya. Ketika terjadi kabut asap, kelompok ini yang lebih terpapar terhadap poluter dan tidak memiliki pilihan baik pilihan secara ekonomi maupun mendapatkan pilihan fasilitas kesehatan.

Sedangkan kelompok marjinal kedua yaitu peladang kecil atau peladang tradisional yang sudah turun temurun pun akan terancam kehilangan mata pencahariannya apabila kerusakan ekosistem semakin masif dan berulang. Maka, kelompok ini pun akan mengalami hal yang lebih rentan di masa depan. Penjabaran dua kelompok masyarakat ini perlu mendapatkan perhatian serius bagi pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan.

 

Ilustrasi: Membakar lahan untuk pertanian. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana jalan keluarnya? Hal yang abstrak yaitu kesadaran kolektif yang melibatkan pembuat kebijakan, pemangku kepentingan, pebisnis dan kelompok masyarakat umum mengenai sumber daya alam sebagai ‘pinjaman’, bukan lagi sebagai sumber ekonomi semata.

Manusia perlu memperhatikan daya dukung lingkungan sehingga tidak hanya eksploitatif tetapi juga perlu melakukan pemeliharaan secara berkelanjutan untuk kemudian memberikan manfaat bagi generasi saat ini dan generasi yang akan datang.

Baca juga: Catatan Penting Kolaborasi Pengelolaan Ruang untuk Pencegahan Bencana

Selain itu, praktek baik yang telah dan sedang dijalankan oleh kelompok masyarakat dalam mengelola ekosistem (baik hutan, lahan, sawah, maupun air) perlu menjadi bagian penting dalam program pembangunan. Namun, program pembangunan yang muncul dari grassroot yang menunjukkan potensi kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki praktek baik terhadap lingkungan hidup.

Bagi pemegang kebijakan, pemangku kepentingan maupun ilmuwan perlu memberi peluang bagi kelompok masyarakat membangun pemahaman dan pengelolaan yang adaptif berdasarkan lokalitas.

Fakta secara reflektif bahwa pengejaran ekonomi melalui industrialisasi menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan hidup yang berdampak langsung bagi kehidupan manusia. Di sisi lain, karhutla akan memungkinkan sering terjadi akibat ketidakpastian iklim yang merupakan gejala perubahan iklim ditandai berkurangnya curah hujan hingga permasalahan teknis yaitu kesalahan pengelolaan ekosistem.

Karhutla akan menyebabkan kelompok marjinal menanggung beban lebih berat karena kesulitan beradaptasi hingga ketiadaan pilihan. Maka, pilihan terakhir adalah bertahan hidup ‘apa adanya’ di tengah kondisi yang semakin terhimpit. Sebelum pilihan bertahan hidup ‘apa adanya’, maka kelompok masyarakat marjinal perlu didukung dengan perangkat eksternal adaptasi yaitu kebijakan pemerintah.

Kebijakan pemerintah perlu mendorong praktek adaptasi yang berbiaya rendah yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Praktek berbiaya rendah memiliki keterkaitan antara kebijakan ekonomi politik dan penggunaan sumber daya alam yang mendukung keberlanjutan (Adger et al., 2003).

Mencermati adaptasi perubahan iklim menjadi hal yang penting karena adaptasi merupakan upaya masyarakat merespon perubahan iklim. Salah satu penyebab karhutla tahun 2015 dan 2019 terjadi akibat El Nino yang merupakan indikasi perubahan iklim.

Dalam mengantisipasi perubahan iklim, Indonesia telah berkomitmen untuk menahan laju suhu bumi sebesar 2 derajat celcius melalui upaya menurunkan emisi gas rumah kaca  sebesar 29 persen pada tahun 2030 dan 41 persen dengan bantuan internasional.

Kembali pada topik karhutla, maka strategi adaptasi yang perlu diberikan negara kepada kelompok masyarakat yang bergantung kehidupannya pada jasa baik ekosistem adalah akses pengetahuan dan akses informasi terkait dengan anomali iklim.

Sehingga target negara dalam menurunkan emisi gas rumah kaca memiliki perbedaan dengan adaptasi yang dibutuhkan masyarakat. Adaptasi mengacu pada prinsip pemberdayaan masyarakat dan keadilan sosial, sedangkan kebijakan negara mengacu pada mitigasi yang berupaya menurunakan emisi gas rumah kaca (Locatelli et al., 2016).

Maka, untuk mendukung upaya bertahan hidup kelompok masyarakat masyarakat terutama masyarakat marjinal, negara memiliki kewajiban untuk mendukung dan memfasilitasi kemampuan adaptasi masyarakat.

 

Pengendara dengan menggunakan masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) saat melintas di salah satu jalan raya di Dumai, Provinsi Riau beberapa waktu lalu. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Foto utama: Sejumlah siswa menggunakan masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Meskom, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Referensi:

Kompas.com. 2019. Data Terkini Karhutla di Sumatera dan Kalimantan, Jumlah Titik Api Hingga Sebaran Asap.

Adek Media Roza. 2015. Rp221 Triliun Akibat Kebakaran Hutan.

Soni Sisbudi Harsono. 2012. Mitigasi dan Adaptasi Kondisi Lahan Gambut di Indonesia Dengan Sistem Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Wacana Edisi 27 Tahun XIV 2012, halaman 11-37. Insist Press.

Ica Wulansari & Ridzki R. Sigit. 2016. Bentang Lahan Gambut: Kebakara dan Sejaran Tata Kelolanya di Indonesia.

Tirto.id. 2019. Tiga Penyakit Akibat Kabut Asap Kebakaran Hutan di Kalimantan-Sumatera.

W. Neil Adger; Salemul Huq, Katrina Brown, Declan Conway & Mike Hulme. 2003. Adaptation to Climate Change in the Developing World. Progress in Development Studies, Volume 3 Issue:3, halaman 179-195.

Bruno Locatelli; Giacomo Fadele; Virginie Fayolle; Alastair Baglee. 2016. Synergies between adaptation and mitigation in climate change finance. International Journal of Climate Change Strategies and Management, Volume 8 Issue: 1, halaman.112-128.

 

Ica Wulansari, penulis adalah pengamat dan peneliti kajian sosial ekologi maupun politik lingkungan hidup. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version