Mongabay.co.id

Teror Tambang Batubara Hantui Warga Mandiangin

Penambangan batubara di Blok B milik PT Minemex. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Rosmalia hanya mengenakan daster ketika bersama puluhan warga Desa Talang Serdang, memblokade jalan tambang PT Minemex, pada 2012. Mereka menuntut kompensasi dari perusahaan yang telah mengeruk jutaan ton batubara di Kecamatan Mandiangin, Sorolangun, Jambi.

Mulai 2000-an pemerintah pusat dan daerah getol mengeluarkan izin tambang, kran bagi investor dibuka lebar. Pada 2016, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat 246 perusahaan mengantongi izin tambang batubara di Jambi. Pemerintah Jambi, mengklaim banyak catatan ganda yang membuat jumlah itu kelewat banyak.

Baca juga: Global Witness Beberkan Aksi Perusahaan Batubara Alihkan Uang Upaya Hindari Pajak?

Data Dinas ESDM Jambi tahun sama hanya ada 160 perusahaan memiliki izin tambang, menyusut jadi 144 akhir 2019 karena batas waktu berakhir.

Lebih 219.000 hektar lahan di Jambi, dikuasai pengusaha tambang batubara lewat 134 izin pemerintah. Investor asing ikut andil dengan mendanai 18 perusahaan batubara. Data terakhir Badan Geologi KESDM pada 2017, jumlah cadangan batubara di Jambi sebesar 1,1 miliar ton, terbesar kedua di Sumatera setelah Sumatera Selatan.

Saat batubara naik `daun, sebagian warga menjual lahan dan kebun mereka. Ribuan hektar lahan di Jambi, berubah jadi tambang, perkebunan karet tersapu rata. Cekungan raksasa mulai bermunculan dengan puluhan alat berat yang terus mengeruk emas hitam dari perut bumi. Ribuan truk hilir mudik mengangkut belasan ton batubara menjejali jalanan Jambi setiap hari. Deru alat berat terdengar siang malam hampir tanpa henti.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Energi Terbarukan Masih Terseok

Sarolangun, terkenal sebagai penghasil karet jadi kawasan tambang terbesar di Jambi. Kandungan emas hitam berlimpah membuat banyak investor datang. Sekitar 32 perusahaan tambang mendapat izin untuk mengeruk batubara di Sarolangun. PT Minemex, salah satunya.

Pada 16 Juli 2008, sesuai surat keputusan bernomor 32/2008, Bupati Sarolangun Hasan Basri Agus memberikan kuasa pertambangan pada Minemex di Kecamatan Mandingin seluas 3.700 hektar. Dalam catatan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) Minemex, izin menyimpan 62 juta ton batubara.

Sekitar 90% saham Minemex dikuasai PT Thriveni, perusahaan spesialis tambang terkemuka di India yang berdiri sejak 1991. Usaha tambang merentang dari bijih besi, tembaga, batubara, bauksit, grafit, batu kapur, hingga penambangan baryte dan granit. Dalam setahun Minemex menargetkan produksi tiga juta ton batubara.

Pertambangan masuk berdampak pada kerusakan lingkungan serius, sampai konflik dengan masyarakat Desa Talang Serdang dan Desa Taman Dewa.

Dua hari Rosmalia tak pulang ke rumah kala itu. Siang malam duduk menghalangi jalan truk pengangkut batubara. Antrian truk mengular hingga ke jalan lintas, panjang sampai seratusan unit.

Ibu dua anak itu menuntut Minemex memberikan kompensasi buat warga Talang Serdang. Leli tetangganya, juga tak lelah berteriak.

“Kami tuntut waktu itu [kompensasi] uang Rp2 juta setiap bulan, beras sama jaminan kesehatan,” kata Ros, panggilan Rosmalia, saat saya ditemui akhir Agustus lalu.

Perusahaan menyerah dan setuju beri kompensasi. Meskipun begitu, tak semua tuntutan warga Talang Serdang dituruti. Minemex hanya memberikan jatah beras dan susu kental manis. Sebagian keluarga dapat pembayaran premi BPJS Kesehatan setiap bulan, berkisar Rp180.000-Rp450.000. Kompensasi membuat ketegangan mulai mereda.

Belum setahun, masalah kembali muncul. Pada Juli 2014, izin operasi Minemex dicabut Pemerintah Sarolangun karena tebing mulut tambang longsor dekat pemukiman warga Desa Taman Dewa. Berbagai bentuk bantuan untuk warga disetop selama perusahaan tak beroperasi.

Tak lama Minemex kembali beroperasi setelah perubahan (addendum) amdal, rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) pertambangan batubara disetujui Pemerintah Sarolangun.

Dalam addendum, jarak mulut tambang Minemex sebelumnya 200 meter dari jalan lintas Sarolangun-Tembesi jadi 50 meter karena ada longsor. Minemex juga mengalihkan aliran Sungai Cempaka dan Sungai Rambai.

Masalah Minemex, belum selesai karena pengalihan sungai justru menimbulkan masalah baru. Dalam sebuah tayangan video berita Tribara TV, situs berita milik Polri, AKP Iskandar, Kapolsek Mandiangin periode 2017-2018 menyatakan, asrama dan musola Polsek Mandingin, kebanjiran karena dua sungai di sekitar gedung Polsek Mandiangin ditutup Minemex. Bangunan Polsek Mandiangin, rumah dinas dan asrama polisi juga retak. Tower milik Mabes Polri ikut miring.

Puluhan rumah warga Desa Taman Dewa dan Talang Serdang retak, terjadi krisis air dan berbagai pencemaran karena angkutan batubara. Mereka menuntut Minemex, bertanggung jawab.

 

Penampakan Sungai Cempaka, buatan perusahaan, setelah pengalihan dari alur sungai alaminya. Foto: Yitno Supraptp/ Mongabay Indonesia

 

Tuntut ganti rugi

Suatu petang pada 2016, Romiyanto, warga Desa Taman Dewa, datang bersama bapaknya, Haidir menemui Sukiman, ketua lembaga swadaya masyarakat berbasis di Mandiangin. Romi mengadu rumahnya rusak. Berulang kali ke Polsek Mandiangin, menemui Navin Balachantara pimpinan Minemex, tetapi tak juga dapat ganti rugi.

“Nangis-nangis dia (Romi) minta tolong,” kata Sukiman. “Tapi sayo tolak.”

Waktu itu, Sukiman masih mendampingi warga yang berkonflik dengan PT Era Mitra Agro Lestari (EMAL). Kini, EMAL punya Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMART) berganti nama, PT Bahana Karya Semesta.

Sukiman dikenal biasa dampingi warga. Beberapa kali perkara gugatan warga dia menangkan.

Awal 2017, Romi kembali datang menemui Sukiman dengan maksud sama. Sukiman bersedia membantu Romi dan puluhan warga Taman Dewa untuk mendapatkan ganti rugi dari Minemex.

Bantuan Sukiman tak cuma-cuma. Terang-terangan dia meminta jatah 20% dari total ganti rugi perusahaan kalau berhasil.

Rupanya bagian 20% tak membuat Romi dan warga Taman Dewa keberatan. Sukiman mendapat surat kuasa untuk menyelesaikan masalah dengan Minemex yang menahun tak selesai.

April 2017, Sukiman menemui Yakraman Yagus, Vice President External Relations Indonesia Coal Operation Thriveni. Yakraman menolak memberi ganti rugi.

Sukiman tak menyerah. Agustus 2017, dia mengumpulkan anggotanya dan puluhan warga untuk aksi di kawasan tambang Minemex. Dia menghubungi Yasdi, saudaranya yang tinggal di Kota Jambi. Lewat Yasdi, Sukiman mengundang banyak wartawan TV, cetak dan elektronik untuk meliput aksi demontrasi pada 21 Agustus 2017. Uang Rp3 juta dikirim untuk biaya transportasi wartawan.

Seorang videografer TV menyarankan, Sukiman memblokade jalan lintas Sarolangun-Tembesi, persis depan pintu masuk jalan tambang Minemex. Videografer itu perlu gambar lebih dari sekadar teriakan agar dapat tayang di nasional.

“Saya lintangkan mobil, satu jam.”

Pancingan Sukiman berhasil, meski beberapa wartawan kolega Minemex ikut melawan berusaha meredam berita aksi demontrasi. Tuntutan warga berlanjut ke meja mediasi.

Beberapa kali pertemuan di Kantor Camat Mandiangin, Kantor Bupati Sarolangun sampai Mapolres Sarolangun. Minemex menawarkan Rp408.150.000 sebagai ganti rugi 25 rumah warga Taman Dewa yang retak. Angka itu muncul sesuai hitungan tim pekerjaan umum Pemkab Sarolangun. Warga menolak, karena tawaran dianggap terlalu kecil. Mereka mendesak, rumah mereka dibebaskan.

Saya bertemu Reni Suryani saat mediasi di Mapolres Sarolangun. Dia menolak uang ganti rugi karena anggap nilai terlalu kecil untuk memperbaiki ruko yang retak. Dari total ganti rugi Rp408 juta dia hanya dapat Rp16-Rp18 juta. Uang dibagi dengan pemilik 24 rumah lain

“Kalau ruko itu sudah retak dari tiang sampai ke dinding, itu kemungkinan kan roboh. Tentu kami takut. Maka kami minta pembebasan dari Minemex,” katanya.

 

Bibir mulut tambang yang longsor pada 2013 ditutup seng. akibat lonsor jarak mulut tambang dengan jalan Lintas Sarolangun hanya 50 meter. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Yakraman Yagus, menolak kemauan warga yang minta rumah mereka dibebaskan. Menurut dia, Minemex banyak membantu warga dengan memberikan beras, susu, pembangunan jembatan, pengobatan gratis untuk warga Desa Talang Serdang dan Taman Dewa, sampai memberangkatkan umroh.

“Intinya, Minimex tidak ingin merugikan masyarakat, namun tentu tuntutan yang wajar dan proposional. Masyarakat yang terdampak sangat kita perhatikan,” katanya.

Kebuntuan membuat keduanya sepakat pembentukan tim independen untuk membuktikan penyebab keretakan 25 rumah warga Taman Dewa karena aktivitas tambang Minemex.

Setelah dua bulan bekerja, tim membuat pertemuan di Kantor Bupati Sarolangun untuk memaparkan hasil kajian. Tim independen menyimpulkan, genangan air pada pit (lubang tambang) I Minemex menyebabkan likuifaksi yang mempengaruhi kestabilan tanah sekitar.

Kondisi ini berakibat buruk pada bangunan penduduk di sekitar tambang. Aliran air tanah terpotong di pit II juga ikut mempengaruhi penurunan permukaan tanah. Minimex menyangkal. Mereka mendatangkan ahli dari Sumatera Selatan untuk menepis hasil pengujian tim independen.

Sukiman tak menyerah. Dia membuat laporan ke Polda Jambi atas kasus kerusakan. Gejolak warga Taman Dewa, seketika dingin. Sukiman justru ditangkap polisi karena kasus narkoba. Warga Taman Dewa, kehilangan taji saat Sukiman menjalani rehabilitasi di Kota Jambi.

“Kami nunggu Sukiman keluar baru kita akan aksi lagi,” kata Fuad, LSM Sukiman.

Saya menemui Sukiman di rumahnya akhir 2018, lima bulan setelah dia bebas. Dia cerita sudah empat kali bertemu Kana dan Navin pimpinan Minemex. Dia mengancam membongkar semua pelanggaran Minemex dan menjadikan isu nasional kalau permasalahan dengan warga Taman Dewa, tak selesai.

Sukiman mengaku dapat tawaran gaji Rp3 juta dari Minemex tanpa harus kerja. Dia hanya diminta tak lagi membantu warga. “Pokoknya setiap bulan saya dikasih kompensasi itu, yang penting saya berpihak ke Minemex-lah.”

“Gaji butalah,” kata pria di sebelah Sukiman.

Sukiman menolak.

Perusahaan akhirnya setuju membebaskan dua rumah dan membayar ganti rugi Rp25 juta untuk setiap rumah retak. Rumah Romiyanto dibayar Rp200 juta dan Indra Gunawan Rp150 juta. Indra Gunawan kini Humas Minemex.

Ada 23 rumah dapat ganti rugi. Kesepakatan di ruang Wakil Bupati Sarolangun sekitar Agustus 2018, disaksikan Kapolres Sarolangun, AKBP Dadan Wira Laksana dan Wakil Bupati Sarolangun, Hillalatil Badri.

Sukiman bilang, persoalan Minemex jadi kasus ke-15 yang berhasil dia menangkan. Seperti kesepakatan, dia akan mendapatkan bagian 20% dari pembayaran ganti rugi. Sebesar 20% itu akan dibagi untuk anggota dan donatur yang selama setahun keluar dana untuk aksi.

“Selama aksi setahun itu tak seribu rupiah pun mereka keluarkan duit. Makan, minum, sewa mobil kami semua yang tanggung, 20% untuk itu.”

Janji tinggi janji. Romiyanto, justru pindah usai menerima uang pembayaran rumah. Sukiman dapat kabar Romi pindah ke Muara Tara, Sumatera Selatan.

Sayo hubungi nomor telponnya nggak aktif, udah diganti. Orangtuonyo [Haidir] bilang nggak tau.”

 

Leli menunjukkan dinding rumahnya yang terbelah. warga menduga kerusakan rumah akibat aktivitas tambang PT Minemex. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Hidup dalam was-was

Sekitar 2017, Rosmalia bolak-balik menemui Kana, petinggi Minemex yang dia kenal. Rosmalia dan suami, Ikhsan adalah wartawan tabloid mingguan di Jambi. Beberapa kali pertemuan dengan Kana untuk penawaran kontrak iklan dan liputan kegiatan Minemex.

Kala itu, Ros menemui Kana bukan hanya untuk penawaran iklan, dia punya tujuan lain. Rumahnya, di Talang Serdang retak, pondasi belakang rumah turun hingga pintu miring. Ros menduga tambang Minemex tak jauh dari belakang rumah jadi penyebab.

“Sudah sering sayo ketemu Pak Kana ngomongin soal rumah retak, tapi sampai sekarang dak ado jugo ganti rugi,” katanya.

Ros bilang, perusahaan menganggap keretakan rumahnya karena kontruksi bangunan tak memadai. “Puluhan tahun sayo tinggal di rumah ini, tapi baru inilah ado kayak gini.”

Di Talang Serdang, saya mengunjungi beberapa rumah warga yang retak, mereka mengaku telah melapor pada pihak desa, namun sudah menahun tak ada kejelasan.

Rumah Leli, rusak parah. Tembok dapur terbelah dan goyang. Dinding itu tampak akan runtuh hanya dengan sekali tendang. Semua pintu, jendela dapur terpaksa dipalang kayu agar dinding bata itu tak roboh. Rumah Leli, hanya punya satu pintu dan tidak ada jendela yang bisa dibuka.

Pengennya diganti [perusahaan]. Ngeri tinggal di sini mas,” kata Leli.

Dua tahun Leli, dapat bantuan beras dan susu dari Minemex, tetapi tak cukup membuat tenang tinggal di rumah yang nyaris roboh.

Dia juga khawatir rumah ditabrak truk pengangkut batubara seperti kejadian di Kecamatan Bathin XXIV, Batanghari. Setiap hari ada ratusan truk mengangkut batubara dari Minemex melintas depan rumahnya.

Sebelah rumah Leli adalah rumah Karnin. Dinding juga retak dan terbelah dari atas hingga bawah. Sudah setahun dinding rumah mulai rusak, tetapi tak ada tanggapan dari Minemex. Saya juga mendatangi rumah Warni, Heri, Pahlepi, semua dinding rumah retak bahkan terbelah. Lantai rumah mereka juga ikut retak.

Sekretaris Desa Talang Serdang, Anton bilang sudah tiga kali megajukan permohonan pada Minemex agar 15 rumah warga di sekitar tambang blok A dapat ganti rugi, termasuk musola di RT 02 yang rusak. Sudah tiga tahun tak ada kabar.

“Sudah lama ngadu terus gak ditanggapi, capek.” Anton frustasi. “Rumah saya ini juga retak tapi saya rehab pakai dana sendiri, nunggu dari Minemex ntah kapan.”

Di RT 02 dan 03 lebih 20 rumah rusak ditambah musala. Anton menduga banyak rumah retak karena getaran alat berat untuk pengerasan jalan masuk ke areal tambang. Warga juga mengeluh masalah debu dari ratusan truk pengangkut batubara yang lalu lalang setiap hari.

Ikhsan, suami Rosmalia mengajak saya keliling Desa Talang Serdang. Dia dapat kabar warga RT.02 di sekitar galian tambang Blok B mulai menjual rumah dan tanah. Kalau itu terjadi, rumah Ikhsan dipastikan makin dekat dengan mulut tambang. Dia bisa melihat galian batubara dari pintu dapur yang sudah miring.

“Kalau dijual habis Talang Serdang ini, tinggal cerito bae.”

Germawati, warga desa ini terpaksa akan menjual rumah. Rumah berukuran sedang itu belum lama selesai dibangun. Dia tak punya pilihan lantaran tanah dan rumah tetangga banyak dijual.

Perempuan 30-an tahun itu tak lagi nyaman tinggal dekat tambang batubara. Siang malam bunyi alat berat hampir tanpa henti. Dia berharap, rumah dan tanah dibayar tinggi agar punya modal usaha dan bangun rumah baru.

“Maunya Rp400 juta,” katanya.

Akhir Agustus saya mendatangi kantor Minimex di Sarolangun untuk konfirmasi. Saat itu, Navin tak ada. Seorang petugas keamanan menyarankan saya kembali lain waktu tanpa ada kepastian.

Di Jambi, saya berhasil menghubungi Navin, lewat telepon, namun tak mau komentar soal keretakan rumah warga. Dia meminta saya menemui Alpen Sumantri, kepala teknik tambang perusahaan.

Selang tiga minggu, awal September sesuai permintaan Navin saya kembali datang ke kantor Minemex. Dadang, petugas keamanan perusahaan yang menemui saya bilang, kepala teknik tambang lagi ada acara keluar tanpa menyebut di mana.

Manajemen Minemex meminta saya datang lagi lain waktu dan mereka tak memberi kepastian kapan harus kembali. Saya meninggalkan nomor telepon agar dihubungi saat kepala teknik tambang bisa ditemui. Sampai berita ini terbit, tak ada kabar.

Saya juga mencoba menghubungi Yakraman Yagus, tetapi beberapa kali nomor telepon yang tertera pada kartu namanya tak aktif.

 

Bekas galian tambang PT Minimex di Blok B. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Pemerintah: perusahaan harus tanggung jawab

Wakil Bupati Sarolangun Hillalatil Badri mengatakan, keretakan rumah warga karena aktivitas tambang sudah jadi konsekuensi perusahaan dan Minemex harus bertanggungjawab.

“Kami sebagai pemerintah tegaskan, apa yang jadi komitmen penambang tentu mereka harus bertanggungjawab. Kami ingin Minimex harus mengganti kerusakan warga.”

Di Sarolangun, saya menemui Haidir. Dia punya warung kecil yang menjual sembako di pinggir jalan lintas Sarolangun-Tembesi. Uang Rp20 juta—setelah dipotong Rp5 juta untuk Sukiman—hasil ganti rugi dari Minemex dia pakai sebagai modal usaha. Pria paruh baya itu pernah punya toko kelontong cukup besar, tetapi bangkrut kehabisan modal.

“Itulah [uang ganti rugi] buat modal. Sudah tuo, nak begawe berat sudah gak kuat.”

Sebetulnya, Haidir memiliki dua anak yang tinggal di Mandiangin, rumah cukup jauh dari lokasi tambang Minemex. Dia tak mau merepotkan anaknya yang telah berkeluarga. Dia dan istrinya, memilih hidup sendiri berdua, meski terus was-was tinggal di rumah yang retak.

Dak tahan rasonyo hidup di sini—dekat tambang Minemex. Sudah ndak nyaman lagi. Rumah retak, kito dibuat was-was, takut tibo-tibo rubuh.”

Raut Haidir tampak muram, tetapi sesekali dia melempar senyum. “Kalau bisa milih, sayo pengen pindah.”

 

Keterangan foto utama:  Penambangan batubara di Blok B milik PT Minemex. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Ikhsan menunjukkan dinding rumah yang retak karena penurunan tanah. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version