Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Pindah Ibu Kota Negara, Indonesia Bisa Belajar “Komitmen” dari Sriwijaya [Bagian 2]

 

 

Baca sebelumnya:

Catatan Akhir Tahun: Lahan Konsesi di Sekitar Ibu Kota Baru Indonesia [Bagian 1]

**

 

Sekitar 14 abad lalu, tepatnya pada 684 Masehi, Kedatuan Sriwijaya menetapkan sebuah wanua [kampung] di tepian Sungai Musi sebagai pusat pemerintahannya. Alasannya, diperkirakan bukan hanya lokasi yang aman dan strategis, tetapi juga wilayah suci untuk menyampaikan berbagai komitmen antara penguasa dengan rakyat.

Keputusan Kedatuan Sriwijaya memilih Palembang sebagai pusat pemerintahan, diperkirakan karena wilayahnya bebas bencana alam, dekat sumber komoditas perdagangan [emas dan timah], dekat jalur perdagangan maritim Asia Timur ke Asia Barat, dan mudah diakses karena Sungai Musi terhubung dengan ratusan sungai yang mengalir di Sumatera bagian tengah hingga selatan.

“Selama Sriwijaya berpusat di Palembang, belum ditemukan catatan adanya gempa bumi, erupsi gunung merapi, tsunami, banjir, longsor, dan lainnya. Setelah banyak sungai dan rawa rusak atau ditimbun di masa Pemerintahan Indonesia, Palembang baru mulai banjir. Juga, diserang kabut asap akibat hutan dan lahan sekitar terbakar,” kata Dr. Husni Thamrin, budayawan Palembang, Selasa [10/12/2019].

Selain itu, Sungai Musi yang melintasi Palembang, terhubung dengan ratusan anak sungai yang mengalir dari pegunungan [Bukit Barisan] hingga dataran rendah, baik Jambi, Bengkulu, dan Lampung. Berbagai wilayah terhubung itu merupakan penghasil komoditas andalan Kedatuan Sriwijaya, emas.

Baca: Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Timur, Nasib Ibu Kota Negara?

 

Pulau Maratua, Kalimantan Timur, yang indah. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Penelitian mengenai ritual masyarakat Melayu dari masa Kedatuan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang, lanjut Husni, menunjukkan pada masa itu Palembang merupakan wilayah suci sehingga sangat baik untuk dilakukan upacara keagamaan [Buddha]. “Apalagi saat itu, diperkirakan garis khatulistiwa melintas di atas Kota Palembang,” katanya.

Salah satu wilayah suci itu Bukit Siguntang. Dalam berbagai cerita legenda masyarakat melayu, termasuk di Minangkabau, Malaysia, diceritakan tentang bukit ini. Bahkan, kesucian wilayahnya dihormati dengan didirikan sebuah perguruan tinggi international yang mengajar bahasa dan sastra Sanskerta bernama Syakhyakirti. Mereka wajib belajar setahun di Syakhyakirti sebelum sekolah di perguruan tinggi agama Buddha di Nalanda, Bihar, India.

“Di sebagian wilayah suci itu pula Raja Sriwijaya banyak melahirkan prasasti yang berisikan berbagai komitmen atau janji antara penguasa dengan rakyat,” kata Husni.

Baca: Satwa Langka di Ibu Kota Baru Indonesia

 

Laut Indonesia yang tidak hanya kaya tetapi juga jalur strategis pelayaran dunia. Foto: Rhett Buter/Mongabay Indonesia

 

Harus selaras alam

Tahun 2019 ini, sebuah keputusan besar diambil pemerintahan Joko Widodo [Jokowi] yakni memindahkan pusat pemerintahan dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur. Sebenarnya, wacana pemindahan ibu kota ini sudah bergulir pasca-reformasi atau di awal 2000-an. Berbagai nama sempat menggema, antara lain Bogor, Palangkaraya, dan Palembang. Saat itu Kalimantan Timur sama sekali tidak mencuat ke permukaan.

Presiden Jokowi, Senin [26/08/2019], mengumumkan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur. Ada lima alasannya. Pertama, wilayah yang akan dijadikan lokasi ibu kota memiliki risiko bencana minimal, baik bencana banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, maupun tanah longsor.

Kedua, lokasi tersebut dinilai strategis karena berada di tengah Indonesia. Ketiga, lokasi itu dekat perkotaan yang sudah berkembang, yakni Kota Balikpapan dan Kota Samarinda. Keempat, telah memiliki infrastruktur relatif lengkap. Terakhir, terdapat lahan pemerintah seluas 180.000 hektar.

Total, lahan ibu kota baru itu 256 ribu hektar. Hal ini disampaikan Jokowi saat melakukan kunjungan bersama puluhan wartawan yang bertugas di Istana Negara, di lokasi pusat pemerintahan Indonesia di Kecamatan Sepaku, Penajam Passer Utara, Kalimantan Timur, Selasa [17/12/2019].

Dari luasan 256 ribu hektar tersebut, sekitar 56 ribu menjadi kawasan inti. “Untuk kawasan pemerintahnya 5,6 ribu hektar,” kata Jokowi.

Di mana posisi istana negara? Jokowi menjelaskan nanti akan ditentukan para arsitek, setelah desain gagasannya diputuskan, kemudian digambar secara detil dalam waktu enam bulan. “Kita perkirakan pertengahan 2020 pembangunan infrastruktur sudah dimulai,” kata Jokowi.

Jokowi juga menjelaskan RUU Pemindahan Ibu Kota yang akan diajukan ke DPR pada Januari 2020. Tapi, Jokowi belum memastikan ibu kota nanti masuk dalam provinsi atau kota baru, sebab akan dibahas bersama DPR. Pemerintahannya juga tengah menyiapkan Badan Otorita Ibu Kota [BOI], yang akan ditetapkan akhir Desember 2019 atau awal Januari 2020. BOI ini yang akan mengurus proses pemindahan dan pembangunan ibu kota baru Indonesia.

Baca juga: Kepastian Lahan Pangan di Ibu Kota Baru Indonesia

 

Kalimantan Timur sebagai Ibu Kota Negara Indonesia memiliki laut yang indah. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Jika melihat Kedatuan Sriwijaya, Indonesia mestinya bisa melakukan hal yang sama sekaligus banyak belajar. Sriwijaya memilih Palembang sebagai ibu kota karena wilayahnya dekat jalur perdagangan maritim, yang menghubungkan Asia Timur dengan Asia Barat. Selain itu dekat sumber komoditas utama yakni emas, dan wilayah sekitar Palembang juga kaya dengan sumber pangan, baik dari perairan maupun daratan.

Terhadap alasan ini, ibu kota berada di Kalimantan Timur merupakan pilihan strategis. Secara kemaritiman, posisi Kalimantan Timur berada di tengah perairan Nusantara, yang menghubungkan perairan barat dan timur. Posisinya juga lebih dekat dengan sumber daya alam, khususnya yang berada di Indonesia Tengah dan Indonesia Timur.

Pemantauan terhadap wilayah perbatasan dengan negara lain, baik darat maupun laut di wilayah utara, diperkirakan akan lebih meningkat.

Tapi, target apa yang akan dicapai pemerintahan Indonesia dengan memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur?

 

Tambang batubara di Kalimantan Timur yang menyisakan berbagai persoalan lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Kedatuan Sriwijaya, dua tahun setelah menetapkan Palembang sebagai ibu kota pemerintahan, tepatnya pada 684 Masehi, mengeluarkan komitmen dalam Prasasti Talang Tuwo. Komitmen ini dilangsungkan di bukit suci yang tak jauh dari Bukit Siguntang.

Isi prasasti ini menegaskan jika alam semesta yang disimbolkan Taman Sri Ksetra diperuntukkan bagi semua makhluk hidup. Baik yang menetap maupun yang bergerak. Dibutuhkan hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta. Selaras dengan alam. Hubungan serasi yang akan melahirkan manusia luhur.

Secara tersirat, prasasti itu memberi pesan bahwa alam harus dijaga agar dapat dipergunakan bagi semua makhluk hidup, baik hari ini maupun mendatang [berkelanjutan].

Komitmen yang disampaikan Srijayanasa, Pemimpin Kedatuan Sriwijaya, dalam prasasti tersebut ternyata mampu menyatukan dan memakmurkan berbagai suku bangsa di Nusantara, selama hampir lima abad.

“Pemerintahan Jokowi seharusnya melahirkan komitmen seperti yang dilakukan Raja Sriwijaya. Komitmen ini secara spiritual sebagai niat di balik pemindahan ibu kota. Secara politis, sebagai pijakan pembangunan bangsa Indonesia,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang, yang menulis buku komunikasi lingkungan Prasasti Talang Tuwo, Rabu [11/12/2019].

Niat ini sangat penting. “Saya menduga niat pemerintahan kolonial Belanda menetapkan Batavia [Jakarta] sebagai ibu kota mungkin untuk memudahkan pengiriman sumber daya alam di Nusantara ke Eropa, khususnya Belanda, sekaligus mampu mengontrol dan mengubah manusia dengan peradaban besar di Jawa dan Sumatera. Tampaknya niat ini memang terwujud, seperti kita rasakan saat ini,” kata Yenrizal.

“Komitmen terhadap masa depan kekayaan alam Indonesia agar berkelanjutan sangat tepat disampaikan pemerintahan Jokowi sebagai penanda pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur,” kata Dr. Najib Asmani, Ketua Yayasan Kelola Lanskap Berkelanjutan, Rabu [11/12/2019].

 

 

Kesetiaan pejabat pemerintah dan rakyat

Selain komitmen terkait alam dalam Prasasti Talang Tuwo, yang disampaikan raja atau para pemimpin Kedatuan Sriwijaya, juga terdapat prasasti berisikan komitmen rakyat, para pejabat pemerintahan dan keluarga raja kepada raja. Komitmen ini terbaca dari Prasasti Telaga Batu, yang ditemukan di lanskap Kuto Gawang, yang kini menjadi kompleks PT. Pupuk Sriwidjaya [PT. Pusri].

Komitmen ini diwakilkan putra raja, bupati, panglima, pembesar atau tokoh masyarakat, bangsawan, raja bawahan, hakim, ketua pekerja atau buruh, mandor, ahli senjata, tentara, pejabat pengelola, karyawan toko, pengrajin, kapten kapal, peniaga, pelayan dan budak raja.

“Mereka harus setia dengan raja, jika tidak mereka akan dikutuk. Mereka memegang sumpah karena berada di wilayah suci yakni Palembang,” kata Husni.

“Perkiraan saya, yang hadir dalam komitmen ini merupakan perwakilan dari berbagai kelompok masyarakat di Nusantara. Apalagi subjek yang berkomitmen tersebut bukan jabatan umum atau tidak satu, seperti bupati, raja bawahan, tentara, kapten kapal atau budak raja,” lanjutnya.

 

Badak Pahu yang kini menghuni Suaka Badak Kalimantan, di Kalimantan Timur. Foto: KLHK/BKSDA Kaltim

 

Najib Asmani mengatakan, Pemerintahan Jokowi dapat belajar dari upaya Raja Sriwijaya ini. Sebelum ibu kota pindah ke Kalimantan, harus ada semacam musyawarah bersama, antara aparat pemerintah, perguruan tinggi, kaum profesional, budayawan, pemuka agama, para pemuda, dan lainnya, untuk menyusun komitmen bersama dalam memajukan bangsa Indonesia ke depan.

Komitmen ini juga didukung pokok-pokok pikiran strategi pembangunan yang dirumuskan bersama. Komitmen ini diharapkan bukan sebatas pemikiran, juga nurani. Semangat baru Indonesia di balik pindahnya ibu kota.

“Bangsa ini dibangun berdasarkan komitmen moral. Di masa lalu komitmen ini disebut sumpah. Semua komitmen yang disampaikan para pemimpin atau rakyat secara terbuka. Indonesia merdeka saja berkat komitmen para pemuda yang dikenal dengan peristiwa sumpah pemuda,” kata Husni.

 

Bekantan yang juga disebut monyet belanda ini hanya ada di Pulau Kalimantan. Foto: Ecositrop [Ecology and Conservation Center for Tropical Studies]

 

Banjir, kebakaran gambut dan konflik sosial

Terhadap pemindahan Ibu Kota Negara [IKN], Eko Yulianto, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, sebagaimana dikutip dari siaran pers LIPI sebelumnya menyatakan, salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam memilih lokasi ibu kota adalah ancaman bencana: bencana alam maupun konflik sosial.

Kata dia, Kalimantan adalah pulau besar di Indonesia yang paling aman dari ancaman gempa dan tsunami. Namun, Kalimantan tidak sepenuhnya bebas dari bencana. Keberadaan batubara dan gambut yang luas, jika dilihat dari perspektif ancaman bencana, mengindikasikan potensi banjir dan kebakaran yang perlu diantisipasi.

Selain itu, pemindahan ibu kota ini jangan sampai menjadi pemindahan masalah. Hal ini seperti dikatakan Galuh Syahbana Indraprahasta, Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI].

“Jika dalam prosesnya [pemindahan ibu kota] berjalan baik akan menjadi warisan baik bagi presiden berikutnya, tapi jika prosesnya tidak sesuai harapan akan menjadi beban warisan,” kata Galuh.

Seperti diketahui Presiden Jokowi memberikan alasan pemindahan ibu kota karena DKI Jakarta saat ini bebannya berat. Sebab, selain sebagai pusat pemerintahan, juga sebagai pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan dan pusat jasa. Selain itu Pulau Jawa penduduknya kian padat, sekitar 150 juta jiwa atau 54 persen total penduduk Indonesia, sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

 

Kapal Kerajaan Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terukir di Candi Borobudur. Sumber: Wikipedia Commons/Michael J. Lowe/Atribusi Berbagi 2.5 Generik

 

Menunggu KLHS

Sejak diumumkan pemerintah akan memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur, KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan] menyatakan akan menyelesaikan KLHS [Kajian Lingkungan Hidup Strategis] selama dua bulan.

KLHS ini memberikan arahan perlindungan dan pemulihan dalam menyelesaikan masterplan ibu kota negara. Misalnya proteksi habitat satwa liar, ekosistem hutan dan mangrove, ekosistem pesisir dan perairan, serta langkah-langkah pemulihan kerusakan lingkungan dan pencemaran yang terjadi di berbagai tempat.

Siti Nurbaya, Menteri KLHK, menjelaskan kajian pemindahan Ibu Kota Negara [IKN], dengan mengurai konsep pengembangan IKN dari aspek lingkungan hidup dan kehutanan, sebagaimana dari Bappenas.go.id.

Pertama, kemudahan pembangunan IKN, misalnya percepatan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, serta integrasi KLHS dengan proses penyusunan revisi RTRWN, RTRWP, dan RDTR. Kedua, minimalisasi dampak terhadap lingkungan hidup. Antara lain pengembangan IKN wajib mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Ketiga, prinsip keseimbangan dan keberlanjutan, yakni pembangunan IKN wajib memperhatikan keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup, keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup, serta keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.

 

Wilayah Kekuasaan Sriwijaya abad ke-8 Masehi yang membentang luas dari Sumatera, Jawa Tengah, hingga Semenanjung Malaysia. Sumber: Wikimedia commons/Gunawan Kartapranata/Atribusi Berbagi 3.0 Tanpa Adaptasi

 

Berdasarkan keterangan Laksmi Wijayanti, Plt Irjen KLHK, KLHS untuk IKN seharusnya selesai November 2019. “Jadi mendukung persiapan pemindahan ibu kota negara, KLKH diberi tugas khusus mengusung KLHS,” katanya, sebagaimana diberitakan Mongabay sebelumnya.

Penyusunan KLHS diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46/2016 sebagai kajian lingkungan, untuk memastikan kebijakan atau rencana pemerintah menjamin keberlanjutan sekaligus meminimalisir dampak negatif maupun risiko lingkungan. [Selesai]

 

 

Exit mobile version