Mongabay.co.id

Setelah Pertemuan Iklim di Madrid, Berikut Masukan buat Indonesia

Bersegera meninggalkan PLTU dengan tak membangun lagi pembangkit batubara ini dan beralih ke energi terbarukan, satu cara mengurangi krisis iklim. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Awal sampai pertengahan Desember lalu, berbagai negara berkumpul di Madrid, Spanyol, untuk pertemuan rutin konferensi perubahan iklim (conference of parties/COP) ke-25 yang berakhir mengecewakan. Komitmen negara-negara, terutama negara maju dalam mengurangi emisi masih lemah. Berbagai kalangan di Indonesia, memberikan masukan kepada pemerintah  agar beraksi serius atasi krisis iklim.

”Saya sangat kecewa dengan hasil COP25. Warga dunia telah kehilangan kesempatan memperlihatkan ambisi dalam mitigasi, adaptasi dan memberikan sumbangan untuk menghambat krisis iklim,” kata Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, dilansir dalam AFP.

Dia menyatakan, banyak pihak melewatkan momentum membuat kesepakatan untuk menghambat laju krisis iklim.

Hasil KTT menyatakan, keperluan mendesak lahir kesepakatan memangkas emisi karbon guna mencapai Perjanjian Paris yang ingin membatasi kenaikan suhu global di bawah dua derajat Celcius.

Mestinya, pembahasan COP25 fokus pada implementasi Kesepakatan Paris, yang mewajibkan setiap negara membuat Nationally determined contributions (NDC) dan strategi jangka panjang pengurangan emisi karbon.

“Kita patut kecewa. Karena COP di Madrid ini harusnya jadi upaya peningkatan ambisi dari negara-negara maju untuk mengurangi emisi,” kata Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim dan Isu Global Walhi Nasional di Jakarta, baru-baru ini.

Sayangnya, dia tak melihat ada peningkatan ambisi dari berbagai negara terutama negara maju untuk serius kurangi emisi.

“Harapan kita ambil terutama negara-negara maju lebih kuat untuk menurunkan emisi mereka,” katanya.

Sebelumnya, ada rilis dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang menyatakan, harus ada upaya lebih ambisius guna menahan laju kenaikan suhu bumi di atas 1,5 derajat celsius.

NDC dari negara-negara yang terlibat di United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) itu akan mengarah pada tiga derajat celcius. Target di Perjanjian Paris menjaga suhu bumi tak melebihi dua derajat dan semaksimal mungkin di bawah 1,5 derajat.

Seharusnya, kata Yuyun, ada ambisi lebih kuat dari semua, utama negara maju untuk mengurangi emisi sebelum Perjanjian Paris berlaku 2021.

“Kita tidak melihat itu. Sebelumnya, kita sudah melihat indikasi tidak ada niat untuk ambisi lebih serius, misal, ketika ada Climate Summit di New York juga gagal mendorong upaya ambisi lebih serius terutama dari negara-negara maju,” katanya, seraya bilang, COP lalu bahkan harus diperpanjang beberapa hari untuk membuat kesepakatan dan ternyata mereka tak mau.

Yuyun juga menyoroti, mekanisme pendanaan terkait kerugian dampak krisis iklim, seperti cuaca ektrem dan tinggi muka air laut naik. Dalam COP25, belum ada kesepakatan soal itu padahal baru-baru ini ada laporan Climate Central yang menyebut di Indonesia, pada 2050 akan ada 23 juta warga terpaksa harus pindah dari tempat tinggal karena kenaikan tinggi muka air laut. Mereka adalah yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil.

 

Pulau Wawonii. Sudahlah pulau kecil yang paling terancam dampak perubahan iklim, malah pemerintah keluarkan berbagai izin hingga perusahaan skala besar, seperti perusahaan tambang, memungkinkan untuk beroperasi.  Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Kondisi ini, kata Yuyun, mengindikasikan para pembuat kebijakan harus sesegera mungkin merumuskan mekanisme pendanaan itu sebagai kompensasi kerugian dampak bencana iklim. Tanggung jawab itu, katanya, berada pada negara-negara maju dan korporasi.

“COP ini tak mampu merumuskan mekanisme skema pendanaan terkait ini. Hingga negera-negara kecil kepulauan kecewa. Merekalah yang pertama kali akan terkena dampak perubahan iklim.”

Negara-negara maju, katanya, jadi penyebab utama perubahan iklim kalau melihat sejarah emisi.

Edo Rakhman, Manajer Kampanye Walhi Nasional mendesak, Pemerintah Indonesia serius memperhatikan dampak krisis  iklim dan mendorong pemerintah ikut bergabung dalam persatuan negara-negara kepulauan kecil.

“Saya kira kekuatannya itu sangat luar biasa kalau Indonesia bisa bergabung. Karena negara-negara kepulauan kecil ini yang paling terancam. Indonesia, juga negara paling banyak memiliki pulau-pulau kecil. Mengapa tak cari dukungan negara-negara yang juga mempunyai kondisi geografis sama kemudian berikan tekanan kepada negara-negara maju yang menghasilkan emisi terbesar di bumi ini,” katanya.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap bencana yang dipicu krisis iklim. Seharusnya, Pemerintah Indonesia memiliki suara kuat seperti negara-negara kepulauan lain.

“Cuma, memang posisi Indonesia kemarin masih bussines as usual. Padahal, kita ingin Indonesia memiliki leadership dalam menunjukkan ambisi meningkatkan komitmen NDC.Tentu saja ketika Indonesia bisa menyuarakan ini, cukup mewarnai negosiasi. Kita tak melihat ada pernyataan Indonesia ikut meningkatkan ambisi NDC,” kata perempuan yang akrab disapa Yaya ini.

 

Kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun di Indonesia, salah satu penyumbang besar pelepasan emisi karbon. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

 

Soal energi?

Dalam konteks kebijakan dalam negeri, katanya, Indonesia justru berpotensi meningkatkan emisi dengan terus membangun PLTU batubara.

Meskipun dalam COP25, Indonesia juga memaparkan tentang low carbon development initiative (LCDI) yang jadi rumusan pemerintah.

“Tapi perlu kita lihat lagi bagaimana LCDI ini, apakah benar-benar tercermin di dalam RPJMN? Kalau kemarin bacaan sekilas, tidak terlalu.”

Indonesia, katanya, punya potensi berkontribusi dari sektor kehutanan. Namun, katanya, kalau lihat kebakaran hutan tahun ini jadi sulit menyebut Indonesia memimpin dalam upaya mitigasi ataupun pengurangan emisi sektor ini.

Tahun 2020, merupakan awal implementasi NDC. Ia jadi tantangan besar bagi Indonesia benar-benar bisa menjalankan komitmen itu. Dia berharap, pemerintah berupaya signifikan dalam memenuhi komitmen NDC.

I Wayan Suardana, Dewan Nasional Walhi mengatakan, masyarakat harus mulai membangun kekuatan diri guna melakukan berbagai upaya menekan pengambil kebijakan baik negara maupun korporasi untuk konkret mengantisipasi krisis iklim.

Dalam segala bungkusan persoalan kebijakan menghadapi perubahan iklim, katanya, masyarakat berhadapan dengan komitmen, angka statistik dan kajian-kajian seakan ada perubahan perilaku dari stakeholder baik pemerintah maupun korporasi. Mereka seolah-olah peduli persoalan krisis iklim.

“Tetapi sebenarnya mereka tak melakukan hal itu. Karena di Indonesia, tetap saja masih mengandalkan batubara, [satu contoh], sebagai sumber energi. Padahal buruk untuk lingkungan dan berpengaruh terhadap perubahan iklim,” kata Gendo, sapaan akrabnya.

Saat ini, pemerintah masih terus mengeksploitasi laut. Mangrove yang punya sumbangsih bagus dalam menghadapi krisis iklim, banyak terbabat antara lain, karena reklamasi.

“Hutan dibabat, [kebun] sawit masif. Sebetulnya, tak ada perubahan perilaku dari komitmen pemerintah menurunkan emisi karbon sampai 29%,” katanya.

Hanny Chrysolite, peneliti program hutan dan iklim World Resources Institute (WRI) Indonesia mengatakan, hasil COP25 mengecewakan karena negara-negara penghasil emisi terbesar yang seharusnya berkontribusi dalam menurunkan emisi, malahan mengacaukan diskusi.

“Indonesia salah satu pengemisi terbesar, jadi kalau tidak menaikkan ambisi sayang sekali. Sebenarnya ada kesempatan untuk Indonesia bisa, kalau mau,” katanya.

Saat ini, negara-negara harus punya komitmen kuat, baik negara maju maupun berkembang.”Karena kita semua ada di kapal [sama] yang akan tenggelam.”

Arief Wijaya, Manajer Senior Iklim dan Kehutanan WRI Indonesia mengatakan, meskipun bukan negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, Indonesia diharapkan bisa memasukkan NDC pada 2020.

“[Seharusnya] COP25 kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan ambisi perubahan iklim dan mengembangkan strategi jangka panjang,” katanya.

Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia mengatakan, sudah 68 negara menyatakan komitmen peningkatan target penurunan emisi lebih besar. Namun, katanya, mereka hanya berkontribusi terhadap 8% emisi karbon global.

”Indonesia berkontribusi terhadap 2-4% emisi karbon global seharusnya memasang target penurunan emisi lebih ambisius. Kita hanya punya 11 tahun untuk bekerja keras melakukan segalanya agar peningkatan suhu bumi di bawah dua derajat Celsius.”

Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, Indonesia tetap berkomitmen berkonribusi pada penurunan emisi dunia. ”NDC kita tidak berubah. Kita anggap itu sudah sangat ambisius untuk Indonesia. Artinya, itu sudah komitmen luar biasa,” katanya.

Indonesia, katanya, juga mendorong negara maju menaikkan ambisi. ”Kita ingin mewujudkan NDC, negara-negara maju, harus komitmen dengan janji US$100 miliar per tahun. Itu kita minta, kita tagih.”

Alue mengatakan, Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB juga sempat berdiskusi dan menganggap Indonesia memiliki berperan penting dalam tataran perubahan iklim dunia.

”Dia ingin mendukung proses Indonesia menuju transisi energi, menuju energi terbarukan. Diam mau membantu Indonesia teknologi dan finansial dari negara-negara yang sukses melakukan itu.”

Dida Gardera, Asisten Deputi Pelestarian Lingkungan Hidup, Kementerian Koodinator Bidang Perekoomian mengatakan, dokumen NDC harus final pada 2020. Indonesia, katanya, pasti akan bergerak ke energi bersih.

”Kita sepakat dengan konsep Bappenas bahwa menerapkan pembangunan berbasis karbon, pembangunan akan meningkat. Hanya, persepsi dan cara setiap kementerian dan lembaga berbeda.”

Dia bilang, per 1 Januari 2021, Perjanjian Paris harus sudah beroperasi.

 

Bersegera beralih ke energi terbarukan, salah satu jawaban mengurangi krisis iklim. Foto: Ciputra Development

 

Rencana pembangunan rendah karbon

Sebelumnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan dokumen perencanaan pembangunan rendah karbon (PPRK) atau low carbon development initiative (LCDI).

Kebijakan yang mendorong implementasi penurunan karbon ini fokus pada lima hal penting, yakni, transisi menuju energi terbarukan dan mengurangi energi batubara, moratorium dan penggunaan kehutanan dan pertambangan berkelanjutan. Juga, meningkatkan produktivitas lahan, kebijakan efisiensi energi, menetapkan target pada sektor kelautan dan perikanan serta biodiversitas.

Model LCDI ini, katanya, penting dalam mencapai target, tidak hanya komitmen politik terapi ada penghitungan ilmiah.

Harapannya, melalui model pembangunan rendah emisi karbon ini mampu meningkatkan ekonomi sekaligus memperbaiki kualitas lingkungan.

Berdasarkan kajian Bappenas, model pembangunan ini nyata bermanfaat meningkatkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia hingga 6%. Bahkan, memberikan lapangan pekerjaan baru hingga 15,3 % pada 2045.

Selain memperbaiki kualitas lingkungan, pembangunan rendah emisi juga bakal menambah PDB Indonesia US$5,4 triliun pada 2045. Secara sosial, mengurangi kematian dini hingga 40.000 orang setiap tahun karena polusi dan penurunan kemiskinan ekstrem jadi 4,2%.

Dengan begitu, pada 2030, emisi gas rumah kaca (GRK) dapat berkurang hingga 29% dan intensitas emisi berkurang hampir 22%.

”Ini solusi kebijakan menuju pembangunan rendah karbon, antara lain, transisi menuju energi terbarukan dan efisiensi energi, perbaikan kelembagaan dan tata kelola, meningkatkan produktivitas lahan pertanian, perlindungan hutan, moratorium gambut dan meningkatkan reforestasi, penanganan sampah dan pengolahan industri,” kata Arifin Rudiyanto, Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Bappenas.

Pembangunan rendah karbon, katanya, jadi keseimbangan pertumbuhan ekonomi tanpa menganggu daya dukung dan daya tampung.

Saat ini, katanya, perilaku manusia sudah ada peringatan dini alam terkait dampak perubahan iklim, seperti kualitas udara makin menurun, banyak sampah di laut, luas hutan dan ketersediaan air makin berkurang.

Dia bilang, pembangunan rendah karbon memang memiliki tantangan alias tak mudah, antara lain, perlu peralihan teknologi bagi para pelaku usaha seperti dalam industri batubara.

 

Warga Iban  di Sungai Utik, Kalimantan Barat yang menjaga  hutan adatdengan baik. Pengakuan dan perlindungan hutan adat, merupakan salah satu cara selamatkan dunia dari krisis iklim. Foto: Rhett A. Butler

 

Pasar karbon?

Arief mengatakan, Indonesia harus memiliki skema kebijakan perdagangan karbon hingga bisa jadi peluang pendapatan.

”Misal, kita punya hutan sebagai sumber pendapatan dari perdagangan karbon yang bisa dipakai mitigasi dan adaptasi.”

Menurut Nirarta, perdagangan karbon mendesak karena banyak negara kecil dan berkembang belum bisa membeli teknologi dalam penurunan emisi.

Carbon market bisa membantu cross country dalam upaya penurunan emisi.”

Pada 2020, pemerintah akan uji coba pasar karbon domestik. Kemenko Perekonomian sedang pembahasan mekanisme, insentif dan disinsentif bagi setiap sektor. Mekanisme yang akan dipakai kemungkinan besar cap and trade juga clean development mechanism.

Cap and trade, berarti sebagai suatu kebijakan dalam mengontrol emisi dari sejumlah sumber. Cap adalah jumlah emisi maksimum total per periode untuk semua sumber dengan angka yang disepakati dan legal.

Dida mencontohkan, mekanisme, misal, dari sektor energi sebuah pembangkit listrik tenaga uap batubara harus menurunkan emisi di bawah batas yang ditetapkan. Selisih (gap) ketidakmampuan dalam pemenuhan batas ini, sektor itu harus membeli karbon ke sektor lain, misal, seperti hutan untuk restorasi.

”Sedang dibuat aturan, mungkin selesai tahun depan. Kami akan uji coba terlebih dahulu, sifatnya lebih ke insentif.”

Kalau nanti dalam regulasi ada hitungan denda yang harus dibayarkan kalay tak mencapai targer, sektor yang mengeluarkan emisi cukup besar harus mulai memperkirakan investasi teknologi rendah karbon.

Regulasi ini, katanya , akan dilakukan tiap sektor, yakni energi, industri dan sektor lahan. Hingga kini, industri yang siap dalam perdagangan karbon, seperti pembangkit listrik, semen dan pupuk.

Potensi pengurangan emisi dari tiga subsektor ini mencapai 58 juta ton karbon dioksia dan mampu mendorong PDB hingga 0,02%.

”Ini jadi bukti. Sebelumnya, muncul kekhawatiran kalau penerapan pembangunan bersih akan mengganggu PDB, tetapi malah bisa meningkatkan meski masih kecil,” kata Dida.

Sedang Yuyun menyoroti mekanisme perdagangan karbon tercantum dalam artikel enam Perjanjian Paris. Dia menilai, skema itu terdapat dua sisi.

Sisi pertama, di pasal 6.2 menyebut, pengurangan emisi di negara lain itu bisa terhitung sebagai kontribusi di negara-negara lain juga. Mekanisme clean development mechanism (CDM) di rezim Protokol Kyoto akan dipeluas dalam Perjanjian Paris.

Di pasal 6.8 yang diusulkan oleh negara-negara Amerika Latin, ada non base market mechanism. “Ini yang sebenarnya harus didorong untuk menghindari “tengkulak karbon”.

Seharusnya, upaya penurunan emisi itu tak kemudian jadi keuntungan swasta dengan mekanisme perdagangan karbon. “Harus ada mekanisme di luar market yang bisa dikembangkan. Dalam COP, negara-negara itu tidak mencapai mencapai kesepakatan terkait hal ini. Akan ditunda pembahasan pada 2020.”

Dia bilang, Walhi menentang mekanisme offset dalam perdagangan karbon. Apalagi, ketika terletak pada mekanisme pasar yang selama ini didorong negara-negara maju.

Menurut Yuyun, hal ini menunjukkan upaya tak serius dari negara-negara maju untuk menurunkan emisi.

“Kritik utama kami terhadap carbon market ini karena sebenarnya di situ tak terjadi penurunan emisi sesungguhnya. Jadi, negara-negara berkembang yang dianggap masih memiliki carbon credit banyak dibandingkan negara-negara industri, bisa menjual kepada negara-negara yang melakukan emisi. Ini kan sebenarnya hanya jual beli di atas kertas. Dari sisi negara maju, tidak benar-benar menurunkan emisi secara konkrit,” kata Yaya.

Hal seperti itu, katanya, tampak jadi keinginan negara-negara maju agar benar-benar menurunkan emisi.

 

Keterangan foto utama:  Bersegera meninggalkan PLTU dengan tak membangun lagi pembangkit batubara ini dan beralih ke energi terbarukan, satu cara mengurangi krisis iklim. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version