Mongabay.co.id

KIARA: Kinerja Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Diragukan

 

Kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo selama tiga bulan menjabat mulai diragukan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Kinerja mantan Ketua Komisi IV DPR RI itu dinilai masih belum signifikan dan belum menerapkan langkah-langkah tegas untuk membangun sektor riil yang dipimpinnya selama lima tahun ke depan itu.

Alih-alih untuk membuat kebijakan yang bisa diterima oleh semua masyarakat perikanan yang menjadi stakeholder utama, Edhy Prabowo justru malah memicu munculnya polemik di masyarakat yang terus menuai pro dan kontra. Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Susan, Edhy Prabowo seharusnya bisa fokus untuk membuat langkah-langkah signifikan dalam tiga bulan kepemimpinannya pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Contoh nyata yang harus dikerjakan, adalah membuat peraturan turunan dari Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam.

“Seluruh masyarakat bahari di seluruh Indonesia untuk tetap mengawasi dan mengkritisi kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan,” sebut dia.

baca : Demi Keberlanjutan di Alam, Benih Lobster Fokus untuk Dibudidayakan

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo panen lobster saat berada di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Dalam penilaian Susan, Edhy Prabowo saat ini terindikasi kuat akan mendorong sejumlah agenda, di antaranya adalah merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Jika memang benar apa yang diduga tersebut, agenda tersebut sangat disayangkan menjadi agenda utama dari Edhy Prabowo. Pasalnya, peraturan tersebut sejak awal disusun dan diberlakukan untuk melaksanakan perlindungan terhadap keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan yang ada di wilayah laut Nusantara.

“Jangan sampai Permen ini direvisi hanya untuk melayani kepentingan sekelompok pihak dengan menafikkan kepentingan nelayan tradisional sekaligus nelayan skala kecil,” ungkapnya.

Selain terindikasi akan merevisi Permen 71/2016, Susan mengatakan kalau Edhy Prabowo juga terindikasi memiliki agenda untuk mendorong pelaksanaan program ekstensifikasi pada perikanan budi daya. Program tersebut, dinilai akan merugikan karena selain tidak berbasis masyarakat, juga akan mengancam ekosistem pesisir menjadi habitat dari tanaman bakau.

Menurut Susan, dengan ancaman seperti itu, maka yang dibutuhkan perikanan budi daya saat ini sebenarnya adalah program intensifikasi, terutama pada komoditas udang. Program tersebut, selain akan memberdayakan masyarakat, juga akan memanfaatkan lahan tambak yang sudah ada.

baca juga :  Mengawal Masa Depan Perikanan Budi daya untuk Perikanan Nasional

 

Cagar Alam Tanjung Panjang di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, yang telah beralih fungsi menjadi tambak ikan bandeng dan udang. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Intensifikasi

Perlunya melaksanakan intensifikasi, juga didasarkan pada fakta bahwa di Indonesia saat ini terdapat seluas 17,2 juta hektare lahan indikatif untuk sumber daya akuakultur. Dari luasan tersebut, potensi untuk pengembangan budi daya air payau luasnya mencapai 2,8 juta ha dan diketahui baru seluas 605 ribu ha atau 21,64 persen saja lahan yang sudah dimanfaatkan.

“Dari luas yang sudah dimanfaatkan itu, pemanfaatan lahan produktif untuk budi daya udang diperkirakan baru mencapai 40 persen atau baru seluas 242 ribu hektare,” ungkapnya merilis data dari Ditjen Perikanan Budi daya KKP.

Dari data yang ada itu, Susan menyebut kalau program yang dibutuhkan untuk perikanan budi daya, khususnya udang, adalah intensifikasi dan bukan ekstensifikasi seperti yang didengungkan oleh Edhy Prabowo. Ekstenfikasi dinilai hanya akan mendorong pembukaan lahan baru dan mendorong deforestasi hutan bakau dalam skala besar.

“Dalam konteks ini (ekstensifikasi), masyarakat bahari hanya akan menjadi penonton,” tegasnya.

perlu dibaca : Bagaimana Cara Manfaatkan Tambak Udang Non Aktif?

 

Areal tambak udang di tengah hutan bakau di desa Merdeka, Lebatukan, Lembata, NTT yang dipersoalkan masyarakat desa dan BPD setempat. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Agenda berikutnya yang diduga sedang didorong Edhy Prabowo, adalah berkaitan dengan legalisasi proyek reklamasi, khususnya untuk proyek di Teluk Jakarta (DKI Jakarta) dan Teluk Benoa (Bali). Dugaan tersebut muncul, karena ada indikasi yang kuat kalau Edhy sedang mempersiapkan pelegalan untuk proyek tersebut sekarang.

Bagi KIARA, kedua proyek reklamasi tersebut sampai saat ini masih menjadi proyek yang kontroversial karena mengabaikan banyak aspek keberlanjutan di wilayah pesisir. Selain itu, kedua proyek tersebut juga terbukti mendapat penolakan dan perlawanan sangat keras dari masyarakat di kedua provinsi.

Khusus untuk Teluk Jakarta, Susan menambahkan kalau sampai saat ini ribuan nelayan tradisional yang ada di sekitar kawasan tersebut terus menolak dan memberikan perlawanan dengan keras. Proyek tersebut dinilai harus dihentikan, karena terbukti sudah merampas ruang hidup nelayan yang ada di Teluk Jakarta dan sekitarnya.

“Bagi masyarakat Bali, reklamasi Teluk Benoa dianggap akan menghancurkan situs suci umat Hindu yang merupakan kawasan peribadatan,” ucapnya.

Dengan kata lain, Susan ingin menggarisbawahi kalau proyek reklamasi yang ada di Teluk Jakarta dan Teluk Benoa, adalah proyek yang dilaksanakan bukan untuk kepentingan masyarakat umum. Melainkan, proyek tersebut dibuat untuk kepentingan bisnis sekelompok orang yang ingin menguasai sumber daya kelautan dan perikanan.

perlu dibaca : Catatan Akhir Tahun : Pekerjaan Rumah Mengatur Wilayah Pesisir Indonesia

 

Asing

Selain ketiga agenda di atas, KIARA mencium indikasi agenda keempat yang sedang didorong oleh Edhy Prabowo sekarang. Agenda tersebut tidak lain adalah mengubah status sub sektor perikanan tangkap dalam daftar negatif investasi (DNI) asing menjadi daftar prioritas investasi asing.

Penetapan status DNI sendiri diatur dalam Peraturan Presiden RI No.44/2016 dan di dalamnya terdapat mandat kepada sub sektor perikanan tangkap untuk memprioritaskan pelaksanaaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan sebaliknya, tertutup untuk penanaman modal asing (PMA).

Menurut Susan, jika rencana tersebut berhasil dilaksanakan, maka nelayan tradisional dan skala kecil harus menghadapi kompetisi berat karena berhadapan dengan kapal-kapal ikan asing yang ukurannya jauh lebih besar dibandingkan mereka yang sebagian besar menggunakan kapal berukuran 5 gros ton (GT) saja.

Dengan kata lain, kalau memang DNI diubah menjadi daftar prioritas investasi asing, maka itu tak hanya akan menjadi bentuk eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan, namun juga bentuk ketidakadilan terhadap nelayan tradisional dan skala kecil. Padahal, Lembaga Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menyebut nelayan tradisional adalah aktor perikanan yang paling ramah lingkungan.

baca : Kerja Sama Internasional Ancam Kehidupan Nelayan Tradisional?

 

Nelayan tradisional menggunakan tangkul untuk menangkap ikan di Danau Dendam Tak Sudah. Foto: Muhammad Ikhsan/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan juga melayangkan kritikannya atas kinerja Edhy Prabowo selama menjabat sebagai Menteri KP. Menurut dia, di bawah kepemimpinan Edhy, aksi pencurian ikan kembali marak dan itu terbukti dengan munculnya laporan dari nelayan di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

Menurut dia, munculnya kembali aksi pencurian di wilayah laut Nusantara oleh kapal ikan asing (KIA) menandakan bahwa sistem pengawasan yang dilakukan oleh otoritas pengawasan laut di Indonesia saat ini masih lemah. Dia melihat tidak ada upaya nyata dari KKP ataupun TNI Angkatan Laut untuk melakukan penghadangan masuknya kapal asing.

“Sangat disayangkan ada pembiaran yang diilakukan oleh otoritas terkait di Indonesia. Kapal ikan Vietnam melakukan pencurian ikan dan berhadapan langsung dengan nelayan Natuna,” tutur dia.

Dengan adanya aksi pencurian oleh kapal Vietnam, itu mengindikasikan kalau transformasi sistem pengawasan yang sudah dilakukan oleh Satuan Tugas Pemberantasan dan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) tidak berhasil dijalankan oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP.

 

Exit mobile version