Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Hidup Gajah Sumatera Masih Penuh Ancaman

Salma, anak gajah sumatera yang kini dirawat di CRU Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Jerat yang dipasang pemburu di hutan, masih menjadi musuh utama satwa dilindungi di Provinsi Aceh. Terutama, gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus].

Sepanjang 2019, empat gajah terluka akibat jerat tali nilon dan kawat baja. Tiga individu ditemukan terluka di Kabupaten Aceh Timur, satu individu lain di Kabupaten Aceh Tengah.

Pada 8 Agustus 2019, satu individu gajah liar jantan terluka kakinya di hutan Reusip Antara, Kabupaten Aceh Tengah. Kaki depan gajah berumur enam tahun itu diperkirakan terjerat sebulan lamanya.

Tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh dan dokter dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala berhasil mengobati. Setelah jerat dipotong, dan luka diobati, gajah dilepaskan ke hutan.

Baca: Manusia Memang Kejam Pada Gajah Sumatera

 

Salma, anak gajah sumatera yang dirawat di CRU Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, pada 28 dan 29 Juli 2019, tim BKSDA Aceh dan Forum Konservasi Leuser [FKL] mengobati dua individu gajah liar betina yang terluka di Kabupaten Aceh Timur. Tepatnya, di Afdeling III, PT Alor Timur, Desa Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Jernih. Kedua gajah terluka itu memiliki anak berumur satu tahun. Saat ditemukan, di kakinya masih ada jerat tali nilon yang diperkirakan sudah satu bulan mengikat.

Kejadian yang menyita perhatian publik adalah anak gajah Salma yang terjerat di hutan Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, 18 Juni 2019. Anak gajah satu tahun itu terluka parah kaki kiri depannya.

“Ini pekerjaan paling sulit kami lakukan. Tim harus masuk goa dan mengangkatnya dari kedalaman dua meter,” terang Anhar, dokter hewan yang merawat Salma, Kamis [12 Desember 2019].

Saat ini, kondisi Salma berangsur membaik. Ia memiliki ibu angkat, dua gajah betina jinak di CRU Serbajadi, Lia dan Nonik. “Kami terus memantau kesehatan Salma, selain menyembuhkan luka kaki dan menguatkan psikisnya. Dia mulai makan rerumputan dan dedaunan,” ungkap Anhar.

Baca: Lagi-lagi Jerat Pemburu! Dua Gajah Sumatera Kembali Terluka

 

Anak gajah sumatera di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bupati Aceh Timur, Hasballah HM. Thaib mengaku sangat kecewa ada gajah terluka di wilayahnya. Menurut dia, meskipun secara konservasi gajah bukan kewenangan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, tetapi kasus ini memberikan citra kurang baik.

“Timbul kesan Pemerintah Aceh Timur membiarkan kejahatan,” terang mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka [GAM] itu.

Namun, sambung bupati yang kerap disapa Rocky, pemasang jerat umumnya warga luar yang bekerja sama dengan masyarakat lokal. Dia meminta semua pihak berwenang, mengurus serius masalah ini.

Selain itu, Perusahaan Listrik Negara [PLN] juga harus menertibkan aliran listrik di sejumlah kawasan perkebunan dan pertanian, karena setrumnya juga membunuh gajah. “Selama ini listrik yang dipasang di pagar petani bertegangan tinggi. Bukan hanya gajah, masyarakat juga ada yang menjadi korban,” ungkapnya.

Baca: Foto: Salma yang Tidak Sendiri Lagi

 

Seekor anak gajah sumatera bermain di lumpur di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Agus Irianto, pada 12 Desember 2019 mengatakan, pihaknya telah melakukan berbagai kegiatan untuk mengatasi jerat pemburu. “Salah satunya, sapu jerat yang bekerja sama dengan berbagai pihak, baik lembaga pemerintah maupun LSM,” terangnya.

Agus menyebutkan, BKSDA juga memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak lagi memasang jerat. “Di hutan konservasi maupun di habitat satwa dilindungi yang berada di luar kawasan konservasi.”

Direktur FKL, Rudi Putra menilai, lemahnya penegakan hukum merupakan masalah yang harus diatasi. “Jerat merupakan masalah utama di Aceh, selain pengrusakan habitat,” ujarnya.

Selama ini, pelaku yang ditemukan di hutan membawa alat yang dapat membunuh atau melukai satwa dilindungi tidak di hukum. “Menunggu satwa mati, baru pelaku dihukum adalah pandangan atau pemahaman keliru.”

Rudi menambahkan, meskipun patroli pembersihan jerat atau perangkap satwa dilakukan, namun ketika tidak diikuti penegakan hukum, satwa terluka atau terbunuh terus ada.

“Hal ini karena tidak ada efek jera untuk pelaku. Terlebih, jerat dapat dibuat dengan mudah, tidak butuh biaya mahal,” ungkapnya.

Baca: Gajah Sumatera Mati Lagi di Perkebunan Sawit Aceh Timur

 

Intan Setia, anak gajah sumatera yang lahir 16 Maret 2017 di Conservation Response Unit [CRU] Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kematian gajah

Selama 2019, dua individu gajah mati di Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Utara. Di Kabupaten Aceh Timur, gajah betina 25 tahun ditemukan mati pada 20 November 2019 di perkebunan kelapa sawit PT. Atakana di Desa Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak.

Sementara di Kabupaten Aceh Utara, kerangka gajah ditemukan pada 8 Juli 2019 di Desa Seureuke, Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara. Kerangka gajah betina umur 12 tahun itu sudah tertimbun tanah. Tim BKSDA Aceh memperkirakan kematiannya karena tersengat listrik.

 

Data Kematian Gajah di Aceh

Tahun

Jumlah Individu

Hutan

HGU

Keterangan

2016

3

1

2

2017

13

10

2

1 jinak

2018

11

8

2

1 jinak

2019

2

1

1

Sumber: BKSDA Aceh

 

Kepala BKSDA Aceh, Agus Irianto mengatakan, hanya 15 persen habitat gajah sumatera di Aceh yang berada di kawasan konservasi. Sementara, 85 persen di luar hutan konservasi seperti di areal penggunaan lain dan hutan produksi.

“Ini menjadi penyebab konflik gajah sumatera dengan masyarakat banyak terjadi,” terangnya.

Baca juga: Cinta Kita yang Hilang pada Gajah Sumatera

 

Dua individu gajah sumatera yang mati akibat tersengat aliran listrik tegangan tinggi yang sengaja dipasang masyarakat di Desa Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, pertengahan Oktober 2017. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh, Muhammad Daud mengatakan, konflik satwa liar khususnya gajah dengan masyarakat menjadi perhatian Pemerintah Aceh.

“Saat ini di beberapa tempat, bersama LSM, kami membangun barier atau parit buatan di daerah yang sering terjadi konflik gajah,” terangnya.

DLHK Aceh juga tengah menyusun enam Kawasan Ekosistem Esensial yang tersebar di kabupaten/kota. Hutan di luar kawasan lindung ini akan dijadikan wilayah satwa dilindungi.

“Tujuannya, untuk habitat satwa liar yang berada di kawasan konservasi atau hutan lindung dan hutan produksi, seperti di areal penggunaan lain. Tujuan utamanya, mengatasi konflik satwa liar dengan manusia,” ungkap M. Daud.

Baca: Bom Waktu: Api yang Menghancurkan Habitat Harimau dan Gajah Sumatera

 

Kondisi awal Salma yang kena jerat Juni 2019. Tampak kaki kiri depannya diobati. Kini Salma semakin sehat dan mulai berjalan normal. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Rudi Putra menambahkan, alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan pembalakan liar menjadi penyebab terancamnya kehidupan gajah sumatera. Penataan ruang harus benar-benar diperhatikan sehingga habitat tidak diganggu. Masyarakat juga harus diberikan pemahaman pola tanam untuk menghindari konflik.

“Pertikaian tidak akan berakhir bila kondisi ini tidak diperbaiki, gajah atau masyarakat akan menjadi korban,” ujarnya.

Bustami, warga Kabupaten Aceh Timur berharap, kematian gajah di HGU perusahaan diproses ke pengadilan. “Kasus mengendap dan pelaku tidak pernah tertangkap. Perusahaan juga tidak pernah diminta pertanggungjawaban, berbeda penanganannya kalau gajah mati di kebun masyarakat,” tuturnya.

 

Jerat yang dibersihkan oleh Ranger dari Forum Konservasi Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Modus

Dwi Adhiasto, Program Manager Wildlife Crime Unit [WCU] mengatakan, perburuan gajah sumatera biasanya dilakukan menggunakan racun dicampur makanan, atau menggunakan senjata api. Sementara perangkap, dipakai untuk menangkap hewan lain yang susah dicari seperti harimau atau rusa.

“Kalau gajah mudah dicari dan diikuti, karena meninggalkan jejak. Jerat yang dipasang pemburu sering melukai gajah, bukan hanya di Aceh,” jelasnya.

Dwi menjelaskan, perburuan gajah [gading] marak di semua daerah di Sumatera. Namun, mengungkap kasusnya bukan hal mudah, karena jaringan pemburu sangat tertutup. Tidak sembarang menerima barang, kecuali kelompok mereka.

“Jaringan ini sangat kuat. Kalau satwa lain, masih ditawarkan terbuka, tapi urusan gading gajah, mereka tidak asal menjual atau membeli.”

Masalah lain, pengungkapan kasus pembunuhan sering terkendala rusaknya tempat kejadian perkara (TKP), sehingga polisi kesulitan mendapat bukti di lokasi.

“Pengungkapan kasus sebagian besar bergantung pada TKP, termasuk menemukan sidik jari. Tapi, selama ini TKP sudah lebih dulu rusak,” ungkapnya.

Saat ini, tambah Dwi, pemburu tidak hanya membunuh gajah jantan tapi juga betina yang sudah memiliki gading kecil. “Umumnya, gading dibuat untuk berbagai aksesoris seperti pipa rokok, tongkat komando, hingga pajangan di rumah,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version