Mongabay.co.id

Nyawa Warga Jambi Terenggut Angkutan ‘Maut’ Batubara

Polisi memberi tanda truk pengangkut batubara yang mengalami kecelakaan di Jalan Lintas Sumatera, Muarojambi, Jambi. Di Jambi, puluhan nyawa mlelayang jadi korban yang berkaitan dengan pengangkutan batubara. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Jalur angkutan batubara di Jambi, menelan banyak korban jiwa. Lebih 30 orang tewas dalam kecelakaan truk batubara dalam tiga tahun terakhir. Jerit tangis keluarga meratapi kepergian keluarga mereka yang jadi korban kendaraan tambang batubara. Ibu kehilangan anak, anak kehilangan bapak, istri kehilangan suami. Berulang-ulang. Nyawa mereka terenggut paksa menyisakan cerita kelam dan trauma.

Jalan sepanjang 200 kilometer memanjang dari Sarolangun, Batanghari, Kota Jambi hingga Pelabuhan Talang Duku Muarojambi, Jambi, bak jalur maut.

Pada 12 Oktober 2019 sekira pukul 05.30 pagi Kota Jambi masih sepi. Persis di depan Terminal Alam Barajo, Kota Jambi, Indah tengah sibuk melayani pelanggan sarapan. Sebuah warung tenda biru menyiapkan menu gado-gado, lontong sayur ada juga nasi gemuk. Di belakang warung Indah, berjejer ruko yang jadi loket bus antar kota dan provinsi. Ada juga agen travel.

Baca juga: Teror Tambang Batubara Hantui Warga Madiangin

Di seberang jalan terdengar keriuhan para pedagang Pasar Terminal Alam Barajo, sesekali ada yang tergelak. Indah juga tertawa meladeni obrolan pelanggannya.

Sejenak dia diam melihat beberapa meter dari warung, bus Amanah berhenti di tepi jalan menunggu penumpang berangkat ke Padang.

Pagi itu, puluhan truk batubara tanpa muatan berseliweran memadati jalan. Terkadang melaju beriringan seperti kejar-kejaran. Saban hari lebih dari seribuan truk batubara melintasi jalan depan Terminal Alam Barajo. Mereka memuat rata-rata 10 ton batubara ke Pelabuhan Talang Duku di Muarojambi. Indah menyebut truk batubara sebagai “raja jalanan.”

 

Ester Susan menunjukkan foto Jonatan Sitompul putranya yang kala itu berumur 7 tahun tewas setelah ditabrak truk pengangkut batubara. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

***

Pagi itu, Gunawan pulang terlambat. Biasa pukul 05.00 subuh sudah sampai rumah di Batanghari, sekitar 50 kilometer dari Kota Jambi. Dia masih lelah semalaman mengemudi truk mengangkut 10 ton lebih batubara ke Pelabuhan Talang Duku.

Kesehatan belum pulih betul, dua hari dia demam dan tak bisa kerja. Hari itu, Gunawan memaksa diri bekerja. Gunawan menginjak gas lebih dalam memburu waktu sampai rumah.

Baca: Tumpahan Batubara Menghitamkan Pantai Wisata Indah Ini 

Tak jauh dari keriuhan orang-orang sarapan di warung Indah, seorang lelaki 30 tahunan mengendarai motor Revo berhenti di belakang bus Amanah yang masih menunggu penumpang.

Tiba-tiba suara benturan keras terdengar hingga mengagetkan orang-orang yang lagi enak sarapan. Bus Amanah bergerak maju beberapa meter melewati warung setelah dihantam truk batubara dari belakang.

Orang-orang di warung kontan menghambur keluar dan sadar ada kecelakaan. Terdengar jeritan, dan orang-orang mulai berkerumun. Indah ikut berlari keluar. Dia melihat tangan dan darah di bawah kolong truk.

Orang baru sadar kalau pengendara motor Revo yang tergeletak di bawah kolong truk itu adalah Ucok, tinggal tak jauh dari Terminal Alam Barajo. Tubuhnya nyaris terlindas roda belakang. Kepala terluka, penuh darah.

“Orang yang di bawah truk itu posisi terjepit, dikit lagi kelindes roda belakang,” kata Indah.

“Ngeri.”

Ucok dalam kondisi kritis segera dilarikan ke IGD RSUD Abdul Manap menggunakan mobil angkutan kota. Gunawan ikut di dalamnya.

Ucok akhirnya meninggal.

Indah trauma berulang kali melihat kecelakaan truk batubara. “Pas puaso kemarin, persis di depan pasar itu [Alam Barajo] angkutan ditabrak sampai gepeng. Untung supirnya selamat. Kalau ada penumpang pasti banyak yang mati.”

Baca: Korban Jiwa di Lubang Tambang, Masalah Besar Ibu Kota Baru Indonesia

Sebulan setelah kejadian itu saya menemui istri Ucok. Rumahnya di Perumahan Kota Baru Indah, RT 30, Kecamatan Alam Barajo, Kota Jambi. Dia menyambut saya ramah tetapi menolak saya wawancara. Dia bilang masalah dengan supir batubara sudah selesai.

“Maaf, saya masih belum bisa cerita itu [kecelakaan].”

Saat saya beranjak pulang, istri Ucok menyela. Dia tanya dapat darimana alamat rumah dan nama suaminya. Saya jawab dari cacatan kepolisian.

“Maaf, saya belum bisa cerita itu,” katanya lagi.

Dari balik pagar rumah, saya melihat anak perempuan dan laki-laki berusia sekira dua dan tiga tahunan berlarian keluar masuk rumah. Mereka berhenti, lalu tertawa. Seorang perempuan muda, tampak menggendong bayi umur tiga bulan.

“Itu anak saya yang baru lahir,” kata istri Ucok.

Ucok Hendri Endriko Manurung, meninggal saat usia anak ketiganya belum genap dua bulan.

Duka serupa juga dialami keluarga Ester. Pada 22 Maret 2018, Ester pikir hari Jumat hingga anak sulungnya pulang sekolah cepat.

Sekitar pukul 09.00, dia datang ke SDN.73 Sungai Duren, untuk menjemput Jonatan Sitompul, yang baru kelas satu. Dia akhirnya pulang ke rumah tanpa Jonatan karena masih belajar. Dia baru keluar kelas sekitar pukul 10.00.

Tak ada yang aneh hari itu, Ester tak tahu kalau pagi itu hari terakhir dia melihat anaknya hidup.

 

Truk batubara dibakar massa di Batanghari karena kecelakaan yang menewaskan seorang pelajar. Kini truk dititipkan di Kantor Satlantas Polres Batanghari. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Pulang dari sekolah, Ester kembali sibuk dengan rutinitas di rumah, dia berniat menjemput Jonatan sejam kemudian. Tiba-tiba orangtua teman anaknya datang ke rumah dan bilang Jonatan kecelakaan. Ester terkejut. Bergegas dia pergi dengan pikiran kacau.

Sekitar satu kilometer dari rumah, persis di tikungan depan Puskesmas Sungai Duren dia menemukan puluhan orang berkerumun di tengah jalan hingga macet. Pikiran Ester mulai tak tenang, jantung berdebar cepat, hatinya penuh rasa was-was.

“Anak aku anak aku, pikiranku gitu.”

Di tengah jeritan warga, Ester menemukan sepatu yang dia hafal betul, sepatu Jonatan. Otot-ototnya seketika lemas tak punya daya. Perlahan dia berjalan menghampiri jasad penuh darah ditutupi daun pisang. Dalam hati dia berdoa berharap itu bukanlah anaknya.

Pelan-pelan Ester memberanikan diri untuk membuka. Hatinya, hancur.

“Lemas semua rasanya, ya Tuhan anakku.” Ester berkaca-kaca. Dia tak bisa bendung tangis dan jeritan melihat anaknya hancur tergilas truk bermuatan belasan ton batubara.

Jonatan dikenang sebagai anak cerdas dan perhatian pada orangtuanya. Ester bilang, anak sulungnya itu sayang dengan adik-adiknya. Sebagai abang, dia bisa mengayomi.

“Anaknya [Jonatan] itu pengertian kalau sama orangtua, saya capek ‘capek ma’ dia pijitin. Perhatian sekali anaknya.”

Sejenak Ester diam. Saya pun diam. Dia mengambil napas panjang lalu melepas perlahan. “Masa depanku hilang, sudah dak ada lagi. Anak yang aku banggakan sudah tak ada.”

Duka juga dialami keluarga Halimah, 26 hari berselang dari tragedi Jonatan. Hari itu cuaca sedang panas. Sekitar tiga kilometer dari rumah Ester, Halimah memilih tiduran di ruang tengah. Mbah Senin, bapaknya berumur 75 tahun, sibuk menjaga kotak wakaf di tengah jalan depan Masjid Jami’ Miftahurrahman, Desa Simpang Sungai Duren, Muarojambi.

Beberapa anak SD ikut menemani meminta sumbangan pada pengendara yang melintas. Sudah setahun Mbah Senin, membantu marbot Mesjid Sungai Duren. Kerjanya menyapu mesjid, menyiapkan tempat untuk salat Jumat dan minta sumbangan untuk pembangunan mesjid. Saban hari, Mbah Senin di tengah jalan menunggu orang-orang memberikan sumbangan.

Daerah Sungai Duren, termasuk daerah rawan kecelakaan. Mbah Senin, sudah biasa dengan lalu-lalang kendaraan yang melintas.

Halimah cerita, bapaknya pernah dua tahun jadi pengurus musala di belakang Kantor Golkar di Jalan Nes. Selama ikut mengurus musala Mbah Senin hampir setiap hari meminta sumbangan di tengah jalan. Setelah musala selesai dibangun Mbah Senin diminta membantu di Mesjid Simpang Sungai Duren.

Tahun 2018, produksi batubara di Jambi mencapai 11 juta ton lebih. Setiap hari, lebih 2.000 truk angkutan batubara melintasi Desa Sungai Duren, Muarojambi.

Waktu itu, Saddam diminta pegang kemudi truk yang lagi kosong. Bapaknya istirahat di bangku sebelah, kelelahan setelah berjam-jam mengemudikan truk bermuatan batubara dari Mandiangin sampai ke Pelabuhan Talang Duku.

Saat siang, jalan lintas di Sungai Duren, selalu padat. Ratusan truk batubara lewat silih berganti menjejali jalan dua jalur berbagi dengan kendaraan lain yang tak kalah banyak.

Saddam tancap gas berniat mendahului sepeda motor di depannya, justru dia kehilangan kendali. Anak-anak SD yang melihatnya sadar dan teriak memanggil Mbah Senin agar segera lari menghindar, tetapi tak dengar. Seketika truk menghantam tubuh pria 75 tahun itu. Mbah Senin sekarat, kepala lupa parah, bibir robek, paha kiri remuk seperti bekas tergilas.

Halimah yang tengah tiduran kaget karena tetangga datang memberi kabar buruk. Bapaknya ditabrak truk batubara.

“Kabarnya dibawa ke Puskesmas, sayo ke Puskesmas Simpang Duren gak ada, kato orang Puskesmas sudah dibawa ke klinik Ester, sampai sano ndak ado. Ketemunya di IGD Mattaher [RSUD Raden Mattaher].”

“Pas sampai sano limo menit, bapak sudah ndak ado [meninggal], lukonyo memang sudah parah nian,” kata Halimah.

“Kata dokter, bapak ne memang nunggu sayo datang.”

Kematian Mbah Senin, menyulut amarah warga Simpang Sungai Duren. Puluhan orang mulai datang bergerombol dan makin tereskalasi jadi kumpulan massa. Mereka memblokade jalan, angkutan truk batubara dihadang tak boleh lewat. Kemacetan truk batubara terjadi hingga malam.

Halimah tak ingin menuntut Saddam atas kematian bapaknya. Dia tak tega. “Kek mano dio jugo orang susah, istrinyo lagi hamil. Kito ini juga gak mau genjet orang, kasian jugo.”

Di acara tahlilan hari ketiga, orang tua Saddam datang ke rumah Halimah, menangis minta maaf. Halimah bilang, sudah memaafkan dan ikhas bapaknya pergi. Dia tak mau memperpanjang masalah.

“Kalau menurut ati itu, kito nyawo balas dengan nyawo,” katanya.

“Tapi itu kito ndak tego. Nak kito bunuh pun orang itu pasrah.”

Meski telah berdamai, proses hukum tetap berjalan. Di Pengadilan Negeri Sengeti Saddam Husain dijatuhi hukuman enam bulan penjara.

 

Kementerian Perhubungan memasang imbauan agar angkutan batubara tak melebihi kapasitas yang telah ditentukan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

***

Dalam catatan Mongabay, setidaknya 35 orang meninggal akibat kecelakaan yang melibatkan truk batubara selama tiga tahun terakhir di Jambi. Jalan di Batanghari, paling rawan.

Saya menemui Kasat Lantas Polresta Jambi, AKP La Ode Prasetyo Fuad. Dia pernah menjabat Kasat Lantas Polres Batanghari. La Ode menduga banyak karena akibat supir batubara kelelahan.

“Banyak yang kelelahan, karena bawa batubara itu kan berat, capek mereka.”

Selama tugas di Batanghari, dia banyak razia, tetapi angkutan batubara terlalu banyak. Pada 2018, produksi batubara di Jambi mencapai 11 juta ton lebih. Artinya, ada 3.000 lebih truk batubara melintas di Jambi setiap hari.

“Kita mau operasi setiap hari juga nggak sanggup,” katanya.

Pada 28 Desember 2012, Pemerintah Jambi mengeluarkan Perda Nomor 13 tentang Pengaturan Pengangkutan Batubara Dalam Jambi. Setiap pengangkutan batubara di Jambi harus melalui jalur khusus atau lewat sungai. Kala itu, pemerintah menargetkan perda mulai berjalan paling lambat 2014.

Tiga bulan berselang, Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus juga mengeluarkan Peraturan Gubernur Jambi Nomor 18/2013 tentang Tatacara Pelaksanaan Pengangkutan Batubara. Pergub yang diteken pada 4 Maret 2013 ini mengatur sedikit lebih detail soal angkutan batubara. Sayangnya, berbagai aturan ini tak jalan.

Sampai akhir 2019, angkutan truk batubara tak punya jalur khusus. Ribuan truk batubara berjejal di jalanan umum setiap hari. Kecelakaan angkutan batubara terjadi berulang-ulang. Puluhan orang mati sia-sia di jalanan.

Tengah Desember 2019, saya kembali bertemu Ester. Foto bocah SD mengenakan seragam putih merah tergantung di dinding, masih pada posisi sama saat petama kali saya menemui Ester pada 2018. Bocah di foto itu sudah dua tahun meninggal. Namanya, Jonatan.

Ester belum bisa melupakan kejadian saat nyawa anaknya terenggut paksa oleh angkutan batubara. Dia masih emosi meski Ahmad Sanusi, supir truk batubara yang menabrak anaknya telah dihukum delapan bulan penjara.

Dia bilang, nyawa anaknya tak pernah sepadan dengan apapun. Meski begitu, Ester sadar, anaknya yang telah pergi tak bisa kembali.

“Kalau saya maunya nyawa dibalas nyawa.” Suara Ester bergetar menahan emosi. Senejak dia diam. Mata mulai merah menahan air mata.

“Tapi sudahlah, mau bangaimana lagi, anakku tak akan bisa kembali.”

 

Keterangan foto utama: Polisi memberi tanda truk pengangkut batubara yang mengalami kecelakaan di Jalan Lintas Sumatera, Muarojambi, Jambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Truk batubara mengalami patah as diduga akibat kelebihan muatan. Banyak truk mengangkut batubara melebihi standar yang ditentutkan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version