Mongabay.co.id

Konflik Laut Natuna Utara, Bintang Utama di Laut Cina Selatan

 

Kawasan perairan Laut Natuna Utara yang secara administrasi masuk wilayah Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, kembali menjadi buah bibir dalam beberapa pekan terakhir. Kabupaten yang menjadi gerbang terluar Indonesia di bagian barat itu menjadi pembicaraan publik, karena di wilayah lautnya kembali hadir kapal-kapal ikan asing yang secara yuridis dilarang masuk ke Indonesia.

Tak hanya kapal ikan asing dari Vietnam saja yang diketahui dalam beberapa pekan terakhir kembali beraksi mencuri ikan di kawasan Laut Natuna Utara, namun juga di saat yang sama ikut masuk pula kapal ikan asing dari negeri Tirai Bambu, Tiongkok.

Kedua negara tersebut, bahkan sengaja melibatkan kapal penjaga laut mereka (coastguard) untuk mengamankan kapal-kapal ikan kedua negara tersebut saat sedang berlayar di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Kondisi itu berlangsung dalam beberapa pekan terakhir, dan diduga mulai marak kembali setelah pergantian jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan terjadi.

baca : Laut Natuna Masih Disukai Kapal Asing Penangkap Ikan Ilegal. Kenapa?

 

KRI Tjiptadi-381 dari Gugus Tempur Laut (Guspurla) Koarmada I sedang menghalau kapal Coast Guard China saat berpatroli di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau pada Senin (30/12/2019). Foto : Koarmada 1/inilahonline

 

Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim memberi tanggapan tentang kejadian yang terus memanas di Natuna tersebut. Menurut dia, kembali maraknya praktik pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal ikan asing (KIA) di Laut Natuna Utara, merupakan imbas dari banyak hal yang terjadi pada waktu sebelumnya.

Halim menyebutkan, salah satu hal yang yang dinilai sangat signifikan ikut memengaruhi penjagaan wilayah Laut Natuna Utara, adalah karena Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun anggaran 2018-2019 telah menurunkan anggaran untuk pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan (PSDKP) pada Direktorat Jenderal PSDKP.

“Turunnya alokasi anggaran, berimbas pada menurunnya jumlah hari pemantauan di laut, dari 145 hari menjadi 84 hari dalam setahun,” ungkapnya kepada Mongabay, Minggu (5/1/2020).

Menurut Halim, penurunan anggaran pengawasan di laut yang dilakukan KKP, ternyata juga terjadi di tingkat provinsi melalui Dinas Kelautan dan Perikanan. Salah satu contohnya, adalah alokasi anggaran PSDKP yang ada di DKP Provinsi Maluku Utara yang menurun selama kurun waktu dari 2017 hingga 2019.

“Imbasnya, jumlah hari pengawasan menurun drastis, dari 60 hari pada 2017 menjadi 24 hari pada 2019 saja,” tambahnya.

Penurunan anggaran untuk PSDKP itu dinilai menjadi salah satu sumber utama melemahnya pengawasan di wilayah laut Indonesia, terutama yang berbatasan langsung dengan negara tetangga sepeti Sulawesi Utara, Maluku Utara, Kepulauan Riau, dan yang lainnya.

baca juga : Liputan Natuna : Untuk Jadi Penguasa di Laut, Indonesia Butuh Coast Guard Segera (Bagian 4)

 

Ilustrasi. Kapal berbendera Vietnam yang ditangkap karena mencuri ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Perairan Natuna Kepulauan Riau pada Februari 2019. Foto : KKP

 

Sinergi

Selain faktor anggaran, Halim mengatakan, penyebab semakin melemahnya pengawasan di wilayah laut karena tidak adanya sinergi kelembagaan yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan pengawasan di laut. Kondisi itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan tidak memperlihatkan perbaikan.

Menurut Halim, ketiadaan sinergi antar lembaga yang berwenang sebenarnya bisa diatasi jika saja ada itikad dari masing-masing lembaga terkait untuk melakukan perbaikan melalui perencanaan pengawasan di laut. Perencanaan itu mencakup analisa ancaman di setiap wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).

“Mekanisme penanganan yang diperlukan, dan kebutuhan ideal anggarannya,” ucapnya merinci tahapan perencanaan dimaksud.

Langkah kedua perbaikan sinergi antar lembaga, kata Halim adalah dengan melakukan sinergi anggaran di antara kementerian/lembaga (K/L) Pemerintah yang berwenang melaksanakan pengawasan di laut. Hal itu dinilai mempercepat proses sinergi dan menciptakan kinerja pengawasan lebih baik lagi.

Langkah ketiga adalah sinergi strategi pengawasan di laut diantara K/L yang berwenang mengawasi laut. Hal itu menjadi kunci peningkatan kinerja pengawasan saat berada di laut.

Di luar langkah untuk mengatasi kendala sinergi antar lembaga, Abdul Halim menambahkan bahwa perbaikan kinerja pengawasan di wilayah laut juga harus menjadi fokus dari Menteri KP Edhy Prabowo. Namun, dia menilai, Edhy Prabowo cukup untuk fokus pada dua hal saja.

Fokus pertama, adalah memperbaiki kekurangan kebijakan yang sudah dibuat oleh Susi Pudjiastuti. Dengan cara lebih dulu melakukan kajian intensif tentang pemberlakuan aturan, dampaknya, dan apa langkah yang perlu diperbaiki oleh Menteri KP sekarang.

Fokus kedua adalah jangan gegabah mewacanakan kebijakan yang didasari argumentasi yang lemah. Karena ada prinsip ketidakpastian yang tinggi dalam pengelolaan perikanan saat ini.

“Terakhir, beliau mesti menyadari bahwa dirinya tidak lagi menjadi anggota DPR yang bebas bicara, melainkan anggota Kabinet Indonesia Maju yang perlu (sekali lagi) basis argumentasi yang memadai sebelum melontarkan wacana ke publik,” pungkas Halim.

perlu dibaca :  Ulah Vietnam Ini Mengintimidasi Indonesia di Laut Natuna Utara

 

Ilustrasi. Kapal perikanan asing berbendera Tiongkok yang sedang melintas di Laut Natuna Utara pada April 2019. Foto : KKP

 

Pola Pengawasan

Sementara itu, Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia Achmad Taufiqoerrochman pada akhir pekan lalu mengatakan bahwa munculnya kembali KIA berbendera Vietnam di kawasan ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, menegaskan bahwa ada yang tidak beres dalam perjanjian laut dengan negara tersebut.

“Sampai sekarang belum ada kesepakatan (Indonesia) dengan Vietnam untuk ZEE. Sementara untuk landas kontinen, itu sudah clear,” jelasnya dalam wawancara live di Metro TV, Senin (30/12/2019)

Untuk itu, Taufiq menyebut kalau Pemerintah terus berupaya melakukan diplomasi agar perjanjian laut di kawasan ZEE dengan negara tetangga bisa lebih jelas. Tetapi, proses diplomasi itu tidak gampang dan bukan wewenang Bakamla RI.

Di sisi lain, Taufiq mengakui pengawasan laut saat ini mengalami penurunan jumlah hari setelah anggaran diturunkan dalam dua tahun terakhir. Tetapi, kondisi itu dinilai bukan menjadi alasan untuk menurunkan intensitas pengawasan, sehingga tidak menjadi sumber kelemahan bagi Indonesia di wilayah perbatasan laut.

“Anggaran yang rendah, apa yang bisa dimaksimalkan. Kita mengubah pola akhirnya. Sekarang jadi dalam posisi tunggu dan surveillance,” sebutnya.

Dengan pengubahan pola pengawasan seperti itu, Taufiq mengakui pengawasan menjadi lebih terarah dan fokus. Dengan demikian, armada pengawasan yang disiagakan pun akan bergerak lebih cepat dan pada saat yang tepat. Adapun, armada yang disiagakan tersebut adalah armada milik TNI.

Sedangkan Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo menjelaskan bahwa pengawasan di laut akan terus didorong dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Selain itu, KKP juga mendorong partisipasi dari masyarakat untuk memberikan laporan yang cepat dan lengkap jika ditemukan ada praktik pencurian ikan ataupun pelanggaran kedaulatan Negara lainnya.

“Kita akan patroli di titik-titik yang rawan,” tuturnya dalam kesempatan yang sama.

perlu dibaca : Kedaulatan Negara di Laut Bergantung pada Bakamla

 

Ilustrasi. Tiga kapal ikan asing berbendera Vietnam ditenggelamkan di perairan Tanjung Datuk, Kalbar Sabtu (11/5/2019). Penenggelaman itu dilaksanakan serentak untuk 13 kapal di tiga lokasi yaitu Natuna (Kepulauan Riau), Belawan (Sumut) dan Pontianak (Kalbar). Foto : Humas KKP

 

Protes Keras Indonesia

Sementara, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia akan terus berperang melawan klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok di wilayah ZEE Indonesia di Natuna. Klaim yang dimaksud tersebut, tidak lain adalah penyebutan Laut Natuna Utara sebagai bagian dari pusat tangkapan ikan tradisional bagi Tiongkok.

Secara resmi, Menteri Luar Negeri Tiongkok Geng Shuang menyebut bahwa Laut Natuna Utara sebagai bagian dari nine dash line atau sembilan garis putus-putus yang ada di Laut Cina Selatan dan meluas hingga 2 juta km2 sampai ke Indonesia.

Atas klaim tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dalam websitenya mengeluarkan enam poin sikap tegas, yaitu

  1. Pada hari Senin (30/12/19) hasil rapat antar Kementerian di Kemlu mengkonfirmasi terjadinya pelanggaran ZEE Indonesia, termasuk kegiatan IUU fishing, dan pelanggaran kedaulatan oleh Coast Guard RRT di perairan Natuna.
  2. ​Kemlu telah memanggil Dubes RRT di Jakarta dan menyampaikan protes ​keras terhadap kejadian tersebut. Nota diplomatik protes juga telah disampaikan.
  3. ZEE Indonesia ditetapkan berdasarkan UNCLOS. RRT sebagai pihak pada UNCLOS, harus menghormatinya.
  4. Menegaskan kembali bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dgn RRT. Indonesia tidak akan pernah mengakui 9 dash-line RRT karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016.
  5. RRT adalah salah satu mitra strategis Indonesia di Kawasan dan kewajiban kedua belah pihak untuk terus meningkatkan hubungan yang saling menghormati, dan membangun kerjasama yang saling menguntungkan.
  6. Dubes RRT mencatat berbagai hal yang disampaikan dan akan segera melaporkan ke Beijing. Kedua pihak sepakat untuk terus menjaga hubungan bilateral yang baik dengan Indonesia
  7. Kemlu akan terus lakukan koordinasi erat dengan TNI, KKP dan Bakamla guna memastikan tegaknya hukum di ZEE Indonesia.

 

 

Exit mobile version