Mongabay.co.id

Banjir dan Longsor, Jangan Sampai Terulang Lagi di Bengkulu

Bengkulu harus siap menghadapi potensi bencana yang bisa terjadi di darat maupun laut. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Ancaman banjir dan tanah longsor harus diwaspadai masyarakat Bengkulu. Bencana alam yang terjadi pada 26-27 April 2019 lalu, adalah kenyataan pahit yang harus diterima.

Data analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG] Fatmawati Soekarno Bangkulu menunjukkan, puncak cuaca ekstrim terjadi 8-10 Januari 2020. Kondisi ini berupa hujan lebat disertai petir dan angin kencang. Daerah yang berpotensi adalah Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara, Lebong, Rejang Lebong, Kapahiang, Bengkulu Tengah, Kota Bengkulu, Seluma, Bengkulu Selatan, hingga Kabupaten Kaur.

“Harap waspada dengan cuaca ekstrim,” kata Prakirawan BMKG Stasiun Metereologi Fatmawati Soekarno Bangkulu, Haris Syahid Hakim, Ahad [5/1/2020].

Terhadap kondisi tak bersahabat itu, BMKG Bengkulu mengajak masyarakat waspada ketika terjadi hujan lebat walau hanya terjadi beberapa jam. Intensitas yang tinggi bisa menyebabkan longsor.

“Mawas diri penting karena topografi Bengkulu merupakan pegunungan dan perbukitan dengan lereng-lereng rentan longsor dan lembah yang padat permukiman penduduk,” ujarnya.

Baca: Banjir dan Longsor Bengkulu, Ada yang Salah dengan Pengelolaan Bentang Alam?

 

Bengkulu harus siap menghadapi potensi bencana alam. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Nasib petani di sekitar daerah aliran sungai

Koordinator Komunitas Peduli DAS Bengkulu, Joni Irawan juga memperingatkan potensi tidak bersahabat ini. “Masyarakat harus ada persiapan, tertutama menghindari korban jiwa. Kita tidak ingin banjir besar dan longsor pada 26-27 April 2019 lalu, yang melanda 9 kabupaten/kota, terulang kembali,” ujarnya, Minggu [5/1/2020].

Sebagai informasi, akibat bencana itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] per 1 Mei 2019, mencatat 30 korban meninggal dan 6 orang hilang. Korban terbanyak di Kabupaten Bengkulu Tengah, total 24 orang, sedangkan Kota Bengkulu dan Kabupaten Kapahiang masing-masing 3 orang.

“Sebagian besar korban, pada saat kejadian, berada di pondok-pondok kebun di DAS Lemau dan DAS Bengkulu. Mereka tidak tahu cuaca ekstrim. Mereka menjadi korban hantaman air bah yang membawa lumpur longsoran tanah,” ujar Joni.

Kedua DAS tersebut memang berada di Kabupaten Bengkulu Tengah. DAS Lemau misalnya, berada di Kecamatan Bang Haji, Pagar Jati, Merigi Sakti, Merigi Kelindang, Taba Penanjung, Karang Tinggi, Pematang Tiga, Pondok Kubang dan berakhir di Pondok Kelapa. Total luasnya sekitar 51.493 hektar.

Baca: Banjir dan Longsor Bengkulu, Jalur Hukum Ditempuh Demi Bencana Menjauh

 

Alih fungsi hutan tidak hanya menyebabkan terjadinya bencana banjir, longsor, hingga kekeringan, tetapi juga mengganggu ekosistem lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Penelitian Kanang Setyo Hindarto dkk, terkait Aplikasi Sistem Informasi Geografis [SOG] untuk Pemodelan Spasial Disain Tata Guna Lahan DAS Lemau Berdasarkan Tingkat Kekritisan Daerah Resapan, tahun 2013 menunjukkan, lahan DAS Lemau ini hanya memiliki tutupan alami tersisa 15.368,5 hektar [29, 8 persen].

Dengan tutupan hutan sedemikian tipis, resapan air di DAS Lemau sangat minim, longsor dan banjir menjadi ancaman paling serius. Dalam penelitiannya, Setyo dkk, menuliskan kawasan lindung di DAS Lemau telah mengalami perubahan tata guna lahan, terutama di Hutan Lindung Bukit Daun yang kini menjadi permukiman dan perkebunan serta dan pertanian.

Bagaimana DAS Bengkulu? Alirannya melalui Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu. Total luasnya 52.164,4 hektar. Wilayah yang dilalui di Bengkulu Tengah yaitu Karang Tinggi, Merigi Kelindang, Pondok Kubang, Taba Penanjung dan Talang Empat, yaitu sekitar 46.359,4 hektar [88,9 persen]. Sedangkan di Kota Bengkulu adalah Muara Bangkahulu, Sungai Serut, Teluk Segera, Ratu Samban, Gading Cempaka, Selebar, dan Ratu Agung, dengan luasan 5.805,4 hektar [11,1 persen].

Merujuk materi presentasi Dosen Kehutanan Universitas Bengkulu [Unib], Gunggung Senoaji pada Rapat Koordinasi Penyusunan Rencana Tindak Lanjut Pengelolaan DAS Bengkulu, ditemukan fakta bahwa pada DAS Bengkulu yang masuk wilayah Bengkulu Tengah, sebanyak 34, 67 persen luasannya digunakan untuk sektor pertanian. Sementara, 21, 51 persen digunakan untuk pertambangan dan penggalian. Dengan begitu, tutupan hutan DAS Bengkulu telah terbuka sehingga serapan air sangat minim.

Begitu juga DAS Bengkulu yang di Kota Bengkulu, sekitar 36,94 persen DAS telah difungsikan untuk sektor perdagangan, perhotelan dan restoran. Sementara, 23,58 persen digunakan untuk jasa lain.

Baca: Tutupan Hutan Berkurang, Bengkulu Harus Fokus Perbaiki Lingkungan

 

Tambang batubara terbuka di hulu Sungai Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

 

Rawan banjir dan longsor

Kepala Dinas Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Provinsi Bengkulu, Rusdi Bakar mengatakan, banjir dan longsor bisa terjadi bila hujan deras tiba.

“Untuk banjir dan tanah longsor hampir seluruh kabupaten/kota di provinsi ini ada potensi,” kata dia, Minggu [5/1/2020].

Dari pengalaman BPBD, menurut Rusdi, peristiwa tanah longsor akan terjadi hampir setiap musim hujan, terutama di jalan lintas Bengkulu Tengah menuju Kabupaten Kepahiyang. Begitu juga di jalan lintas Kabaputen Lebong menuju Kabupaten Rejang Lebong.

“Ini daerah rawan,” tambah dia.

BPBD Kabupaten Lebong, mengantisipasi cuaca buruk ini, telah merilis daerah-daerah yang masuk katogori rawan longsor dan banjir. Menurut Kepala BPBD Kabupaten Lebong, Fakhrurrozi, dikutip dari Republika, ada 10 dari 12 kecamatan yang berada di zona rawan.

“Paling rawan tanah longsor di Jalur Lintas Lebong menuju Curup. Sedangkan daerah rawan banjir di sepanjang aliran Sungai Air Ketahun, Sungai Air Kotok, dan Sungai Air Amen. Termasuk di Kecamatan Lebong Utara hingga Kecamatan Uram Jaya,” jelasnya.

Baca: Bengkulu Harus Siap, Hadapi Potensi Bencana

 

Potensi cuaca ekstrim, hujan lebat disertai petir dan angin kencang, yang melanda sejumlah wilayah Indonesia, 5-12 Januari 2020. Sumber: BMKG

 

Penyebab cuaca ekstrim

Deputi Bidang Meteorologi BMKG, R. Mulyono Rahadi Prabowo, menjelaskan cuaca ekstrim terjadi akibat berkurangnya pola tekanan rendah di Belahan Bumi Utara [BBU] dan meningkatnya pola tekanan rendah di wilayah Belahan Bumi Selatan [BBS].

Hal ini mengindikasikan terjadinya, peningkatan aktivitas Monsun Asia yang dapat menyebabkan penambahan massa udara basah di wilayah Indonesia. Meningkatnya pola tekanan rendah di BBS [sekitar Australia] dapat membentuk pola konvergensi [pertemuan massa udara] dan belokan angin menjadi signifikan terhadap meningkatkan pertumbuhan awan hujan di wilayah Indonesia, terutama di selatan ekuator.

Sementara itu, berdasarkan model prediksi, aktivitas Madden Julian Oscillation [MJO] fase basah diprediksikan mulai aktif di Indonesia selama periode sepekan ke depan [5-12 Januari 2020]. Kondisi ini tentunya dapat meningkatkan potensi pembentukan awan hujan cukup signifikan di wilayah Indonesia.

“Dampak yang ditimbulkan karena cuaca ekstrim ini adalah banjir, tanah longsor, banjir bandang, angin kencang, pohon tumbang, dan jalan licin. Masyarakat yang berada di pesisir agar selalu waspada,” jelasnya.

 

 

Exit mobile version