Mongabay.co.id

Berharap “Batin Melayu” Menyelamatkan Alam dan Manusia di Indonesia

 

 

Menyaksikan dan merasakan dampak atau menjadi korban banjir, kekeringan, kabut asap, longsor, gempa bumi, gunung erupsi, tsunami, yang terus melanda berbagai wilayah di Indonesia hampir setiap tahun, jika dilihat dari batin melayu, sebenarnya memiliki garis lurus dengan perubahan perilaku sebagian manusia Indonesia hari ini. Perilaku yang individual, penuh kecurigaan, kebencian, permusuhan, menghujat, tidak peduli lingkungan yang diiringi tindak kekerasan.

Apa itu batin melayu?

Batin melayu adalah nilai-nilai yang dilahirkan dari kebudayaan bahari; relijius, terbuka dan egaliter. Nilai-nilai ini yang mewujudkan kebersamaan [semua makhluk hidup] dalam membangun kenyamanan, kebahagiaan, kedamaian sebagai keselamatan di dunia [bumi] dan akhirat, seperti harmoninya alam semesta. Maka, tumbuh dan berkembangnya batin melayu dengan menempatkan alam sebagai guru.

Selama ratusan abad, batin melayu melahirkan berbagai kelompok masyarakat di Nusantara. Sebut saja Papua, Pasemah, Buton, Jambi, Palembang, Aceh, Batak, Minangkabau, Komering, Lampung, Bugis, Dayak, Makasar, Minahasa, Rejang, Betawi, Suku Laut, Kepulauan Riau, Semenanjung Malaya, Banten, Tidore, Ambon, Bangka, Belitung, Nias, Mentawai, Bali, Enggano, Kerinci, Ternate, Sunda, Nusa, Jawa, Bali, dan lainnya.

Jika ditelisik, semua kelompok masyarakat di Nusantara tersebut memiliki sikap yang sama terhadap alam. Mereka menjadikan alam sebagai pusat kehidupan [ekosentris], bukan sebaliknya manusia sebagai pusat alam semestra [antroposentris]. Sikap ini akhirnya membuat mereka menjaga alam.

Jejak pemahaman ini dapat dibaca dari berbagai simbol yang didapatkan dari patung megalitikum Pasemah di Bukit Barisan yang usianya berkisar 2.000 tahun, yang menampilkan hubungan manusia dengan satwa. Kemudian Prasasti Talang Tuwo, prasasti Kedatuan Sriwijaya yang dibuat tahun 684 Masehi, hingga falsafah “alam terbentang menjadi guru” yang menjadi dasar peradaban berbagai suku di Nusantara di masa masehi. Di Minangkabau [Sumatera Barat] falsafah ini berperan dalam kehidupan masyarakatnya.

Baca: Harimau Sumatera Itu Bagian dari Peradaban Masyarakat

 

Harimau sumatera sang penjaga hutan rimba. Dahulu satwa ini dihormati, kini malah dikuliti. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Harimau sebagai simbol batin melayu

Harimau sumatera adalah raja hutan di negeri melayu. Pemuncak rantai makanan di hutan rimba. Tidak ada satwa lain, termasuk manusia [tanpa senjata api atau tajam] yang mampu mengalahkannya.

Sejak ribuan tahun lalu, masyarakat melayu hidup damai dengan harimau. Kenapa? Karena manusia melayu memandang harimau sebagai saudara yang menjaga atau melindungi hutan rimba. Bedanya, harimau menjaga belang, sementara manusia melayu menjaga batinnya. Dari Lampung hingga Aceh, harimau diposisikan sebagai orangtua. Beragam sebutan menyematkan harimau, mulai dari ompung, datuk, inyiak, hangtuo hingga puyang.

Sungguh luar biasa batin melayu yang mampu melahirkan masyarakat yang hidup damai dan berdampingan dengan harimau sebagai raja hutan rimba. Mungkin ini tidak kita temukan di berbagai negeri daratan yang makhluk hidup di luar manusia harus ditaklukkan. Bahkan manusia pun saling mengalahkan.

Baca: Konflik Manusia dengan Harimau, Harmoni Kehidupan yang Perlahan Hilang

 

Kulit, taring, dan tulang-belulang harimau sumatera yang diperdagangkan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Konflik batin melayu

Hari ini, masyarakat melayu menghadapi peperangan di dalam batinnya. Nilai relijius, terbuka dan egaliter tengah diuji gelombang baru ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai produk budaya.

Sejalan dengan perubahan global tersebut, berbagai fenomena sosial terlihat di masyarakat melayu seperti sikap penuh kecurigaan, permusuhan, kebencian, penghujatan, tidak peduli lingkungan, individual, serta diiringi tindak kekerasan. Baik yang terjadi di rumahnya, ruang publik, hingga ruang privasi manusia lain.

Alam yang selama ini dijaga atau direspon secara arif, terutama hutan dan kawasan air, kini terlihat tidak lagi dipedulikan. Berbagai permukiman atau kota yang berada di dataran rendah, seperti Medan, Palembang, Jakarta, Surabaya, yang sebelumnya tidak pernah melahirkan “korban banjir” kini selalu merugikan manusia baik materi maupun jiwa setiap tahunnya.

Adanya “korban banjir” tersebut sebenarnya dampak dari sikap manusia hari ini yang tidak lagi menjaga atau merespon secara arif alam atau lingkungan. Misalnya, hutan di hulu dihabisi, sementara kota di wilayah hilir, tidak lagi direspon secara arif. Bangunan bertiang yang selama ratusan tahun menyelamatkan manusia dari banjir, diubah menjadi bangunan tidak bertiang. Semua bangunan mirip permukiman atau kota di wilayah kontinental atau daratan.

Baca: Catatan Akhir Tahun: Pindah Ibu Kota Negara, Indonesia Bisa Belajar “Komitmen” dari Sriwijaya [Bagian 2]

 

Pulau Maratua, Kalimantan Timur, yang indah. Akankah tetap terjaga dari kerusakan tangan jahil manusia? Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Akibatnya rawa, kolam, dan bahkan sungai ditimbun agar mendapatkan daratan. Ketika musim penghujan yang menyebabkan banjir, mereka yang hidup dengan bangunan tak bertiang itu pun menjadi korban. Bahkan yang berada di hulu pun menderita karena bencana longsor.

Benarkah batin melayu tidak siap menghadapi perubahan masyarakat global yang diasumsikan sebagai produk kebudayaan kontinental?

Menurut kami tidak. Sebab, selama ratusan tahun masyarakat melayu hidup damai dengan subjek-subjek yang di masa kini sebagai ancaman yang dengan cepat memusnahkan manusia. Misalnya, menjadikan harimau si raja hutan rimba sebagai “saudara”, hidup tenang di sekitar gunung berapi, atau di jalur gempa.

Di masa lalu, masyarakat melayu pun menerima “pembauran” atau menjadi hybrid dengan berbagai suku bangsa di dunia, khususnya dari wilayah kontinental. Mulai dari Tiongkok, India, Timur Tengah, Eropa, dan lainnya. Pembauran ini melahirkan beragam produk budaya, mulai dari teknologi, bahasa, kuliner, seni, hingga berbagai agama yang berkembang atau dibawa para pendatang tersebut.

Baca juga: Bentang Alam Rusak karena Cara Pandang Kita yang Keliru?

 

Laut Indonesia yang tidak hanya kaya tetapi juga jalur strategis pelayaran dunia. Foto: Rhett Buter/Mongabay Indonesia

 

Rusaknya bentang alam

Konflik batin melayu yang berlangsung saat ini, menurut kami dikarenakan kerusakan bentang alam. Alam sebagai guru atau sebagai pusat kehidupan perlahan kehilangan posisinya di masyarakat melayu. Kehilangan posisi ini karena alam sudah tidak terjaga dikarenakan berbagai aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan atau tidak berkelanjutan. Dua atau tiga generasi terakhir dari masyarakat melayu mungkin tidak lagi memahami batin melayu.

Pada akhirnya, harimau yang sebelumnya “saudara” kini menjadi musuh. Konflik harimau dengan manusia melahirkan pemahaman jika perilaku kucing besar tersebut sebagai sebuah teror. Bukan tidak mungkin harimau pun mendapat cap “teroris”.

Tsunami, gempa bumi, gunung meletus, banjir yang sejak ribuan tahun lalu merupakan bagian dari kehidupan masyarakat melayu di Nusantara, yang mereka mampu melaluinya bersama kekuatan alam [kearifan], kini menjadi momok menakutkan. Setiap tahun, ratusan hingga ribuan manusia melayu mengalami kerugian materi dan jiwa karena berbagai fenomena alam tersebut.

Puncaknya, seperti disebut di atas, terjadi perubahan perilaku sejumlah manusia melayu yang menjadi tertutup, curiga, penuh rasa benci dan permusuhan, tidak peduli lingkungan, individual, yang kemudian diiringi tindak kekerasan. Selanjutnya, kita pun memahami perilaku tersebut menjadikan manusianya berpotensi menjadi teroris, serta rentan menjadi korban berbagai bencana alam.

 

Hutan Sumatera yang tidak hanya penting bagi kehidupan manusia tetapi juga tempat hidupnya satwa liar. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Batin melayu sebagai benteng

Bagaimana upaya menyelamatkan manusia melayu di Nusantara? Menurut kami, sebaiknya dibenahi kembali batin melayu. Sebab, manusia yang relijius, terbuka dan egaliter, karena memandang alam semesta sebagai pusat kehidupan, tidak akan menjadi seorang teroris, dan pasti peduli dengan alam atau lingkungan.

Manusia dengan batin melayu, melihat manusia bagian terkecil dari alam semesta. Keberlanjutan hidup umat manusia sangat ditentukan keseimbangan alam semesta. Manusia pun harus mampu menjaga, merespon secara arif, atau bahkan “menyatu” dengan alam semesta. Artinya, alam semesta rusak, maka musnahlah pula manusia.

Namun, karena batin melayu berguru dengan alam, maka yang pertama dilakukan yakni memperbaiki dan menghentikan berbagai perilaku yang merusak alam. Baik alasan karena ekonomi maupun pembangunan. Setidaknya, sumber daya alam dimanfaatkan secara arif, tidak tamak dan terburu-buru. Dimanfaatkan secara perlahan dan hati-hati sehingga keharmonisan bentang alam terus terjaga.

Jika alam terus dibiarkan rusak, hilangnya batin melayu tinggal menunggu waktu. Kehilangan batin melayu, akan sulit menghentikan atau mengatasi berbagai fenomena kebencian, permusuhan dan kekerasan, serta menjadi korban bencana alam pada berbagai kelompok masyarakat melayu di Nusantara.

 

* Taufik Wijaya, jurnalis, sastrawan, dan pengamat sosial. **Dr. Husni Tamrin, budayawan Palembang. Tulisan ini opini penulis

 

 

Exit mobile version