Mongabay.co.id

Desak Polda Tangkap Penganiaya Mahasiswa, Dinas Kehutanan: Masempo Dalle Belum Ada IPPKH

 

 

 

Mahasiswa Universitas Halu Oleo, mendesak Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara, untuk menangkap dan memenjarakan preman yang menganiaya Iksan, mahasiswa UHO usai demo protes tambang di Konawe Utara pada 2 Januari lalu. Mereka beberapa kali aksi di Kota Kendari. Teranyar, Kamis (8/1/20), mahasiswa UHO mendatangi Polda Sultra meminta kejelasan penanganan kasus penganiayaan ini.

Muhammad Arjuna, koordinator aksi mengatakan, kinerja kepolisian perlu dipertanyakan. Sejak laporan masuk sepekan lalu, surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) menunjukkan tak ada kejelasan.

Padahal, seluruh permintaan polisi baik saksi dan bukti sudah diberikan saat mereka melaporkan kasus ini.

“Berdasarkan kronologis kasus yang kami berikan kepada kepolisian, harusnya sudah ada pengumuman status tersangka. Siapa pelaku dan kenapa pelaku sampai mau melakukan kasus ini. Dugaan kami ini preman suruhan,” katanya.

Baca juga: Usai Aksi Protes Tambang, Mahasiswa di Kendari Alami Penganiayaan

Selain itu, kata Arjuna, kepolisian Sultra juga harus memberikan jaminan keamanan kepada setiap orang yang menyampaikan aspirasi. Kalau tidak, katanya, mungkin akan terus terjadi penganiayaan terhadap orang yang hendak menyuarakan aspirasi. Apalagi, kasus yang disuarakan sebelumnya pertambangan ilegal di Konawe Utara.

 

Saling lapor di Polda Sultra

Sebelum aksi Kamis, empat hari sebelumnya mahasiswa juga menggelar unjuk rasa di Kantor PT Masempo Dalle, di Kendari. Mereka menuding penganiayaan terhadap Iksan, mahasiswa Fakultas Kehutanan, UHO, oleh sekelompok preman, suruhan dari perusahaan yang berkaitan dengan MD.

Dalam aksi ini sempat terjadi kericuhan mengakibatkan beberapa barang dirusak massa. Tidak terima, kuasa hukum MD, Abdul Rahman, melaporkan tindakan pengrusakan dan pengancaman oleh sejumlah kelompok pemuda itu.

Jumat sore (3/1/20), Rahman melaporkan kasus itu ke Polda Sultra. Rahman bercerita, saat itu puluhan pemuda tiba-tiba datang dan merusak sejumlah fasilitas dalam Kantor MD sekitar pukul 15.20.

Beruntung, ada CCTV dan saksi mata di sekitar lokasi, dan sejumlah pelaku berhasil teridentifikasi.

“Dalam rekaman video, para pelaku terlihat mengamuk, sempat masuk hingga ke pagar dan merusak gedung kantor,” katanya.

Demo di Kantor MD ini buntut aksi yang digelar Kamis (2/1/20), puluhan mahasiswa UHO mengusut dugaan kejahatan lingkungan yang diduga MD, PT Astima Konstruksi (Askon) dan PT Makmur Lestari Primatama (MLP).

Beberapa jam setelah aksi, seorang mahasiswa dianyiaya orang tak dikenal, hingga mengalami luka di kepala.

Dia membantah tudingan penganiayaan mahasiswa oleh preman suruhan MD.

Rahman berharap, semua pihak mempercayakan kasus penganiayaan kepada aparat penegak hukum hingga tak mengambil tindakan sendiri dan mengakibatkan muncul masalah baru.

“Soal itu, kami juga meminta kepada polisi agar pelaku cepat ditangkap, namun yang jelasnya aksi itu bukan dari karyawan PT Masempo Dalle,” katanya.

 

Aksi mahasiswa protes tambang di Kendari. Foto: dokumen mahasiswa

 

 

Tak berizin pakai kawasan hutan

Dalam aksi mahasiswa di DPRD Sulawesi Tenggara, 2 Januari lalu protes perusahaan tambang di Konawe Utara diduga tak ada izin pinjam pakai kawasan hutan kala beroperasi di hutan lindung. Mereka mendesak pihak berwenang agar bertindak tegas dan proses hukum.

Mereka yang aksi tergabung dalam Pengurus Pusat Sylva Indonesia (Ikatan Mahasiswa Kehutanan Se-Indonesia) menyebut tiga perusahaan, MD, MLP dan Askom. MLP dan Askom, merupakan perusahaan penyedia alat berat rekanan MD, belakangan tak melanjutkan kerja sama.

Sahid, Kepala Dinas Kehutanan Sultra mengamini. MD, memang tidak memiliki IPPKH. Status IPPKH perusahaan ini, katanya masih dalam tahap pengurusan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Karena masih tahap pengurusan, katanya, MD tidak boleh menambang dalam kawasan hutan. “Kalau menambang dalam kawasan hutan, itu pidana. Harus diproses hukum,” kata Sahid.

Meskipun begitu, dia belum mengetahui apakah perusahaan itu sudah penambangan atau tidak. Dia mengaku, dengan sumber daya manusia terbatas hingga sulit mendeteksi itu. Dia akan berkoordinasi dengan tim penegak hukum kehutanan untuk menyelidiki ini.

“IPPKH Masempo Dalle masih proses. Belum ada surat kepemilikan IPPKH untuk perusahaan ini,” katanya.

Bicara soal hutan lindung, kata Sahid, sejak awal menekankan agar tak ada lagi IPPKH di kawasan hutan lindung walaupun memungkinkan.

“Tapi untuk penambangan tertutup. Kalau nikel, tidak bisa penambangan tertutup. Di Konawe Utara, itu kan tambang nikel semua,” katanya seraya bilang, IPPKH di hutan lindung tak lagi terbit IPPKH.

“Kecuali di hutan produksi, nah itu masih boleh.”

Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sultra, tidak mau memberikan keterangan sama sekali.

 

Serahkan kasus ke polisi

Abdul Rahman, Kuasa Hukum Masempo Dalle menyerahkan proses sepenuhnya kepada aparat penegak hukum.

“Kami percayakan semua kepada aparat kepolisian. Kami ini, juga sebagai korban ingin pelaku secepatnya diamankan kepolisian.”

Kalau masyarakat menuding MD di balik penganiayaan salah seorang mahasiswa UHO, itu suatu kesalahan. Tudingan ini, katanya, tak disertai bukti kuat.

Dia juga bilang, dua perusahaan yang disebutkan dalam aksi mahasiswa itu bukanlah bagian dari MD. Karena konflik internal, menyebabkan hubungan mereka rengggang sekitar tujuh bulan lalu. “Askon dan MLP ini tidak ada hubungan dengan Masempo Dalle.”

Dalam berita Mongabay, sebelumnya, dalam keterangan kepada media, kuasa hukum PT Makmur Lestari Primatam (MLP) dan PT Astima Konstruksi (Askon) juga membantah disebut pakai jasa preman untuk menghalangi apalagi menganiaya mahasiswa yang demo.

Abdul Rahman, Kuasa Hukum MLP dan Askon mengatakan, kasus MLP dan Askon sudah bergulir sejak setahun lalu, mulai digugat di pengadilan hingga demo dan berujung penganiayaan terhadap mahasiswa.

 

Protes tambang banyak di Sultra, seperti di Pulau Wawonii. Fatria, salah satu perempuan Wowanii, yang berjuang menolak tambang. Dia meneteskan air mata usai mendengar pernyataan Lukman Abunawas yang akan mencabut 15 IUP di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Rahman berusaha meluruskan informasi yang beredar.

Pertama, Askon dan MLP tak melakukan pertambangan ilegal. Kedua perusahaan ini, katanya, bukanlah perusahaan pertambangan. Mereka, katanya, bukan pemegang izin usaha pertambangan di Konut.

Kemudian, katanya, perusahaan ini tidak pernah kontrak kerja sama join operasional (JO) dengan pemegang IUP dalam hal ini MD.

“Askon dan MLP adalah perusahaan penyedia alat berat. Kita hanya menyewakan alat berat. Yang menambang bukan kami, yang menambang tetap PT Masempo Dalle sendiri. Jadi, salah kalau sebut klien saya menambang,” katanya.

Kedua, perusahaan (MLP dan Askon) sejak tujuh bulan lalu tak lagi bekerja di Masempo Dalle. Seluruh alat ditarik ke Kendari dan memutuskan kontrak kerja sama dengan Masempo Dalle.

Alasannya, kata Rahman, klien mereka kecewa karena disebut melakukan penambangan ilegal. “Jadi, tidak lagi bekerja sama. Kami menarik semua alat berat. Ketiga, klien saya kecewa disebut penambang ilegal di pengadilan saat digugat dulu,” katanya.

 

Janji Polda

Sementara, Kombes Pol La Ode Aris Elfatar, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sultra, mengatakan, sudah membentuk tim untuk mengungkap kasus ini. Dia berharap, semua pihak mempercayakan penuh kepada polisi.

“Hari itu, kami langsung membentuk tim bersama Polres dan Polda menyusuri TKP (tempat kejadian perkara-red) mencari petunjuk untuk identifikasi pelaku, termasuk CCTV. Hasilnya, belum ada petunjuk. Saya berjanji, laillahita’ala, demi Allah tidak akan menyembunyikan fakta di balik peristiwa ini,” katanya.

Saat ini, polisi terus melakukan pengejaran terhadap pelaku penganiayaan. Dari rekaman CCTV, Polda Sultra sudah memiliki gambaran pelaku penganiayaan.

“Saya memohon maaf karena belum bisa menangkap pelaku, tetapi dengan ciri-ciri fisik yang ada kami terus mengejar pelaku,” kata Aris.

 

Keterangan foto utama: Ilustrasi. Perusahaan tambang nikel mau beroperasi di kawasan hutan lindung. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version