Mongabay.co.id

Pengadilan Tolak Banding Pemerintah Aceh, Terkait Izin Pakai Hutan Leuser untuk PLTA Tampur

Air bersih merupakan potensi alam yang melimpah di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negera [PTTUN] Medan, Sumatera Utara, menolak banding yang diajukan Pemerintah Aceh terkait Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] yang dikeluarkan Gubernur Aceh untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air [PLTA] Tampur, pada 9 Juni 2017.

Pemerintah Aceh mengajukan banding setelah Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] Banda Aceh, Provinsi Aceh, pada 28 Agustus 2019, membatalkan IPPKH perusahaan yang berencana membendung sungai di Desa Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh.

Majelis Hakim Banding PTTUN Medan, Sumatera Utara yang diketuai Simon Pangondian Sinaga dengan hakim anggota Budi Hasrul dan Kamer Togatorop dalam putusan Nomor: 264/B/LH/2019/PT.TUN.MDN yang dibacakan 7 Januari 2020 menyatakan, menolak banding yang diajukan Pemerintah Aceh.

“Memperkuat putusan PTUN Banda Aceh terhadap perkara dengan Nomor: 7/G/LH/2019/PTUN.BNA,” terang Simon.

Baca: Tok! Hakim Batalkan Izin Pakai Hutan Leuser untuk PLTA Tampur

 

Air bersih merupakan potensi alam yang melimpah di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

J. Halim Bangun, penasehat Walhi Aceh mengatakan, pihaknya mengapresiasi Majelis Hakim PTTUN Medan yang telah memenangkan penyelamatan hutan dan lingkungan hidup.

“Semoga semua pihak menerima keputusan ini dan membatalkan pembangunan PLTA Tampur, karena dampaknya sangat besar. Proyek ini akan menenggelamkan ribuan hektar hutan yang merupakan habitat satwa kunci di Kawasan Ekosistem Leuser serta rumah masyarakat di Desa Lesten. Selain itu, mengancam masyarakat yang tinggal di kabupaten lain seperti Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Kota Langsa,” terangnya, Selasa [7/1/2020].

Halim menyatakan, Pemerintah Aceh jangan lagi melakukan kasasi karena keputusan PTUN Banda Aceh yang diperkuat PTTUN Medan, berdampak positif untuk masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Baca: Desa Lesten akan Ditenggelamkan, Demi Alasan PLTA Tampur

 

Desa Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, yang rencananya akan ditenggelamkan demi alasan pembangunan PLTA Tampur. Foto: Junaid Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Halim menambahkan, awalnya dirinya dan sejumlah penasehat hukum Walhi Aceh tidak tahu bila Majelis Hakim PTTUN Medan telah mengeluarkan putusan. Mereka mendatangi pengadilan hanya untuk menyerahkan dokumaen Amicus Curiae atau “Friends of the Court” untuk perkara banding ini.

Sahabat pengadilan adalah seseorang atau sejumlah orang yang bukan pihak berperkara, memberi pandangan/opini/informasi berdasarkan keahlian dan wawasan yang dimiliki terhadap isu-isu atau suatu perkara.

Untuk kasus ini, dukungan diberikan dari sejumlah akademisi dan aktivis lingkungan Aceh, Sumatera Utara, dan Jakarta. Ada Dadang Trisasongko, Prof. DR. M. Busyro Muqqoddas, Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, MS, Prof. Drs. H. Yusny Saby, MA. Ph.D, Sahat Hutagalung, SH., MH, Ifdal Kasim, SH. LLM, Prof. Dr. Ir. Ahmad Humam Hamid, MA, Mawardi Ismail, SH., M.Hum, M. Alinafiah Matondang, SH., M.Hum, Farwiza Farhan, Raihal Fajri dan lainnya yang total 18 orang.

Mereka berpendapat, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh No. 7/G/LH/2019/PTUN, sudah jelas. Majelis hakim telah membatalkan izin pinjam kawasan dan mewajibkan Gubernur Aceh mencabut izin yang diberikan ke PT. Kamirzu.

Baca: Pembangunan PLTA di Aceh, Kajian Potensi Gempa dan Analisis Lingkungan Prioritas Utama

 

Desa Lesten akan ditenggelamkan, karena berada di lokasi genangan PLTA Tampur. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sahabat pengadilan juga berpendapat, banyak kejanggalan dalam pengeluaran izin tersebut. Tidak adanya rekomendasi Bupati Aceh Timur, padahal kegiatan itu berada di tiga kabupaten yaitu, Aceh Timur, Gayo Lues dan Aceh Tamiang. Dalam SK Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Nomor SK.8/VII-PKH/2003 Tentang Standar Pelayanan Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dijelaskan salah satu syarat administrasi adalah rekomendasi bupati/wali kota.

Masalah lain, pemberian izin tidak mempertimbangkan potensi bencana akibat gempa. Pasal 46 huruf f Peraturan Daerah atau Qanun Aceh Nomor: 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013-2033, menjelaskan, kawasan rawan bencana alam terdiri atas wilayah di zona patahan aktif. Kawasan ini meliputi Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya.

Sebelumnya, pada pasal 46 huruf e disebutkan, seluruh wilayah Aceh merupakan kawasan rawan gempa bumi, skala VII – XII MMI [Modified Mercally Intensity]. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG] menjelaskan, Skala VII merupakan intensitas gempa sangat kuat, Skala VIII “parah”, Skala IX “hebat”, Skala X, XI dan XII artinya “ekstrim”.

Baca: Tidak Hanya Mengancam Kelestarian Leuser, Peneliti: PLTA Tampur Berada di Wilayah Rawan Gempa

 

Masyarakat Lesten yang memanfaatkan sumber air berlimpah untuk kehidupan mereka. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Izin gubernur batal

Pada 9 Juni 2017, Gubernur Aceh mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan hutan [IPPKH] untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang.

IPPKH dengan Nomor: 552.51/DPMPTSP/1499/IPKKH/2017 itu, luasnya 4.407 hektar. Lokasinya di hutan lindung yang masuk Kawasan Ekosistem Leuser [KEL], dikerjakan oleh perusahaan modal asing PT. Kamirzu. Diperkirakan, bendungan yang dibuat setinggi 193,5 meter tersebut menghasilkan listrik berkapasitas 443 megawatt.

Walhi Aceh, sebelumnya pada 11 Maret 2019, bersama sembilan penasehat hukum mendaftarkan gugatan ke PTUN Banda Aceh, terhadap Gubernur Aceh atas penerbitan keputusan itu.

Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, kewenangan pemberian izin ada pada menteri.

“Menteri LHK, berdasarkan kewenangannya dapat melimpahkan sebahagian kewenangan kepada gubernur. Namun, sifatnya terbatas untuk pembangunan fasilitas umum non-komersial yang luasannya dibatasi maksimal lima hektar,” ujarnya.

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Rabu, 28 Agustus 2019, Majelis Hakim PTUN Banda Aceh yang dipimpin Muhammad Yunus Tazryan, serta Fandy Kurniawan Pattiradja dan Miftah Saad Caniago sebagai hakim anggota, memenangkan gugatan Walhi Aceh dengan tergugat Gubernur Aceh dan tergugat intervensi PT. Kamirzu.

Dalam putusannya, majelis hakim berpendapat, IPPKH dengan Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I yang dikeluarkan Gubernur Aceh, melampaui kewenangan.

“Menolak eksepsi Tergugat dan Tergugat Intervensi untuk seluruhnya. Dalam pokok perkara, mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya,” terang Muhammad Yunus, saat membacakan amar putusan tersebut.

 

 

Exit mobile version