Mongabay.co.id

Rahmat Adinata dan Mimpi Jadikan Sumba Pulau Organik

 

Pulau Sumba dikenal sebagai pulau karang, yang identik dengan perbukitan dan padang savana. Banyak orang yang lebih mengenal Sumba dengan kuda sandalwood dan hasil ternaknya. Meski demikian, pertanian organik mulai menggeliat di tanah Marapu ini.

Salah seorang pelopor pertanian organik di Sumba adalah Rahmat Adinata, atau yang populer dipanggil Rahmat Organik. Sosok berusia 55 tahun ini amat terkenal di kalangan petani di Sumba. Banyak sudah kelompok tani di Kabupaten Sumba Timur dan Sumba Barat Daya yang telah ia dampingi dan pada akhirnya berhasil.

Baca juga: Pakar: Jika Kembangkan Sorgum, NTT Bakal Daulat Pangan

Berbincang akrab dengan Rahmat amat menyenangkan. Saat dijumpai (18/12/2019), dia sedang memantau persiapan panen sorgum untuk kegiatan Farmers Field Day (FFP).

“Saya memilih pertanian organik karena ramah terhadap tanah. Tidak membuat ketergantungan petani dan menyehatkan. Sedih rasanya mendengar bagaimana bangsa ini ketika diberi makan bahan kimia dan tidak sadar itu jadi racun bagi tubuhnya,” ungkapnya membuka percakapan.

 

Kuda Sumba yang dikenal sebagai sandalwood sedang memakan rumput dan sesekali memakan tanaman sorgum numbu putih yang batangnya patah dan rebah ke tanah di lahan pertanian petani Mauliru Organik. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Mimpi Pulau Organik

Rahmat lalu mengenang awal kedatangannya di Sumba. Saat itu Januari 2012. Di Sumba saat itu terjadi dampak El Nino yang berakibat pada terjadinya rawan pangan.

Rahmat datang ke Sumba karena diutus Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) yang bekerja sama dengan DKH Jerman dan Gereja Kristen Sumba (GKS). Dia sendiri berasal putra asli Sunda dari Bandung, Jawa Barat.

Saat itu dia menyimpulkan bukan peristiwa rawan pangan yang terjadi di Sumba, tetapi rawan pengetahuan. Dia menyadari bahwa banyak petani di Sumba yang belum mengenal bagaimana cara bertani selaras dengan alam.

Baca juga: Pilih Mana, Pupuk Kimia atau Pupuk Organik

“Tanah, air, dan udara di Sumba itu belum terkontaminasi oleh polusi dan bahan kimia sintetis. Saya mempunyai keinginan besar bagaimana Sumba menjadi pulau organik. Air pun tersedia meski orang sering ini pulau gersang,” tuturnya.

Untuk mewujudkan itu, katanya diperlukan perubahan pola pikir atau mindset di kalangan petani di awal. Petani harus memiliki wawasan pertanian organik, paham saat melakukannya, dan bangga saat menjualnya.

Dia menyebut, saat pertamakali berkenalan dengan petani, mereka selalu mengeluh tentang pupuk kimia yang harus dibeli, ataupun dimana dapat subsidi pupuk kimia yang stoknya sulit didapat.

Dia pun melemparkan pertanyaan kepada petani, apakah produksi pertanian mereka meningkat setelah penggunaan pupuk kimia? Petani menyebut, tambah tahun yang terjadi malah merosot, tapi biaya produksi semakin bertambah tinggi.

Padahal, di sisi lain banyak bahan-bahan alam seperti daun dan kotoran ternak di sekitar masyarakat yang bisa digunakan sebagai pupuk organik.

Suami dari Sutriana Lestari ini pun menyebut, kunci dari pertanian organik adalah petani kenal dengan karakteristik lahannya. Lahan harus menjadi perpustakaan dan area laboratoriunya petani.

Dari situ dia lalu terpanggil untuk mendirikan sekolah lapang pertanian organik di Desa Makamenggit, Kecamatan Ngaha Ori Angu,  Sumba Timur. Menurutnya pertanian itu harus langsung dipraktekkan, bukan hanya sebatas teks teori di ruangan.

 

Rahmat Adinata, penggerak pertanian organik di Pulau Sumba. Rahmat sedang memperlihatkan sorgum jenis numbu putih yang kembali dibudidayakan. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Praktek Pertanian di Sekolah Lapang

Di sekolah lapang yang dia dirikan, metode pembelajaran yang dipilih adalah banyak praktek. Teorinya hanya 15%, sementara prakteknya 85%. Karena praktek langsung di lahan, petani jadi kenal hama dan penyakit yang menyerang tanaman.

“Di sekolah lapang itu ada namanya ‘analisa agro’, belajarnya dengan cara mengamati tanaman dan hama penyakitnya. Buat kesimpulan dan baru rencana tindak lanjut. Kami kenalkan juga sifat racun yang sistemik, kontak dan terpadu,” terangnya.

Rahmat mencontohkan, ketika petani berhadapan dengan hama penyakit, selalu yang ada dalam pikirannya adalah obat bukan mencari penyebab. Sebutnya, kalau sudah bicara obat artinya petani belajar menjadi pembunuh.

Di sekolah lapang pun petani diajarkan PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) atau bakteri positif seperti mata kuliah yang diajarkan di IPB Bogor.

“Kami mencetak petani menjadi peneliti. Menjadi pemimpin di lahannya. Juga menjadi pemandu bagi petani yang lain atau kader tani,” ungkapnya.

Rahmat akui, awalnya banyak petani yang kaget dengan metode yang dia ajarkan. Namun, dalam pertemuan selanjutnya petani merasa senang.

Di sekolah lapang mereka diajarkan menanam padi menggunakan metode SRI (System of Rice Intensification), hortikultura, pangan lokal, dan memelihara ternak. Jelas Rahmat, sistem SRI memiliki keunggulan. Dengan benih 8 kg/ha dan usia benih 10 hari ditanam, hasil produksi dapat meningkat drastis.

Hingga saat ini banyak kelompok tani di Sumba Timur seperti di Makamenggit, Kalu, Panda, Kandara, Katikuwai, Yubuwai, Palanggai yang dia dampingi. Juga di Sumba Barat Daya seperti Karuni, Kodi, dan Waijewa.

“Jadi jangan bicara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan, tetapi tidak pernah praktek atau tanam,” ucapnya seraya tertawa lepas.

 

Sorgum jenis numbu putih yang siap panen. Sorgum adalah tanaman lokal yang coba dikembangkan kembali. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Tanam Pangan Lokal

Ketua Nasional Gerakan Petani Nusantara (GPN) untuk wilayah Indonesia Timur ini pun aktif mengajak petani di Sumba untuk menanam sorgum atau yang dalam nama lokalnya wataru hamu.

Dia memanfaatkan lahan seluas 3,5 ha di pinggir Sungai Kambaniru, Mauliru. Jenis sorgun numbu putih dia pilih untuk dikembangkan. Dia percaya lewat sorgum, kedaulatan pangan dapat diraih.

Saat ditanya mengapa jenis numbu putih yang dipilih, Rahmat menyebut karena semua bagian tanaman ini, mulai daun, batang dan bijinya bisa dimanfaatkan.

Kelompok Mauliru organik pun mengolah daun dan batangnya untuk pakan ternak serta dibuat silase.

“Dengan silase, pakan ternak bisa diawetkan 6-12 bulan. Ini bisa jadi pakan ternak, karena di Sumba banyak ternak. Batangnya juga bisa buat gula dan buahnya juga bisa dikonsumsi.”

Hortikultura pun mereka kembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dengan menanam hortikultura pendapatan petani meningkat hingga 30 persen.

Hasil pertanian organik pun mulai dirasakan oleh petani.

MartinusWalu Wanja (52) anggota kelompok tani Mauliru Organik menyebut, dirinya bangga sekarang petani tidak lagi menggunakan pupuk kimia. Petani sudah bisa memproduksi pupuk organik sendiri. Sekarang mereka tak hanya  cara tanam tapi juga merawat tanaman.

“Dulu kami hanya berpikir kalau tanam sayur satu dua bedeng saja sudah anggap hebat sekali. Setelah ikut sekolah lapang kami jadi malu, itu hanya sayur di kebun bukan kebun sayur,” tuturnya.

Kini petani di Mauliru kata Martinus, seolah dikejar-kejar pembeli bahkan ada yang rela memberi uang muka. Hasil produksi pun selalu habis terjual.

Bagi Rahmat, bertani organik tidaklah sulit. Hal terpenting sebutnya, merubah mindset pertani di awal.

Saat ditanya apakah dia kerasan tinggal di Sumba, Rahmat pun menjawab spontan iya. Dia merasa hidupnya dapat bermanfaat untuk orang banyak. Tapi dia pun buru-buru menambahkan.

“Tapi jangan petani terus tergantung saya. Harus ada kader-kader petani organik yang diciptakan,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version