Mongabay.co.id

Terpinggir Karena Reklamasi, Nasib Nelayan Teluk Manado Kini [2]

Reklamasi yang terus berlangsung di pantai Manado. Foto : Wisuda

 

Letak Kota Manado yang berada di pesisir dengan garis pantai sepanjang 18,7 kilometer, membuat Pemerintah Kota menerapkan pembangunan dengan konsep Water Front City sejak tahun 1990-an. Untuk itu, dilakukan reklamasi pantai yang mulai dilakukan sejak 1995 dan terus berlanjut hingga saat ini.

Dari pesisir pantai Kota Manado sebelah selatan memanjang ke utara, setidaknya ada empat kawasan bisnis yang diprivatisasi, yaitu Bahu Mall, Manado Town Square (Mantos), Kawasan Megamas dan Marina Plaza. Masyarakat harus membayar retribusi untuk masuk.

Atas izin Pemerintah Kota, aktivitas reklamasi masih terus terjadi di pesisir Teluk Manado oleh pihak pengembang. Di Kelurahan Malalayang Dua misalnya, tampak aktivitas penimbunan berlangsung tak jauh dari sekretariat Forum Nelayan Pesisir Pantai Malalayang II (FNPPM) pada Rabu (20/12/2019).

baca : Kesejahteraan Nelayan Manado, Ironi di Tengah Perkembangan Ekonomi

 

Aktivitas reklamasi pantai Kota Manado, tepat di sebelah Sekertariat Komunitas Nelayan FNPPM Kelurahan Malalayang, Kota Manado. Foto : Ilona Esterina/Mongabay Indonesia

 

Semua pembangunan kawasan bisnis itu berdampak langsung bagi para nelayan Kota Manado yaitu menggeser, bahkan menghilangkan area tambatan perahu. Saat pembangunan Mantos 3, pihak Mantos bahkan harus menghadapi nelayan di Daseng Kecamatan Sario yang mempertahankan wilayah tambatan perahunya. Konflik sempat pecah pada 2010 hingga 2011.

Padahal hak akses ke pantai untuk nelayan jelas dilindungi Undang-undang No.7/2016 tentang Perlindungan Nelayan,  dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Pada pasal 25 ayat 5 dijelaskan tentang penetapan zonasi oleh pemerintah wajib dilakukan dengan memberikan ruang penghidupan dan akses kepada nelayan kecil, nelayan tradisional, pembudi daya ikan kecil, dan petambak garam kecil.

Kesulitan akses ke pantai dialami nelayan Kelurahan Titiwungen dan Wenang yang menambatkan perahu di Kawasan Megamas. Ketua Kelompok Nelayan Bintang Laut Kecamatan Sario, David Latif (42) ditemui Mongabay-Indonesia, Jumat (13/12/2019) mengisahkan bagaimana dirinya bersama rekan seprofesinya mempertahankan area tambatan perahu nelayan. “Dulu untuk bisa dapat tempat sepetak ini kami harus bercucuran darah dan airmata,” katanya.

Kehadiran Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov Sulawesi Utara sempat membantu nelayan di kawasan Megamas hingga akhirnya pihak Megamas merelakan sebagian kecil lahan pantainya untuk tembatan perahu. Meski begitu David mengaku nelayan tiga kelurahan tersebut tetap harus membayar setiap masuk dan parkir motor. Hal ini dirasa sulit mengingat sebagian nelayan bermukim cukup jauh dari tambatan perahu membuat mereka harus menggunakan motor.

baca juga : Kala Kehidupan Nelayan Sario di Manado Makin Terdesak

 

Istri nelayan melepas kepergian suami mencari ikan di Teluk Manado, Sulut. foto oleh Ilona. Foto : Ilona Esterina/Mongabay Indonesia

 

Pada Desember 2019, pihak TNI AL berencana akan parkir perahu di area tambatan tersebut. David mengaku hal ini sudah dikomunikasikan dengan nelayan.

“Kalau TNI AL kami izinkan karena mereka berhubungan dengan kerja kami juga di laut. Tapi kami belum tahu seberapa besar wilayah yang akan dipakai. Itu sudah ada bendera mereka,” kata David menunjukan bendera yang tertancap di ujung bebatuan di lokasi tambatan perahu.

Sedangkan Kepala Seksi Pengelolaan Sumberdaya dan Pengendalian Penangkapan Ikan DKP Sulut, Faisal Pamikiran pada Selasa (17/12/2019) mengatakan pihaknya memang sering menerima keluhan nelayan tentang masalah wilayah tambatan perahu. “Saat ada keluhan dari nelayan, biasanya kami coba arahkan untuk parkir di pelabuhan sebagai solusi. Memang tidak semua bisa menerima solusi itu.”

Sementara Danny Telleng nelayan di Kecamatan Sario mengatakan ide tambatan kapal di pelabuhan adalah hal yang menyulitkan. “Nelayan harus tinggal tidak boleh terlalu jauh dengan kapalnya. Kalau ada ombak dan hujan besar butuh waktu untuk mengamankan perahu jika rumahnya jauh. Belum lagi resiko kehilangan,” katanya.

perlu dibaca : Gelar Konsolidasi, Nelayan Sulut Ungkapkan Berbagai Persoalan

 

Alfian Gamis, Nelayan Malalayang, Kota Manado dengan istri dan anaknya tinggal di rumah tepi pantai. Foto : Ilona Esterina/Mongabay Indonesia

 

Terpaksa Ganti Profesi

Akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Sam Ratulangi Rignolda Djamaluddin menilai wujud keseriusan pemerintah dalam menyejahterakan nelayan seharusnya bukan hanya lewat bantuam fisik tapi juga akses ke panttai. Hal itu juga bisa dilakukan dengan membentuk Perda perlindungan nelayan di Sulut, yang melindungi hak-hak nelayan, sebagai peraturan turunan UU No.7/2016.

Rignolda menyebutkan sejak pembangunan Jalan Boulevard, nelayan mulai tergeser seiring hilangnya tambatan perahu. “Dimulai dari mereka yang tinggal dan parkir perahu di Bahu, lalu ke kawasan lainnya, dan yang tersisa sekarang yang benar-benar tidak bisa meninggalkan kehidupan bernelayan mulai tergeser ke wilayah Malalayang, dan ada juga yang bertahan seperti di LOS, sebagian Daseng Sario, Jembatan Mantos, Kawasan, dan terus sampai ke wilayah Tuminting,” kata Ketua Asosisasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulut itu.

Dalam Perda RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) terungkap pula rencana reklamasi Boulevard Dua. Rignolda menganggap hal ini bertentangan dengan UU perlindungan nelayan. “Kami melihat akan semakin banyak nelayan kecil yang tergeser dan kehilangan akses jika ini dilaksanakan.”

Makin terpinggirkannya kehidupan nelayan itu, berdampak langsung pada tingkat kesejahteraan nelayan. Dan pada akhirnya banyak nelayan yang akhirnya berganti profesi, sehingga jumlah nelayan makin menurun.

Rignolda menilai banyak pihak memandang penurunan jumlah nelayan hanya sebagai sebuah fenomena perubahan yang wajar bagi pembangunan Kota Manado, termasuk kawasan bisnisnya. Padahal peminggiran kehidupan nelayan merupakan bentuk perampasan hak asasi.

Eksistensi nelayan perlahan tenggelam, seiring hilangnya pemukiman tepi pantai dan akses lain seperti tambatan perahu.Bebatuan besar mulai ditenggelamkan untuk membentuk daratan kecil yang baru. Tanpa tambatan perahu dan ruang pantai yang bebas tanpa harus membayar, nelayan tidak memiliki kebebasannya melaut, anak-anak nelayan juga tidak akan memilih meneruskan pekerjaan sebagai nelayan. Saat tambatan perahu hilang, selain pindah rumah, alternatif lainnya adalah alih profesi.

baca : Rignolda Djamaludin: Terjadi Pelanggaran HAM Luar Biasa terhadap Nelayan Manado

 

Masyarakat nelayan di Kelurahan Bahu, Kota Manado, umumnya berasal dari etnis Sangihe. Itu sebabnya wilayah ini dikenal dengan nama LOS, Lorong Orang Sangir. Foto : Ilona Esterina/Mongabay Indonesia

 

Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Pertanian Kelautan dan Perikanan (DPKP) Kota Manado, Marrus Nainggolan mengatakan tidak ada yang bisa dilakukan untuk menahan nelayan Manado beralih profesi. “Itu pilihan individu, karenasejauh ini kami sudah berusaha melakukan yang terbaik, dengan sosialisasi, menyalurkan bantuan fisik, asuransi, dan mengerahkan tim penyuluh,” kata Marrus ketika dihubungi Rabu (18/12/2019).

Penurunan jumlah nelayan tentu berpengaruh terhadap pasokan ikan di sejumlah pasar di Kota Manado. Abdul Yusuf, penjual ikan yang sudah 15 tahun berjualan di Pasar Bersehati mengatakan selama ini nelayan Manado memasok 20 ember besar ikan perharinya. Itu hanya untuk dirinya dan empat penjual lain. Belum lagi penuturan nelayan yang menjual hasil tengkapan di Pasar Bahu, dan Pasar Karombasan.

Sementara Haryanto warga Kampung Kodo Manado, Kamis (19/12/2019) mengenang masa kecilnya masih menyaksikan warga di sekitar Pelabuhan Manado menjemur ikan asin yang merupakan ikan karang. Fenomena itu sudah hilang saat ini, seperti hilangnya soma dampar (menjaring ikan secara kolektif), sebuah tradisi kearifan lokal nelayan. Begitulah potret nelayan Kota Manado kini. Bertahan meraih kesejahteraan ditengah reklamasi dan krisis regenerasi.

 

Ikan yang dijual di Pasar Bersehati, Kota Manado, Sulut. Pasokan ikan semakin berkurang seiring menurunnya jumlah nelayan di Kota Manado, sebagai dampak reklamasi pesisir pantainya. Foto : Ilona Esterina/Mongabay Indonesia

***

*Ilona Esterina Piri, jurnalis Koran Sindo Manado. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

***

Keterangan foto utama : Reklamasi yang terus berlangsung di pesisir pantai Kota Manado. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version