Mongabay.co.id

Butuh Upaya Sangat Keras untuk Mengembangkan Industri Perikanan Natuna

 

Menyikapi dinamika kapal asing yang berlayar dan menangkap ikan di perairan zona ekonomi ekslusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berjanji akan memperkuat nelayan setempat  untuk memanfaatkan potensi sumber daya kelautan di Natuna sebagai salah satu jawaban untuk mengamankan wilayah tersebut.

Hal itu diungkapkan Edhy, ketika meninjau sentra kelautan dan perikanan (SKPT) Natuna di Selat Lampa dan bertemu dengan nelayan dan masyarakat Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Selasa (7/1/2020). Edhy juga berjanji untuk menjaga kestabilan harga ikan dengan menjanjikan pembangunan tempat penyimpanan ikan (cold storage).

Sedangkan Presiden Joko Widodo yang berkunjung dan bertemu ratusan nelayan di SKPT Selat Lampa, pada Rabu (8/1/2020) juga mengatakan ingin memberdayakan potensi Laut Natuna Utara. “Saya ke sini ingin memastikan SKPT yang telah beroperasi sejak Oktober 2019 dapat dirasakan manfaatnya oleh para nelayan dan menjadi pusat ekonomi baru, utamanya untuk sektor kelautan dan perikanan di Natuna. Pemerintah ingin agar sumber daya alam laut kita di Natuna dan sekitarnya ini dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat di sini,” kata Jokowi.

baca : Konflik Laut Natuna Utara, Bintang Utama di Laut Cina Selatan

 

Presiden Joko Widodo, pada Rabu (8/1/2020), bertemu ratusan nelayan di Natuna sekaligus memastikan operasional SKPT Natuna  dirasakan manfaatnya oleh para nelayan dan menjadi pusat ekonomi baru.  Foto: Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden

 

Akan tetapi, keberadaan SKPT Natuna yang dioperasikan sejak tiga tahun lalu dan diresmikan pada Oktober 2019 itu belum berjalan optimal seperti yang diharapkan. Ada banyak faktor yang membuat pusat aktivitas industri perikanan yang sengaja dibangun di Utara Indonesia itu sulit berkembang.

Salah satu penyebab utama adalah sulitnya distribusi hasil laut dari kapal-kapal ikan yang beroperasi di wilayah perairan Laut Natuna Utara atau wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI 711. Hal itu diungkapkan Penanggung jawab Perum Perikanan Indonesia (Perindo) Unit Natuna Roberto kepada Mongabay Indonesia, Minggu (12/1/2020).

Menurutnya, banyak hasil tangkapan kapal ikan yang tidak bisa dipasarkan dengan cepat ke luar Natuna. Padahal, pasar utamanya berada di luar Natuna.

“Saat ini yang kita rasakan, Natuna baru siap sekitar 50 persen. Karena, dari sisi distribusi masih bermasalah. Jadwal satu kapal yang bisa membawa produk (ikan) beku di sini secara massal adalah (kapal) tol laut. Selebihnya, tidak ada,” ungkapnya.

Sebenarnya, ada kapal-kapal penampung ikan yang mau masuk ke Natuna dan mengangkut produk ikan beku untuk dibawa ke luar Natuna. Tetapi sayang jumlahnya masih sangat minim.

baca juga : SKPT Natuna, Pusat Ekonomi Baru di Ujung Utara Indonesia

 

Proses penangkapan menangkap tiga kapal ikan asing berbendera Vietnam di Laut Natuna Utara pada Senin (30/12/2019) oleh Kapal Pengawas Perikanan Indonesia. Foto : Humas KKP

 

Selain faktor logistik angkutan hasil laut, Roberto mengungkapkan penyebab lain SKPT Natuna tidak berkembang adalah karena pengurusan administrasi ekspor belum tersedia di Natuna dan harus diurus ke Jakarta.

“Padahal, sejak awal SKPT Natuna itu dibangun agar nelayan dan kapal ikan besar bisa mendaratkan ikan di Natuna, lalu produk ikan yang masuk tersebut kemudian bisa diekspor langsung ke negara tujuan, juga dari Natuna,” tuturnya.

Kondisi proses administrasi itu, lanjutnya, menyulitkan pengembangan SKPT Natuna. Meskipun, kegiatan ekspor masih bisa dilaksanakan secara langsung dari Natuna, seperti yang sudah dilakukan pada Desember 2019 lalu. Tetapi, untuk melakukannya, perlu perjuangan yang sangat keras.

“Harus ada pelayanan bea dan cukai di Natuna, itu salah satu yang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah Pusat jika ingin memajukan Natuna, salah satunya melalui SKPT,” ucapnya.

baca : Penguatan Industri Perikanan, Solusi untuk Natuna

 

Aktivitas di Pelabuhan Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau pada awal September 2016. KKP sedang membangun sentra perikanan dan kelautan terpadu (SKPT) di Selat Lampa ini. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Kapal Lokal

Faktor lain yang menghambat pengembangan SKPT Natuna, lanjut Roberto masih minimnya kapal-kapal ikan yang mendaratkan hasil tangkapannya di SKPT Natuna. Dalam sehari, hanya ada 4 hingga 5 kapal ikan berukuran 3-10 gross ton (GT) yang berlabuh di Pelabuhan Selat Lampa yang menjadi bagian dari SKPT Natuna. Jumlah kapal terbanyak berukuran 5 GT yang dimiliki nelayan lokal Natuna.

Sementara kapal-kapal ikan dengan tonase lebih dari 10 GT yang izin operasionalnya diterbitkan Pemprov Kepulauan Riau dan, hingga sekarang masih sangat jarang datang ke SKPT Natuna. Bahkan, kapal di atas 30 GT di yang izinnya diterbitkan oleh KKP belum ada yang mendaratkan ikannya di Natuna.

“Entah faktor apa yang membuat kapal-kapal tersebut masih enggan mendaratkan hasil tangkapannya di Natuna,” ujarnya.

Dengan fakta tersebut, Roberto meminta kepada Pemerintah Pusat untuk tegas dan membuat perjanjian dengan kapal-kapal besar yang akan didatangkan dari wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah ke Natuna, agar semuanya mau mendaratkan ikan di SKPT Natuna. Jika tidak, maka kebijakan pengiriman kapal ikan dari Pantura sebaiknya ditinjau kembali.

perlu dibaca : Penambahan Armada Kapal Ikan Jadi Solusi Menjaga Kedaulatan di Natuna

 

Kapal perikanan asing berbendera Tiongkok yang sedang melintas di Laut Natuna Utara pada April 2019. Foto : KKP

 

Di sisi lain, bagi nelayan asli Natuna yang bermukim di pulau Sedanau, Al Izhar, kedatangan nelayan-nelayan dari Pantura Jateng dinilai hanya akan memicu konflik horizontal dengan nelayan asli Natuna. Ancaman itu muncul, karena kapal ikan yang didatangkan dari Pantura, selain bertonase besar juga sudah berteknologi tinggi.

“Itu membuat mereka bisa melaut sampai ke ZEE. Sementara kita, asli Natuna hanya di pinggir laut saja,” tuturnya saat dihubungi Mongabay Indonesia.

Cara paling bijak untuk menghidupkan kawasan laut ZEE Indonesia dan sekaligus mengamankan wilayah perbatasan Negara dari serbuan kapal ikan asing (KIA), adalah bukan dengan mendatangkan kapal ikan dari luar Natuna. Namun, Pemerintah harus membekali nelayan-nelayan Natuna dengan keterampilan dan teknologi kapal yang terbaru.

“Kita juga berani dan mampu untuk berlayar sampai ke ZEE. Hanya saja armada tidak memadai dan teknologi juga tidak ada. Kalau kita dibekali, kita akan bisa ikut berperan menjadi garda terdepan Negara,” ungkap Izhar.

menarik dibaca : Dukung Industri Perikanan Natuna, Bakal Dibangun Balai Benih dan Pabrik Pakan Ikan di Kalbar

 

Ilustrasi. Perahu, alat tangku bilis (Gambar kiri) dan hasil tangkap ikan teri (Stolephorus sp) yang diterima langsung oleh pedagang di perairan Laut Natuna. Foto: Ofri Johan

 

Penolakan

Menurut Al Izhar, jika memang Pemerintah ingin mengembangkan Natuna sebagai sentra ekonomi sekaligus pertahanan Negara, maka pelibatan masyarakat lokal wajib dilakukan dengan berkesinambungan. Tanpa melakukan itu, dia menjamin konflik horizontal akan tetap muncul, meski tujuannya adalah menjaga Natuna dari serbuan asing.

Selain khawatir dengan teknologi, Al Izhar menyebutkan, penolakan dari nelayan Natuna terhadap rencana kedatangan kapal ikan dari Pantura Jateng, juga muncul karena dikhawatirkan akan memicu kerusakan ekosistem laut di WPP 711. Kekhawatiran itu didasarkan pada rekam jejak bahwa banyak kapal ikan dari Pantura Jawa yang menggunakan alat penangkapan ikan (API) jenis cantrang.

Tentang isu yang berkembang sekarang, Al Izhar juga mengaku terkejut dan heran. Mengingat, Natuna setiap tahun selalu kedatangan kapal-kapal ikan asing dan menangkap ikan secara ilegal di wilayah ZEE Indonesia. Kondisi itu bisa terjadi, karena kawasan perairan itu sepi dari kapal-kapal ikan asli Indonesia.

“Bukan harus dimaklumi, karena itu adalah pelanggaran kedaulatan Negara. Namun, isu itu berkembang terlalu liar. Apa karena konstelasi (politik) ya. Saya tidak paham itu,” katanya.

Saat dikonfirmasi terpisah, Dirjen Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar tidak membantah dengan rencana pengiriman kapal ikan dari kawasan Pantura Jateng ke Natuna. Namun, hingga saat ini belum ada satu pun kapal ikan yang mengajukan dokumen yang harus dipenuhi sebagai syarat untuk bisa mengoperasikan kapal di Natuna.

“Belum ada daftar kapal ikan dari Pantura yang mau ke Natuna,” ungkapnya kepada Mongabay.

baca juga : Ulah Vietnam Ini Mengintimidasi Indonesia di Laut Natuna Utara

 

Kapal berbendera Vietnam yang ditangkap karena mencuri ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Perairan Natuna Kepulauan Riau pada Februari 2019. Foto : KKP

 

Menurut Zulficar, jika memang rencana pengiriman kapal ikan ke Natuna lancar tanpa hambatan, diprediksi proses pengajuan dokumen yang disyaratkan akan dikirim oleh pemilik kapal ikan. Jika itu terjadi, maka KKP akan segera melakukan pengecekan dokumen yang terkumpul dan melakukan verifikasi dengan seksama kapal-kapal ikan tersebut.

Meski belum ada pengajuan perizinan kapal-kapal ikan dari Pantura Jateng, Zulficar memastikan bahwa kapal-kapal yang berhak untuk mengajukan pemberkasan adalah yang berukuran minimal 30 GT. Di luar ukuran itu, tidak bisa mengajukan izin, karena harus dilakukan di tingkat provinsi dan itu juga harus ada kerja sama dengan Pemprov Kepulauan Riau.

“Saat ini sudah ada 816 kapal di atas 30 GT yang aktif di WPP RI 711, yang termasuk Natuna,” jelasnya.

Baik kapal yang sudah beroperasi dan juga yang akan diterbitkan izin baru, menurut Zulficar dipastikan akan didorong untuk bisa memanfaatkan fasilitas yang ada di Natuna, seperti SKPT Natuna di Selat Lampa. Selain itu, kehadiran kapal-kapal dari luar Natuna, diharapkan juga bisa memberikan manfaat untuk kapal-kapal ikan lokal.

 

Exit mobile version