Mongabay.co.id

Asuransi, Cara Mitigasi Kerugian Bencana untuk Budi daya Perikanan

Pekerja sedang memanen ikan nila dari budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Tingkat produksi ikan nila dipengaruhi salah satunya oleh pakan ikan yang baik. Foto : Ariefsyah Nasution/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Dorongan untuk melaksanakan mitigasi sejak dini dikampanyekan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menyusul cuaca ekstrem yang terjadi di hampir semua provinsi di Indonesia. Dengan melakukan mitigasi, diharapkan resiko yang akan muncul dan dirasakan para nelayan dan pembudi daya ikan bisa lebih diantisipasi.

Di antara yang didorong untuk melakukan mitigasi itu, adalah para pelaku usaha budi daya perikanan yang ada di seluruh Indonesia. Menurut Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Slamet Soebjakto, upaya mitigasi akan membantu para pembudi daya ikan untuk bisa tetap lancar melaksanakan kegiatan budi daya perikanan.

“Curah hujan yang tinggi juga bisa berdampak terhadap aktivitas usaha budi daya ikan di berbagai daerah di Indonesia,” ucapnya di Jakarta, akhir pekan lalu.

baca : Masalah Banjir, Peneliti: Jakarta Harus Benahi Kebijakan dan Perilaku Masyarakat

Slamet mengatakan, himbauan untuk melakukan mitigasi sejak dini muncul, karena ada banyak keluhan dari pelaku usaha budi daya perikanan yang menjadi korban dari cuaca ekstrem seperti hujan dengan intensitas tinggi. Mereka semua, harus menelan kerugian material yang tidak sedikit karena kolam tambak beserta komoditas budi daya hanyut terbawa banjir.

“Faktanya memang banyak usaha pembudidayaan yang terdampak banjir dan nilai kerugiannya besar. Itu berdasarkan analisa dari tren kejadian selama lima tahun terakhir,” tuturnya.

Bagi Slamet, upaya mitigasi memang mutlak harus dilakukan oleh para pembudi daya ikan, karena itu akan membantu mereka untuk bisa keluar dari resiko besar saat cuaca ekstrem terjadi. Terlebih, berdasarkan data yang dirilis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisikan (BMKG), curah hujan hujan yang saat ini merupakan yang tertinggi dalam kurun waktu 150 tahun terakhir.

“Tentu, kita tidak berharap kejadian tersebut terulang, namun langkah antisipatif perlu kita dorong,” ucapnya.

Dengan manfaat yang akan didapat, para pembudi daya ikan diminta untuk bisa mempersiapkan upaya mitigasi sedini mungkin dari sekarang. Khusus untuk kawasan yang menjadi langganan banjir, para pembudi daya ikan diharapkan bisa melakukan upaya untuk meminimalisasi dampak kerugian secara ekonomi, misalnya dengan memanen ikan yang dibudi dayakan lebih awal.

baca juga : Tantangan Perikanan Budi daya sebagai Masa Depan Perikanan Dunia

 

Ilustrasi. Kematian massal ikan dalam keramba jaring apung (KJA) yang terjadi di Danau Toba, Sumut, sejak Senin (21/8/2018). Kerugian diperkirakan mencapai Rp2,7 miliar dengan asumsi harga ikan Rp15.000/kg dari 180 ton ikan yang mati. Foto :Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Mitigasi

Selain panen lebih dini, Slamet mengatakan, upaya mitigasi juga bisa dilakukan dengan mengikuti asuransi perikanan yang disediakan oleh Negara. Jika sampai ada pembudi daya ikan kecil yang menjadi korban banjir, maka KKP akan memfasilitasi untuk bisa mendapatkan realisasi asuransi .

“Itu sebagai upaya untuk membantu meringkatkan dampak kerugian ekonomi akibat bencana alam,” sebutnya.

Mengingat manfaat asuransi bagi para pembudi daya ikan kecil, Slamet meminta kepada semua dinas terkait untuk segera melakukan pendataan siapa saja dari pembudi daya ikan kecil yang mengalami kegagalan produksi akibat bencana. Data yang terkumpul itu, kemudian bisa langsung dikirimkan ke KKP agar bisa segera ditindaklanjuti.

Tentang asuransi perikanan untuk pembudi daya ikan skala kecil, Slamet Soebjakto menjelaskan bahwa objeknya kini sudah mengalami perluasan. Jika sebelumnya diperuntukkan bagi usaha budi daya udang, maka saat ini objeknya menjadi lebih luas karena juga diperuntukkan bagi usaha budi daya ikan yang lain, seperti bandeng, patin, dan ikan tawar lainnya.

Perluasan objek asuransi dilakukan KKP, karena selama ini ada banyak keluhan rugi besar karena gagal produksi yang dirasakan oleh pembudi daya ikan skala kecil. Biasanya, setelah itu mereka sulit untuk bangkit kembali karena terkendala dengan modal.

“Kita tahu pembudi daya selain udang, masih didominasi oleh pembudi daya ikan kecil. Oleh karena itu, asuransi ini diharapkan akan meminimalisir dampak kerugian ekonomi dan menstimulasi agar usaha budi daya kembali dilakukan,” ungkapnya.

baca juga :  Perjuangan Negara untuk Lindungi Nelayan dan Pekerja Perikanan

 

Ilustrasi. Dua orang pembudi daya ikan keramba jaring apung di Waduk Cirata, Kabupaten Bandung Barat, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Mengingat sifat stimulan yang ada pada asuransi perikanan, Slamet berharap di masa mendatang para pembudi daya ikan skala kecil bisa terbiasa untuk mengakses langsung asuransi sejenis secara mandiri. Dengan demikian, segala resiko yang ada dalam usaha budi daya perikanan dengan skala kecil, ke depan diharapkan bisa lebih ditekan lagi.

Diketahui, hingga 2019 lalu pembayaran premi asuransi perikanan bagi pembudi daya ikan kecil sudah terelasisasi sebesar Rp7,3 miliar dengan cakupan luas lahan budi daya hingga 20.837,44 hektare untuk 15.026 pembudi daya ikan. Untuk 2020, KKP menargetkan realisasi asuransi bisa mencakup luasan 5.000 ha lahan budi daya yang baru.

“Sehingga akan lebih banyak pembudi daya ikan yang dapat merasakan manfaat asuransi perikanan. Adapun, anggaran untuk pembayaran premi asuransi sebesar Rp3 miliar,” jelas Slamet.

Sementara, untuk nilai maksimum pertanggungan yang diberikan kepada para pembudi daya ikan terdampak, adalah dihitung per komoditas. Contohnya, untuk komoditas udang dihitung per polikultur dan dihargai sebesar Rp7,5 juta per ha/tahun. Kemudian, ikan patin dihitung Rp3 juta/250 m2/tahun.

Kemudian, untuk komoditas lele dihitung maksimum pertanggungan sebesar Rp4,5 juta/200 m2/tahun, nila payau dihitung maksimum sebesar Rp5 juta/ha/tahun. Sedangkan, untuk komoditas lain seperti bandeng, dihitung maksimum pertanggungan Rp3 juta/ha/tahun.

perlu dibaca : Subsidi Perikanan, Bentuk Perlindungan Negara kepada Nelayan Kecil

 

Ilustrasi. Perikanan budi daya ikan bawal dan kerapu seperti di Lombok Tengah, NTB. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pesisir Rusak

Di sisi lain, selain memberikan upaya perhatian dengan ganti rugi langsung, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengkritik Pemerintah Indonesia yang selama ini terkesan tidak mencari solusi yang lebih tegas untuk menyelesaikan persoalan bencana alam seperti banjir yang melanda kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) dan beberapa daerah lainnya di awal 2020.

“Pola pembangunan yang eksploitatif dan mengabaikan ekosistem menjadi pemicu utama terciptanya banjir di beberapa kawasan,” jelas Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, pekan lalu di Jakarta.

Menurut dia, salah satu penyebab munculnya bencana banjir yang melanda kawasan Jabodetabek, khususnya DKI Jakarta di awal 2020, adalah karena buruknya kondisi alam di kawasan pesisir Jakarta akibat eksploitasi sumber daya pesisir sejak lama. Kondisi itu membuat bencana banjir terjadi tanpa bisa dikendalikan.

Salah satu bentuk eksploitasi untuk pembangunan kota di kawasan pesisir, adalah dengan berlangsungnya deforestasi ekosistem hutan bakau (mangrove) untuk kepentingan pembangunan kawasan permukiman dan juga proyek raksasa reklamasi Teluk Jakarta. Kegiatan tersebut mengakibatkan banjir Jakarta berlangsung sangat cepat dan berdampak buruk.

“Dampak buruk paling dirasakan oleh lebih dari 25.000 orang warga yang tinggal di kawasan pesisir Teluk Jakarta,” tuturnya.

 

Ilustrasi. Pemakaman di Kelurahan Tanjung Mas, Semarang utara, Jateng, sering terendam ketika rob sejak beberapa tahun terakhir. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat pesisir korban bencana banjir justru tidak mendapat perhatian dari Pemerintah, baik Provinsi maupun Pusat. Padahal, keberadaan masyarakat pesisir harus bisa mendapatkan pelayanan yang sama dan memastikan kondisi mereka baik setelah bencana banjir menerjang mereka.

Oleh itu, KIARA mendesak kepada Pemerintah Pusat dan Provinsi DKI Jakarta untuk bisa menyelesaikan persoalan banjir melalui akar persoalan. Baik Pemerintah Pusat dan Provinsi juga tidak boleh lagi mengabaikan dampak buruk akibat eksploitasi ekosistem di kawasan pesisir.

“Jakarta adalah kota pesisir. Pembangunan wilayah ini wajib melihat daya tampung, daya dukung serta beban ekologis kota ini, termasuk di kawasan pesisirnya. Jika tidak diperhatikan, maka banjir dan berbagai bencana ekologis lainnya akan terus datang dengan tingkat ancaman yang semakin besar,” pungkasnya.

***

Keterangan foto utama : Pekerja sedang memanen ikan nila dari budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Foto : Ariefsyah Nasution/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version