Mongabay.co.id

Kisah Sukses Ridwan Nojeng Membangun Kawasan Wisata dan Berdayakan Petani di Jeneponto

 

Namanya Ridwan Nojeng. Ia warga Desa Tompo Bulu, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Bermodal sebidang tanah dan tekad yang kuat, ia membangun kawasan wisata alam di desanya, yang dinamainya Lembah Hijau Rumbia pada 2014 silam. Kawasan wisata ini terbilang sukses dan bahkan telah kerjasama dengan Traveloka dan Tiket.com.

Tak ada yang menyangka pemuda berusia 36 tahun ini bisa membangun kawasan wisata tersebut. Apalagi ia memulainya tanpa modal, selain sebidang tanah pemberian orang tua. Kayu dan bambu yang digunakan untuk membangun hanya pemberian dari keluarga dan warga sekitar.

“Awalnya, banyak yang ragu wisata ini bisa bertahan lama karena dianggap tidak masuk akal. Bahkan ada yang menyebut saya gila dan melarang anak-anak mereka bergaul dengan saya. Tapi pada akhirnya saya bisa membuktikan ini bisa diwujudkan,” ujar Ridwan kepada Mongabay, akhir November 2019 silam.

baca : Begini Kisah Desa Salenrang yang Sukses Tolak Tambang Dengan Wisata

 

Kawasan wisata Lembah Hijau Rumbia didominasi oleh bambu, menghadirkan suasana alami, dimana pengunjung bisa menginap di cottage yang menyatu dengan alam. Foto: Ridwan Nojeng/Mongabay Indonesia

 

Di kawasan wisata ini, selain menyajikan pemandangan pegunungan yang asri, juga terdapat permandian yang airnya berasal dari pegunungan, dan hamparan sawah warga sekitar. Sisa air dari kolam dialirkan ke sawah warga sekitar.

Sebagian besar bangunan terbuat dari bahan bambu. Di bagian tengah terdapat kafe yang menyajikan kopi dan makanan tradisional, seperti ubi dan pisang goreng yang diolah secara khusus. Terdapat sejumlah cottage yang dibuat menyatu dengan alam. Suara burung juga menjadi daya tarik tersendiri. Di malam hari kita bisa mendengar suara-suara makhluk nokturnal, seperti jangkrik, katak, burung pleci dan lainnya.

“Lembah Hijau Rumbia ini awalnya komunitas. Di sini kan ada lekukan yang nyambung ke berbagai desa. Saya ambil nama Rumbia karena konsep jangka panjangnya memang skala kecamatan. Seperti di Malino di Gowa yang merupakan satu kecamatan,” tambahnya.

Berada jauh dari perkotaan tidak membuat kawasan ini tertutup dari akses informasi. Mereka memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan Instagram dan bekerjasama dengan agen perjalanan untuk informasi pemesanan tiket dan pemondokan.

Belakangan mereka juga membuat paket adventure berkeliling kawasan pegunungan melintasi tiga kabupaten, yaitu Jeneponto, Gowa dan Bantaeng menggunakan mobil off road. Paket itu dijual Rp500 ribu/mobil yang berisi 4 orang.

“Jualannya pemandangan pegunungan, air terjun dan taman bunga. Kita makan di Taman Bunga Bantaeng, minum kopi di Gowa dan istirahat di Bantaeng,” jelas Ridwan.

baca juga :  Pesona “Perut” Karst Pangkep

 

Di kawasan wisata Lembah Hijau Rumbia terdapat permandian alami memanfaatkan air pegunungan. Sisa air dari kolam kemudian dimanfaatkan untuk mengairi sawah sekitar. Foto: Ridwan Nojeng/Mongabay Indonesia

 

Aktivis lingkungan

Ridwan sebelumnya aktif di berbagai kegiatan lingkungan. Pada 2006 bersama rekan-rekannya ia membentuk komunitas Lembah Hijau. Kegiatannya mulai dari penanaman pohon, pembibitan dan pembuatan pupuk organik.

“Latar belakangnya ketika itu adalah kondisi debit air mulai kurang, tandus, dan sebagai bentuk kepedulian akan alam. Saya inisiatif mengajak pemuda untuk menanam pohon. Ternyata ada sekitar 60 orang yang terlibat dan banyak dari desa lain juga,” katanya.

Mereka mengawali kegiatan dengan menanam pohon di pinggir jalan dan bantaran sungai. Seiring waktu, aktivitas mereka mulai membuahkan hasil dan mendapat perhatian warga. Warga pun kemudian malah berharap kegiatan tersebut terus berlanjut. Selama tiga tahun, 2006-2008 mereka intens melakukan penanaman pohon. Kegiatan ini masih berlanjut hingga sekarang.

Mereka juga mulai melakukan pembibitan, khususnya tanaman yang disenangi warga, seperti pohon Suren. Suren termasuk jenis kayu nomor satu di Sulsel untuk membangun rumah. Belakangan, mereka lebih banyak menanam bambu dan beringin.

Pertimbangannya, pohon Suren berpotensi ditebang ketika sudah besar. Lain halnya dengan bambu dan beringin.

“Kalau pohon bambu semakin ditebang malah semakin subur, sekali nanam tak akan mati. Bambu juga sangat bagus menahan tanah. Di musim apapun akan bertahan. Sementara pohon beringin tak akan ditebang karena dianggap ada setannya.”

menarik dibaca : Lost in Paradise di Taka Bonerate

 

Kawasan wisata Lembah Hijau Rumbia didominasi oleh bambu, menghadirkan suasana alami, dimana pengunjung bisa menginap di cottage yang menyatu dengan alam. Foto: Ridwan Nojeng/Mongabay Indonesia

 

Mereka juga memproduksi pupuk organik memanfaatkan kotoran sapi dan kuda. Awalnya pupuk ini dibagi secara gratis. Setelah dirasakan manfaatnya, warga kemudian dilatih untuk membuat pupuk sendiri. Kini warga tidak hanya menggunakan pupuk untuk kebun sendiri tetapi juga diperjualbelikan ke petani lain.

“Saya ketika itu berpikir kegiatan apa yang bisa meningkatkan pendapatan warga, membangun ekonomi kerakyatan, dan bagaimana ekonomi bergerak secara merata. Saya melihat tanah di sini subur, tidak kalah dengan Jawa. Masalahnya pada pengelolaannya yang keliru. Setelah itu ada kegiatan pengenalan pupuk organik, masyarakat kemudian beralih dari pertanian tradisional ke modern,” katanya.

Mengajak warga beralih ke pertanian organik bukan hal yang mudah karena karakter masyarakat Jeneponto yang dikenal ‘keras’. Masyarakat ragu kotoran sapi dan kuda bisa dijadikan pupuk. Ridwan kemudian menempuh strategi khusus, yaitu dengan mengajarkannya terlebih dahulu ke anak-anak petani tersebut.

“Awalnya anak-anak mereka menggunakan pupuk organik di kebun. Seminggu terlihat ada beda tampilan tanaman yang diberi pupuk dan yang tidak. Di situlah mereka penasaran dan malah meminta semua tanaman mereka disemprot juga. Begitulah petani di sini, berpikir pakai mata.”

Kini sebagian warga mampu membuat pupuk organik sendiri. Pertanian modern pun mulai dilakukan, antara lain dengan menggunakan mulsa untuk tanaman sayuran, yang bisa meningkatkan hasil pertanian berkali-kali lipat. Kesejahteraan warga mulai terlihat.

“Dulu, di sini yang punya mobil Avanza sudah termasuk orang kaya. Sekarang sudah banyak warga yang memiliki Pajero,” katanya.

Sayangnya, meski pertanian semakin menjanjikan, namun minat generasi muda untuk bertani malah semakin berkurang. Sebagian besar anak-anak petani yang menempuh pendidikan tinggi di Makassar enggan kembali ke desa.

“Kalaupun ada yang memilih menjadi petani kebanyakan yang berpendidikan rendah atau putus sekolah. Saya melihat generasi muda sekarang tak suka dengan tantangan, tak mau menyentuh tanah. Hanya mau bekerja dengan sepatu mengkilat. Padahal secara penghasilan mungkin kalah dari petani.”

perlu dibaca : Dedikasi Jamaluddin Mencerdaskan Petani melalui Rumah Koran

 

Ridwan Nojeng membangun kawasan wisata Lembah Hijau Rumbia pada tahun 2014, kini sukses dan dikenal luas masyarakat. Ia juga aktif dalam menanam pohon, pembibitan dan edukasi pertanian organik ke warga sekitar Desa Tompo Bulu, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Raih Penghargaan

Kiprah Ridwan dalam pelestarian lingkungan melalui pertanian organik dan wisata desa diapresiasi dengan penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU Indonesia) Awards  tahun 2016 untuk bidang lingkungan. Penghargaan ini menjadi titik balik perjuangannya yang selama ini dicemooh dan dianggap sebelah mata oleh pemerintah dan masyarakat.

“Kami bisa membuktikan bahwa tanpa bantuan pemerintah kita mampu berbuat. Kita memang awalnya diabaikan. Ternyata kita mampu berbuat dan pemerintah tak bisa pungkiri bahwa Lembah Hijau yang mengangkat pariwisata di Jeneponto. Lembah Hijau yang pertama yang kemudian diikuti oleh desa lain. Beberapa desa sudah persiapan untuk wisata air terjun, kebun kopi dan agrowisata.”

Pasca memperoleh penghargaan itu, Ridwan berkeliling ke berbagai kampus di Sulawesi sebagai pembicara terkait lingkungan. Sebuah kebanggaan tersendiri baginya karena ia tak pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Ia juga kerap diundang menjadi mentor untuk bangunan konstruksi bambu di hadapan mahasiswa teknik arsitektur.

“Saya selalu berkampanye mengajak pemuda untuk menjadi petani. Di mana-mana saya mengajak mahasiswa kembali ke kampung. Sumber daya alam kita melimpah, manusianya yang tidak memanfaatkan kekayaan alam tersebut.”

Setelah memperoleh penghargaan itu, aktivitasnya mulai diperhatikan dan diapresiasi pemerintah dan masyarakat, khususnya anak muda.

“Kalau mengajak anak-anak muda untuk berkegiatan kini lebih mudah karena telah terlihat hasilnya. Jadi bukan sebatas teori lagi tetapi aksi nyata. Ini juga menunjukkan tak mesti menjadi sarjana kalau ingin berbuat sesuatu.”

 

Exit mobile version