Mongabay.co.id

Harimau yang Berkonflik dengan Manusia di Sumatera Selatan, Masuk Perangkap. Pertanda Baik?

 

 

Satu individu harimau sumatera tertangkap di Desa Pelakat, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan, Selasa [21/1/2020] lalu. Benarkah tertangkapnya harimau ini pertanda baik?

Herman Deru, Gubernur Sumatera Selatan, mengaku lega mendengar kabar tersebut. “Harimau yang selama ini mengganggu ketertiban dan kenyamanan orang banyak sudah tertangkap di Desa Plakat,” kata Herman Deru seperti dikutip detik.com.

“Mudah-mudahan masyarakat jadi nyaman, karena kasihan ini ekspansi hotel juga jadi menurun. Khusus bagi warga yang kemarin terdampak sekarang bisa beraktivitas lagi, harimaunya sudah tertangkap,” lanjutnya.

Meski begitu, Herman Deru berharap masyarakat di sekitar hutan tidak lagi beraktivitas di kawasan hutan lindung atau konservasi, termasuk tidak memburu makanan harimau. Katanya, jika warga tidak mau diganggu harimau, maka warga jangan masuk ke habitatnya dan ganggu rantai makanannya.

Satu individu harimau ini masuk ke perangkap box trap yang diletakan di sebuah perkebunan kopi di Desa Pelakat, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan. Harimau masuk perangkap yang di dalamnya ada seekor kambing, diketahui warga pada Selasa [21/1/2020] sekitar pukul 07.30 WIB.

Baca: Harimau Sumatera Itu Bagian dari Peradaban Masyarakat

 

Harimau sumatera yang diduga berkonflik dengan masyarakat ini masuk kandang perangkap di wilayah Desa Pelakat, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan, Selasa [21/1/2020]. Foto: BKSDA Sumatera Selatan/KLHK

 

Apakah tertangkapnya harimau tersebut, konflik manusia dengan kucing besar berakhir?

“Jelas tidak. Pertama, kita belum tahu apakah hanya satu individu harimau yang menyebabkan tewasnya sejumlah warga, yang berhasil ditangkap itu. Jika tidak, berbagai kemungkinan lain muncul, misalnya harimau yang lain menjadi marah, dan mereka akan melakukan aksi balas dendam dengan menyerang warga,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan di Palembang, Jumat [24/1/2020].

“Ini artinya, setelah tertangkapnya harimau tersebut, masyarakat harus hati-hati. Mereka harus menjauh dari habitat dan koridornya,” lanjutnya.

Kedua, tertangkap satu atau beberapa individu harimau sebenarnya merupakan ancaman bagi lingkungan atau hutan di sekitar Bukit Barisan, baik di Pagaralam, Lahat, maupun Muaraenim.

Ketika hutan tidak ada lagi harimau, maka hutan tersebut kian terbuka atau aman ketika dirambah atau dimasuki manusia. “Istilahnya, harimau tertangkap apalagi dipindahkan ke wilayah lain, sebenarnya kabar baik bagi perambah. Baik untuk melakukan penambangan emas liar, berkebun maupun mencuri kayu.”

“Sebaiknya, harimau yang tertangkap tersebut setelah direhabilitasi dikembalikan ke habitatnya. Bukan dipindahkan selamanya ke tempat lain, apalagi ke kebun binatang,” ujarnya.

Baca: Konflik Manusia dengan Harimau, Harmoni Kehidupan yang Perlahan Hilang

 

Harimau yang tertangkap ini akan menjalani pemeriksaan dokter hewan untuk diambil feses dan darahnya. Tujuannya, memastikan apakah harimau ini yang memangsa manusia. Foto: BKSDA Sumatera Selatan/KLHK

 

Seperti diketahui, satu individu harimau yang tertangkap di Desa Pelakat itu dibawa ke pusat rescue Tamling Wildlife Nature Conservation [TWNC], milik pengusaha Tommy Winata di Lampung.

Genman Suhefti Hasibuan, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Selatan, seperti dikutip sejumlah media massa, mengatakan harimau itu akan menjalani pemeriksaan dokter hewan. Terutama, pengambilan feses dan darah, guna memastikan apakah harimau ini yang memangsa manusia.

Seperti diketahui, tujuh warga di Sumatera Selatan diserang harimau di akhir 2019. Lima orang tewas. Yakni Kuswanto [57], warga Kabupaten Lahat, tewas pada Minggu [17/12/2019]; Yudiansah Harianto [40] di Desa Tebat Benawa, Pagaralam, Kamis [05/12/2019]; Mustadi [50] tewas di Hutan Seribu, Kotaagung, Lahat, Kamis [12/12/2019]; Suhadi [50] ditemukan tewas di Lekung Benuang, Mulak Ulu, Kabupaten Lahat; serta Sulistiowati [30], tewas diterkam saat mandi di Kampung 5 Talang Tinggi, Desa Padang Bindu, Muaraenim, Jumat [27/12/2019].

Baca juga: Turunnya Harimau Sumatera dari Gunung Dempo Adalah Peringatan, Bukan Ancaman!

 

Harimau sumatera yang masuk perangkap ini dibawa ke pusat rescue Tamling Wildlife Nature Conservation [TWNC], Lampung. Foto: BKSDA Sumatera Selatan/KLHK

 

Bukan diselamatkan tapi dipertahankan

Dr. Husni Tamrin, budayawan Palembang, mengatakan dalam mengatasi konflik harimau dengan manusia di sejumlah wilayah di Sumatera, khususnya Sumatera Selatan, hendaknya jangan berpikir mengatasi konflik tersebut dengan cara “mengamankan” harimau.

“Harimau yang ditangkap kemudian dipindahkan ke suatu tempat mungkin dinilai sebagai solusi karena manusia tidak lagi terancam dan harimau tetap hidup dan terjaga,” katanya di Palembang, Jumat [24/1/2020].

“Tapi itu sebenarnya melahirkan persoalan baru. Kenapa? Sebab hutan yang selama ini terjaga dengan adanya mereka [harimau] justru berpeluang terbuka untuk diakses. Selain itu, terancam pula budaya atau tradisi yang terbangun dari hubungan manusia dengan harimau,” katanya.

Jelasnya, dengan hilangnya harimau dari habitatnya, maka aktivitas perambahan hutan, baik untuk berkebun, menambang atau mencari kayu diperkirakan kian marak. “Bencana selanjutnya muncul, seperti longsor, banjir, banjir bandang, dan lainnya. Persoalan ini akan banyak memakan korban harta dan jiwa lebih besar,” ujarnya.

“Saat masih ada harimau saja perambahan hutan terjadi, apalagi bila tidak ada,” lanjutnya.

Jadi, sebaiknya harimau yang ditangkap, sebaiknya setelah direhabilitasi dikembalikan ke habitatnya. “Bersamaan dengan itu pelarangan dan penegakan hukum terhadap mereka yang merambah hutan harus tegas.”

“Jangan sampai penangkapan harimau yang diduga berkonflik dengan manusia merupakan pertanda baik untuk dapat dengan bebas mengakses hutan,” ujarnya.

Husni mengatakan, selama ini hubungan harimau dengan manusia di Sumatera berlangsung harmonis. Ada ikatan “batin” yang kuat antara manusia dengan harimau, sehingga di masyarakat Sumatera, kucing besar ini diposisikan sebagai “orangtua”.

Persoalannya, berbagai aktivitas ekonomi manusia yang membuka hutan, menyebabkan harimau terganggu. “Ruang, waktu, dan pakan mereka terganggu, sehingga mereka merespon dengan berkonflik manusia,” jelasnya.

 

 

Exit mobile version