- Selama ribuan tahun, kehidupan masyarakat di Gunung Dempo berjalan harmonis. Kehidupan ini dimulai dari masa pra sejarah, tepatnya megalitikum.
- Hubungan harmonis tersebut kini mulai berkurang, ditandai adanya konflik manusia dengan harimau yang hidup di sekitar Gunung Dempo. Penyebabnya manusia mulai merusak nilai-nilai adat seperti menjaga alam [hutan] dan etika atau moral.
- Konflik manusia dengan harimau dinilai bukan sebuah ancaman, melainkan peringatan.
- Para pendaki yang selama ini sering naik Gunung Dempo, mereka menjaga nilai-nilai adat dengan tidak merusak alam.
Gunung Dempo merupakan salah satu gunung berapi tertua di Indonesia. Masyarakat sudah menetap di sekitar gunung yang masuk wilayah Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, ini sejak ribuan tahun lalu dan hidup harmonis dengan alam.
Namun beberapa tahun terakhir, hubungan baik tersebut terlihat terganggu, ditandai dengan turunnya harimau ke permukiman masyarakat. Konflik ini, terakhir merenggut nyawa seorang petani, pada Minggu [17/11/2019]
“Konflik puyang dengan masyarakat di sekitar Hutan Lindung Gunung Dempo cukup mengejutkan. Selama ini tidak pernah terjadi. Jika pun muncul ke permukiman masyarakat, tidak sampai ada konflik. Ini menandakan ada yang salah,” kata Dr. Husni Thamrin, budayawan Palembang, dalam perbincangan dengan Mongabay Indonesia, Selasa [19/11/2019] malam.
Yang salah itu, kata Husni, nilai-nilai adat yang membangun hubungan harmonis manusia dengan alam di Gunung Dempo dilanggar. Pertama, terkait alam dan perilaku manusia [etika].
“Manusia telah merusak rumah [habitat] makhluk hidup yang ada di sekitar Gunung Dempo. Bentuknya bisa merusak hutan, membukanya untuk dijadikan kebun, termasuk juga membakar lahan.”
Baca: Habitat Rusak, Harimau Berkonflik dengan Manusia di Sumatera Selatan
Kedua, pelanggaran etika atau moral. Misalnya terkait asusila. Mungkin banyak pendatang yang tidak paham ini, seperti sombong, takabur, dan lainnya. “Jadi konflik manusia dengan harimau beberapa hari lalu itu sebuah peringatan, bukan ancaman,” kata Ketua Yayasan Alam Melayu Sriwijaya [Malaya] ini.
Sebagai informasi, masyarakat yang menetap di sekitar Gunung Dempo [Pagaralam, Lahat dan Semende] diperkirakan pernah hidup dalam peradaban tinggi megalitikum Pasemah di masa prasejarah. Bukti yang masih ada yaitu sebaran megalitik dari menhir, dolmen, peti kubur batu, lesung, hingga patung yang statis dan dinamis. Patung dinamis menandakan peradaban megalitikum yang disebut Pasemah [Basemah] sudah cukup tinggi.
Hubungan harmonis manusia dengan alam ini terlihat dari sejumlah patung. Misalnya patung manusia dengan gajah, harimau, buaya, dan lainnya. Ini menandakan kebudayaan yang ekosentris.
Sebaran peninggalan megalitik itu, seperti dikutip dari Pagaralam.go.id antara lain di Gunungmigang [Batu rang, batu kitap, dan lainnya], Gunung Kaye [Batu bupean, batu pidaran], Tegurwangi [Batu beghibu dan lainnya], Simpang Pelajaran [Batu pidaran, dan lainnya], Situs Muarapayang [Batu perahu, peti kubur batu, dan lainnya], serta Tanjung-aghe [Batu jeme dililit ulagh, peti kubur batu, dan lainnya].
Baca: Peradaban Bukit Barisan Pasemah dan Sriwijaya yang Ajarkan Ekosentris. Seperti Apakah?
Hidupkan kembali tradisi
Solusinya, kata Husni, nilai-nilai adat yang membangun hubungan harmonis manusia dengan alam dihidupkan kembali. “Tradisi dapat berupa bentuk baru, tapi intinya tidak melanggar dua hal tersebut. Bisa dihidupkan melalui organisasi adat. Setiap masyarakat di sekitar Gunung Dempo harus patuh dan turut memberikan imbauan kepada pendatang, seperti halnya masyarakat di sekitar gunung lain di Indonesia, sebut saja Gunung Kerinci,” katanya.
Sebenarnya, kata Husni, masih ada tokoh adat di Pagaralam dan Lahat yang paham nilai-nilai adat yang menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan alam. “Tapi tokoh adat ini tersembunyi. Mereka takut jika menjelaskan nilai-nilai tersebut dinilai syirik. Padahal, jika dipahami hubungan manusia dengan alam, sebenarnya merupakan perintah semua ajaran agama. Pemerintah harus mengembalikan peran tokoh adat tersebut,” ujar Husni.
Konflik harimau dengan manusia merupakan peringatan awal. Jika kita bersikap “berperang” jelas harimau kalah. Manusia punya senjata mematikan. Tapi jika Gunung Dempo yang marah, manusia jelas tidak akan mampu mengatasinya.
“Intinya, jangan rusak hutan atau alam di sekitar Gunung Dempo. Juga, jangan berperilaku buruk atau moral tidak baik. Percayalah, semua akan berjalan baik, harmonis seperti sebelumnya,” ujarnya.
Baca juga: Mendaki Kerinci Bukan Hanya Menaklukkan Atap Sumatera
Menjaga nilai-nilai
Para pendaki gunung yang biasa menjelajahi Gunung Dempo membenarkan nilai-nilai adat tersebut. “Kami bertanya dengan masyarakat sekitar sebelum mendaki. Umumnya, mereka memberi wejangan agar kami tidak merusak hutan [menebang pohon dan mengotori sumber air], serta menjaga etika bicara maupun perilaku. Beberapa kali naik kami selamat dan lancar. Hal ini kami lakukan juga saat naik Gunung Kerinci, termasuk gunung-gunung di Jawa,” kata Nopri Ismi, mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang, yang aktif menulis untuk Mongabay Indonesia.
“Kami diberi tahu soal puyang [harimau] di Gunung Dempo. Kami pun mematuhi aturan di masyarakat, tidak merusak hutan dan melanggar etika,” kata Kenedi, pendaki gunung lain.
Tapi, itu perilaku saat masuk hutan. Kejadian puyang turun ke dusun dan berkonflik dengan manusia tentu sangat mengejutkan. Pasti ada hal luar biasa yang terjadi. “Saya tidak tahu, tapi perkiraan saya karena kerusakan hutan. Kita harus mengevaluasi, bukan hanya masyarakat, pendatang [pendaki gunung dan wisatawan] juga,” jelasnya.