- Gunung Kerinci merupakan gunung berapi aktif yang puncaknya sekitar 3.805 meter dari permukaan laut. Julukannya Atap Sumatera
- Masyarakat di kaki Gunung Kerinci sangat ramah dengan para pendaki atau wisatawan. Mereka tidak membisniskan setiap kebutuhan para pendaki
- Para pendaki harus mematuhi sejumlah aturan atau etika sepanjang perjalanan menuju puncak Gunung Kerinci, seperti bersikap sopan, tidak sombong, tidak sembarang membuang hajat, tidak bicara kotor atau berbuat mesum [asusila]
- Pendakian ke puncak Gunung Kerinci tidak mudah, medannya terjal dari Batu Lumut ke Pos 3 hingga puncak. Ancaman abu vulkanik, bau belerang, dan hujan deras atau badai merupakan sejumlah tantangan alam yang harus dihadapi
Gunung Kerinci merupakan gunung berapi tertinggi di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi. Puncaknya sekitar 3.805 meter dari permukaan laut dengan julukan Atap Sumatera. Pada puncaknya di sisi timur laut, terdapat kawah yang dalamnya diperkirakan 600 meter, berisi air warna hijau. Kawah ini masih berstatus aktif.
Gunung yang merupakan rumah besar harimau sumatera di bentang Bukit Barisan ini, hampir setiap hari dikunjungi para pendaki atau wisatawan. Jumlah pendaki Gunung Kerinci akhir 2018 mencapai 1.100 orang, berdasarkan data yang disampaikan Kepala Dinas Pariwisata Kerinci, Ardinal Salim, sebagaimana dikutip dari Jambi Independent edisi 3 Januari 2019.
Para pendaki yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini, menurut Ardinal, jumlahnya bertambah jika dibandingkan 2017 lalu yang kurang dari seribu orang.
Bagaimana sikap masyarakat di kaki Gunung Kerinci terhadap para pendaki itu?
Baca: Harum Kopi Arabika di Kaki Gunung Tertinggi Sumatera

Gunung Kerinci merupakan bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS], kawasan konservasi yang memiliki luas 1.386.000 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 192/Kpts-II/1996 tanggal 1 Mei 1996. TNKS sendiri adalah kesatuan dari pegunungan Bukit Barisan yang memanjang dari utara ke selatan di Pulau Sumatera.
Awal Februari 2019, saya bersama dua teman melakukan pendakian ke gunung ini. Selama perjalanan kami bertemu sejumlah warga, yang umumnya petani sayuran, palawija, teh dan kopi. Mereka selalu menyapa, baik yang berjalan kaki atau naik sepeda motor. Bahkan, warga yang mengendarai mobil, berhenti di depan kami dan menawarkan tumpangan, tanpa mau menerima ongkos.

“Bule atau orang asing yang mendaki juga diperlakukan sama oleh warga,” kata Fatur, porter yang biasa mendampingi para pendaki ke Gunung Kerinci.
“Warga juga sering berbagi hasil kebun secara gratis untuk para pendaki, seperti sayuran atau kentang sebagai bekal,” jelasnya.
Kami bertemu Fatur ketika menempuh perjalanan dari Desa Kersik Tuo, Kecamatan Kayuaro, Kabupaten Kerinci, Jambi, ke Pos Penjagaan TNKS [Taman Nasional Kerinci Sebelat] sekitar 50 menit berjalan. Sebagian besar lahan di sekitar jalan ini merupakan perkebunan teh.
Baca: Gunung Kerinci: Pariwisata Alam di Tengah Ancaman Sampah

Rute selanjutnya adalah menuju Pondok R10 atau Pintu Rimba yang waktu perjalanan sekitar satu jam, di ketinggian sekitar 1.800 meter dari permukaan laut. Sepanjang perjalanan di sini, terlihat hamparan perkebunan warga yang berbatasan dengan hutan.
Apa yang tidak disukai warga terhadap para pendaki atau wisatawan?
“Ya, seperti umumnya. Sopan, jangan bicara sembarangan atau tidak baik, dan jangan sombong,” kata Bahrun, petani yang saya temui usai memanen biji kopi di kebunnya.
“Yang lebih penting, jangan sembarangan buang air besar apalagi berbuat mesum [asusila],” lanjutnya.
Baca juga: Tokhtor Sumatera yang Kembali Terpantau di Taman Nasional Kerinci Seblat

Bagaimana jika larangan atau etika tersebut dilanggar?
“Dipastikan, mereka yang melanggar larangan itu akan mendapat kesulitan, sehingga batal melakukan pendakian. Mereka bakal turun,” kata Yono, warga yang bertugas di Pos Penjagaan TNKS. “Mereka yang mengalami ini biasa yang pertama kali datang seperti kalian, tidak pernah bertanya atau tidak memahami pantangan yang ada,” jelasnya.
Bagaimana jika para pendaki tidak melanggar etika?
“Perjalanan lancar dan aman hingga ke puncak. Kita juga akan diberi pertanda baik oleh alam, seperti cuaca bersahabat,” kata Yono.

Jalak penuntun pendaki
Sama seperti ketika saya mendaki Gunung Dempo, Pagaralam, Sumatera Selatan, saat mendaki Gunung Kerinci ini, saya juga bertemu seekor burung jalak suren [Sturnus contra]. Warnanya hitam dan putih, paruh merah dengan ujung putih. Jalak ini menuntun kami dari Pintu Rimba menuju Pos Bangku Panjang di ketinggian 1.909 meter, yang memakan waktu perjalanan sekitar 30 menit.
Burung yang hidup dalam kelompok kecil ini terus menuntun kami menuju Pos 1 dengan waktu tempuh sekitar satu jam, di ketinggian 2.225 meter dari permukaan laut. Jalak ini pun pergi ketika kami sampai di Pos 3 atau di ketinggian 3.351 meter.
“Dari beberapa kali pendakian saya di sejumlah gunung di Sumatera, burung jalak sering menjadi pemandu arah. Teriakannya terdengar riang meski sumbang,” kata Fatur.

Cemara sumatera
Selama pendakian dari Pintu Rimba hingga Pos 1, saya juga melihat sejumlah pohon cemara sumatera (Taxus sumatrana). Menurut informasi yang didapatkan, cemara sumatera ini memang tumbuh di wilayah Gunung Kerinci dan Danau Tujuh.
Tanaman yang dipercaya dapat mencegah kanker dan memproduksi oksigen, sampai saat ini belum diketahui berapa banyak jumlahnya di Kerinci. Beberapa cemara sumatera yang terlihat sebagian besar sudah berusia puluhan tahun.

Asep Hidayat, Peneliti Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH), KLHK, dalam penelitiannya menemukan, kulit batang Taxus sumatrana yang diambil dari Gunung Kerinci, Jambi, mengadung 10-deacetylbaccatin III dan baccatin III. Kedua senyawa ini memperlihatkkan aktivitas biologi dalam melawan sel kanker.
“Senyawa 10-deacetylbaccatin III dan baccatin III menunjukkan aktivitas antitumor dan antikanker, secara in vitro maupun in vivo. Kedua senyawa tersebut bisa diubah menjadi paclitaxel melalui prosedur empat langkah yang ditemukan oleh Holton,” kata Asep, sebagaimana dikutip dari Badan Litbang dan Inovasi KLHK.

Robert A. Holton merupakan peneliti post doctoral di Universitas Stanford bidang produk sintesis alami. Dia mampu mengubah senyawa bahan aktif antikanker yang tidak lengkap pada berbagai jenis Taxus menjadi paclitaxel (Taxol®) yang dapat melawan kanker. Kini, paclitaxel (Taxol®) mulai menjadi obat populer bagi para dokter dalam menangani pasien kanker, seperti payudara, ovarium serta paru-paru.
Di Sumatera, Taxus sumatrana diperkirakan ditemukan juga di kawasan Hutan Lindung Dolok Sibuaton [Sumatera Utara], Gunung Dempo [Sumatera Selatan], dan tentunya Gunung Kerinci [Jambi].

Mendaki Gunung Kerinci memang bukan sekadar menikmati keindahan alam dari puncak ketinggian hampir empat ribu meter. Lebih dari itu! Banyak rahasia alam belum terungkap, untuk patut kami renungkan, selama perjalanan sehari semalam yang memacu adrenalin tersebut.
Nopri Ismi, Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Ukhuwah UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan, periode 2018. Penulis mengikuti pelatihan jurnalistik Mongabay Indonesia di Palembang pada 2017 dan 2018