Mongabay.co.id

Kala Warga Banyuwangi Tolak Tambang di Gunung Salakan

Warga bikin tenda perjuangan tolak eksplorasi tambang di Gunung Salakan, Banyuwangi. Foto: Walhi Jatim

 

 

 

 

Pada fanpage Facebook Forum Rakyat Banyuwangi, mengunggah video berdurasi 2,32 menit. Video ini menggambarkan warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur menolak eksplorasi tambang emas oleh PT Bumi Sukses Indo (BSI) dan PT Damai Sukses Indo PT (DSI). Proses eksplorasi menguji potensi mineral dilakukan peneliti dari Universitas Trisaksi dikawal personil Brigade Mobil (Brimob) Polda Jawa Timur.

Puluhan ibu-ibu menghadang brimob yang mengawal peneliti untuk survei cadangan mineral di Gunung Salakan saat melintas di perkampungan warga.

Dalam video ini, polisi dengan pelantang suara meminta warga menyingkir karena menghalangi proses pertambangan.

Baca juga: Mereka Terus Suarakan Penyelamatan Tumpang Pitu dari Tambang Emas

“Terus yang perlu diketahui sesuai Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, barang siapa yang menghalangi pertambangan berizin atau legal bisa dipidana,” kata polisi dengan pelantang.

Pernyataan itu menimbulkan reaksi warga. Mereka protes dengan membentangkan spanduk di jalan. Seorang ibu, Paini mengambil pelantang. Dia menuntut polisi keluar dari kampungnya.

“Saya sebagai wakil. Saya mohon. Kalau ngomong Undang-undang kami capek, aku mohon semua aparat tinggalkan tempat ini. Ini tempat warga, kasihani warga semua. Kami tak menerima alasan apapun. Ini perkampungan. Mana aparat yang mengayomi?” kata Paini. Lantas terjadi keributan hingga saling dorong. Dua warga dikabarkan pingsan.

Sejak 8 Januari 2020, warga dari sejumlah desa di Tumpang Pitu dan Gunung Salakan mendirikan tenda “perjuangan.”

Mereka bergantian berjaga di tenda, setiap hari 50-100 orang tinggal di tenda sebagai bentuk penolakan tambang di Gunung Salakan. Mereka juga menggelar doa bersama sembari berjaga. Umat Islam menggelar istighotsah sedangkan umat Hindu bersembahyang di tenda.

Mereka melarang peneliti Universitas Trisakti, BSI, DSI, dan polisi melintas jalan kampung menuju Gunung Salakan. Rencananya, warga bertahan sampai 45 hari sebagai bentuk protes. Perusahaan tengah mengincar Gunung Salakan, untuk menambang emas, setelah sebelumnya menambang di Tumpang Pitu.

Warga sekitar sebagian besar bekerja sebagai petani dan nelayan. Lokasi pemukiman warga hanya berjarak sekitar dua kilometer dari tambang emas Tumpang Pitu. Warga melihat langsung kerusakan alam yang terjadi. Mereka khawatir hal serupa terjadi di Salakan.

Baca juga: Budi Pego, Aktivis Penolak Tambang Tumpang Pitu Itu Kena 10 Bulan Penjara

Permukiman warga menghadap laut lepas, Gunung Salakan ada di belakang. Kalau tsunami, Gunung Salakan merupakan banteng alami. Sekaligus titik penting untuk pengungsian aman.

 

Foto dari FB Forum Rakyat Banyuwangi

 

 

***

Sekitar 10 mahasiswa di Malang, tergabung dalam aksi Kamisan di Balai Kota Malang, protes tambang emas Tumpang Pitu di Banyuwangi, Kamis (1/16/20).

Kevin, koordinator aksi mengatakan, tambang emas di Banyuwangi itu merusak lingkungan hutan dan pantai. Dampaknya, mata pencaharian sebagian warga lokal terganggu.

“Gunung Tumpang Pitu menjadi simbol untuk pelestarian lingkungan. Kok dikeruk terus menerus. Gunung itu menyelamatkan warga dari tsunami,” katanya.dua

Para mahasiswa meminta, aktivitas penambangan emas di Tumpang Pitu setop. Mereka juga meminta pemerintah menghentikan eksplorasi mineral di Gunung Salakan, yang 2 kilometer dari Tumpang Pitu.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur F. Trijambore Christanto mengatakan, usaha eksplorasi BSI dan DSI berpotensi menimbulkan gesekan atau konflik dengan warga. Lokasi Gunung Salakan bersebalahan dengan Tumpang Pitu.

“Masyarakat menolak tak perlu ada kegiatan apapun di sana,” katanya.

Penambangan emas, kata Christanto, telah menimbulkan dampak buruk bagi warga sekitar. Bencana alam, seperti banjir dan longsor saat musim hujan. Juga terjadi kemandekan ekonomi, seperti sektor pariwisata dan pertanian.

Tambang di Tumpang Pitu merusak keindahan wisata alam di Pantai Pulau Merah. Pantai Pulau Merah terturup lumpur cokelat, tanah di Gunung Tumpang Pitu masuk ke Sungai Kapakan yang bermuara di Pantai Pulau Merah. Pantai Pulau Merah, katanya, jadi salah satu tujuan surving atau selancar air wisatawan mancanegara.

Dampak lain, katanya, sisa bebatuan ledakan tambang ditimbun, saat hujan bebatuan kecil pecahan ledakan tambang longsor hingga menutup lahan pertanian warga. Lahan pertanian tertutup bebatuan. Aneka tanaman rusak antara lain jagung, ketela dan buah naga.

 

Aksi Kamisan Tolak Tambang di Malang. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Selonsong peluru

Warga menemukan, 22 selongsong peluru di kawasan hutan yang tak jauh dari tenda perjuangan. Puluhan selongsong peluru laras panjang ditemukan tercecer di hutan Gunung Salakan, terdiri dari peluru tajam dan hampa.

“Peluru tercecer, kami tak mau berspekulasi siapa pemilik peluru. Komnas HAM harus turun melakukan pengawasan,” kata Koordinator Advokasi Walhi Jatim, Fandi kepada Mongabay melalui sambungan telepon.

Walhi Jawa Timur meminta Komnas HAM turun lapangan. Tujuannya meneliti ada pelanggaran HAM selama proses eksplorasi minerba di Gunung Salakan. Dia juga meminta Polri agar menarik pasukan brimob Polda Jatim.

Selongsong peluru disimpan warga dan akan diberikan ke Komnas HAM kalau turun lapangan untuk meneliti jenis dan kepemilikan. Melalui aplikasi perpesanan Fandi menghubungi Ketua Komnas HAM M Taufan Damanik.

“Bang Taufan menyampaikan akan melakukan rapat koordinasi. Untuk memutuskan apakah perlu menurunkan tim untuk meninjau lapangan,” kata Fandi.

Kepala Bidang Humas Kepolisian Jawa Timur Komisari Besar Trunyudo Wisnu Andiko melalui sambungan telepon menyatakan, brimob turun sesuai prosedur untuk mengamankan obyek vital nasional. BSI, katanya, meminta pengamanan. Sesuai standar operasional polisi berjaga apalagi dibutuhkan di kawasan obyek vital nasional.

“Polisi harus melayani permohonan. Menjalankan pengamanan karena ada permintaan.”

Pengamanan sudah sesuai ketentuan dan peraturan. Kepolisian juga memiliki Kesatuan Kerja Pengamanan Obyek Vital (Pam Obvit). Pengamanan dijadwalkan dilakukan selama sebulan.

Mengenai permintaan warga agar polisi keluar dari kawasan itu, kata Trunyudo, itu penilaian subyektif warga. Dia membantah terjadi dorong mendorong antara warga dengan polisi selama proses pengamanan berlangsung. “Tidak ada dorong mendorong. Itu hanya isu.”

 

Tambang Tumpang Pitu, Foto: Walhi Jatim

 

Kata perusahaan?

Juru bicara BSI Teuku Mufizar Mahmud menilai wajar ada kelompok warga menolak. Namun, BSI telah sosialisasi kepada semua lapisan masyarakat di sekitar Pancer dan wilayah sekitar pada November 2019.

Sosialisasi menjelaskan, bakal ada kegiatan survei geolistrik sebagai survei awal mendeteksi kandungan mineral di Lompongan dan Gondoruwo.

“Bukan di Gunung Salakan, harus diluruskan,” katanya.

Survei geolistrik dilakukan di tiga titik. Tim survei sebanyak 70 orang terdiri atas peneliti dari Universitas Trisakti, dan 40 warga lokal yang membantu proses survei. Warga lokal membantu agar tak ada gangguan selama proses survei. Dalam proses survei, tim menarik kabel di beberapa lubang berdiameter satu meter dengan kedalaman 50 centimeter.

Kabel berlapis aluminium foil, dialiri listrik. Ada delapan titik, setiap titik terdiri atas tiga baris. Total ada 24 baris. Satu baris dipasang kabel dialiri listrik. “Setrum pada jarak aman yang dijaga. Cukup aman,” katanya.

Hasil survei dapat dibaca kandungan mineral di dalamnya. Survei ini merupakan tahap awal dalam sebuah tahapan survei mineral. Selanjutnya, akan ditentukan tahapan berikutnya. Estimasi survei, jika lancar berlangsung sekitar sebulan. “Belum ada eksplorasi apalagi eksploitasi. Kekhawatiran akan penambangan tak benar,” katanya.

Di lapangan tak selancar harapan, terjadi penolakan. Dia menilai, kelompok tolak tambang ada unsur kesengajaan agar kegiatan survei geolistrik tak berjalan. Selama proses survei brimob Polda Jatim mengawal.

Teuku mengatakan, kalau kawasan tambang BSI merupakan obyek vital nasional. Dalam keketentuan pemerintah, katanya, obvitnas harus diamankan.

“Itu prosedur. Selama ini pihak yang mengamankan bertindak baik. Tidak akan yang melakukan kekerasan terhadap warga. Sekalipuan mereka menolak,” katanya.

Dia menyangkal klaim Walhi Jatim dan Jatam yang menyebut terjadi bentrok. Termasuk kabar dua perempuan yang mengalami kekerasan dan pingsan saat aksi penolakan.

Gak benar. Kita ada video yang membantah itu. Ibu menjatuhkan diri, pura-pura pingsan. Justru aparat membantu mengevakuasi,” katanya. Sebaliknya, warga tolak tambang menghantam dan memukul salah seorang pekerja. Teuku juga mengirim video kepada Mongabay melalui aplikasi perpesanan saat kejadian.

“Saya harus luruskan, penting untuk diketahui. Tak benar bentrok. Kita berpegang pada fakta dan bukti,” katanya.

Sedangkan kekhawatiran atas potensi Gunung Salakan hilang, sebagai banteng tsunami, katanya, tak ada perubahan sedikitpun dari kontur gunung. Sampai kapanpun, gunung tetap seperti apa adanya. Gunung tetap berfungsi untuk pengungsian dan evakuasi warga kalau terjadi tsunami.

Dia menyebut, beberapa tahun belakangan BSI membantu warga dan pelajar pendidikan kesiapsiagaan dan kedaruratan bencana alam seperti tsunami. Pelatihan dilangsungkan di sekolah dan komunitas warga, termasuk membuat rambu-rambu dan jalur evakuasi saat tsunami dan memasang sistem peringatan dini.

 

Selongsong peluru yang ditemukan warga. Foto: FB Forum Rakyat Banyuwangi

 

Teuku juga membantah, lumpur merusak Pantai Pulau Merah berasal dari tambang emas Tumpang Pitu yang dikelola BSI. Lumpur yang menggenangi pantai pada Agustus 2016, berasal dari endaman atau sedimen organik di Kali Katak. Endapan organik berwarna hitam berasal dari rumah warga di sepanjang Kali Katak.

Sungai Katak kering saat kemarau, ketika hujan deras semua sedimen terangkat dari badan sungai. Mengalir ke muara di Pantai Pulau Merah. “Berasal dari sedimen Kali Katak. Itu tak berasal dari tambang.”

Dia bilang, BSI membuat tiga lapis bendungan. Semua sedimen dari tambang mengalir ke bendungan hingga mengendap secara alami. Kalau perlu, katanya, katub bendungan dibuka lalu dialirkan melalui spillway.

 

Komnas HAM : Bupati Banyuwangi Bertanggungawab

Amiruddin, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM/ Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM mengatakan, Komnas HAM, sudah menyampaikan soal konflik kepada Gubenur Jatim—saat itu Soekarwo– dan Bupati Abdullah Azwar Anas.

Komnas HAM juga bertemu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar agar jeli dan berhati-hati memperhatikan investasi pertambangan agar tak mengancam lingkungan dan kelangsungan komunitas di sana.

Kala terjadi konflik, kepala daerah paling bertanggungawab, seperti di Banyuwangi, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, paling bertanggungjawab. Lantaran sejak awal dia yang memberikan izin.

“Akan disurati dan ditemui, agar dia bertanggungjawab atas apa yang terjadi,” katanya.

 

 

Keterangan foto utama: Warga bikin tenda perjuangan tolak eksplorasi tambang di Gunung Salakan, Banyuwangi. Foto: Walhi Jatim

Warga tolak tambang Banyuwangi berdoa bersama di tenda perjuangan. Foto: FB Forum Rakyat Banyuwangi

 

 

 

Exit mobile version