Mongabay.co.id

Diluncurkan Program Perbaikan Perikanan Tuna Longline Demi Sustainable Fisheries

Sekelompok ikan tuna sirip kuning (yellow fine tuna). Foto : fisheries.noaa.gov

 

Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) meluncurkan Program Perbaikan Perikanan Tuna Longline atau Fishery Improvement Project (FIP) pada Rabu (22/1/2020) di kantornya, Pelabuhan Benoa, Bali.

Program ini difokuskan untuk meningkatkan kepatuhan dalam pengisian e-logbook, pengurangan hasil tangkap sampingan untuk jenis yang dilindungi (ETP species), dan berkontribusi terhadap penyusunan dan pelaksanaan harvest strategy.

Program FIP menjadi tonggak perbaikan perikanan tuna longline menuju praktek perikanan tuna yang bertanggung jawab dan berkelanjutan sehingga meningkatkan daya saing tuna longline Indonesia di tingkat internasional. Rilis program di Bali ini difasilitasi Sustainable Fisheries Partnership Foundation (SFPF) dan LINI Foundation.

Sekjen ATLI, I Nyoman Sudarta mengatakan Bali salah satu lokasi pelaku usaha tuna longline besar di Indonesia. Ada sekitar 800-850 kapal perikanan di Bali. Sekitar 566 kapal terdaftar di ATLI dengan berbagai fungsi alat tangkap, terbanyak 261 adalah kapal dengan alat tangkap cumi. Fishing ground-nya di perairan Arafura.

Sementara longline tersisa 225 kapal. “Kita akan bertahan dan menuju safe longline,” katanya. Dari jumlah kapal itu, sebanyak 135 di antaranya berlayar di laut lepas. Kebanyakan di Samudera Hindia sementara di Zona Ekonomi Ekskusif (ZEE) Indonesia sedikit. Lewat FIP atau perbaikan program perikanan tuna longline ini, ia berharap ada kesamaan sikap dan langkah. “Memudahkan jalan untuk dapat harga yang bersaing di dunia,” tambah Sudarta.

baca : Ini Buah Manis Penerapan Prinsip Berkelanjutan pada Perikanan Tuna

 

Suasana penurunan hasil tangkapan di Pelabuhan Benoa, Bali. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sejalan menuju FIP, ia minta aturan yang menurunkan daya saing seperti larangan alih muat (transshipment) dicabut, ini disebut salah satu alasan turunnya jumlah longline. “Peluang memindahkan ikan dengan kapal penyangga tidak ada, dan harus tanda tangan 6 instansi pelabuhan perikanan di Pengambengan, PSDKP, BKIPM, Disnak, Polair, Danlanal,” papar Sudarta.

Ivan Hans dari PT Intimas Surya, salah satu anggota ATLI menyebut larangan alih muat di tengah laut membuat kapalnya berkurang lebih dari setengah. Beban biaya meningkat. Ada beda pemahaman soal transshipment. Menurutnya transshipment itu jika kapal longline dan kapal alih muat di tengah laut beda bendera negara, dan tidak turun di pelabuhan Indonesia.

Mumpuni dari Seksi Pemanfaatan Dirjen Perikanan Tangkap KKP menyebut FIP akan melibatkan multistakeholder untuk keberlanjutan perikanan. Ada sejumlah langkah yang harus dilakukan seperti analisis supply chain, implementasi, dan evaluasi. FIP komprehensif meliputi semua aspek dalam perikanan, sementara FIP dasar tak menyeluruh, misal mempromosikan alat tangkap ramah lingkungan, dan lainnya.

Agus Budhiman dari Sustainable Fisheries Partnership memastikan syarat ketelusuran adalah masa depan perikanan karena makin banyak masalah di laut seperti limbah dan keterbatasan sumberdaya. FIK diyakini bisa mendukung peningkatan aktivitas tuna. “Selama ini produksi tuna terus menurun. Saat ini pemerintah sedang revisi 26 peraturan. Semoga untuk perbaikan perikanan,” ujarnya.

Dwi Agus Wiswa Putra, Ketua II ATLI menilai FIP adalah langkah agar Indonesia bisa masuk Marine Stewardship Council (MSC), lembaga dunia yang menilai kualitas perikanan. Hal yang ditingkatkan misalnya catatan ikan, detail kapal, dan catatan penangkapan. Secara nasional program ini sudah dirilis 17 September 2019 lalu di KKP.

Hanya sekitar 15.3% total global fresh and frozen tuna yang termasuk dalam kategori ‘sustainable’ (MSC certified) atau ‘improving’ (MSC Full Assessment) atau sudah melakukan FIP.

baca juga : Perikanan Tuna Bertanggung jawab dan Berkelanjutan Diterapkan di Indonesia, Bagaimana Itu?

 

Ikan tuna yang ditangkap nelayan di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Program Perbaikan Perikanan Tuna Longline ini mencakup tuna jenis albakora (albacore), sirip kuning (yellowfin tuna) dan tuna mata besar (bigeye tuna) di wilayah ZEE WPP 572 dan WPP 573 dan perairan international/laut lepas (Wilayah FAO 57). Jenis madidihang/tuna sirip kuning (yellowfin tuna) dan tuna mata besar (bigeye) di WPP 714 dan WPP 715 (perairan pedalaman/Archipelagic Waters), WPP 716, ZEE WPP 717 dan (FAO 71) yang ditangkap menggunakan alat tangkap longline (rawai tuna).

Sebanyak 14 perusahaan penangkapan dan pengolahan tuna, serta ATLI yang melibatkan lebih 250 kapal longline berkomitmen untuk berpartisipasi dalam program FIP ini. Menuju perikanan tuna berkelanjutan serta mendukung pelaksanaan Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna Indonesia (RPP Tuna Cakalang dan Tongkol).

Rencana Kerja FIP di tahap pertama (status stock) adalah memberikan kontribusi terhadap penyusunan harvest strategy untuk bigeye tuna, albacoare dan swordifsh di IOTC.

Rencana Kerja FIP tahap kedua (biodiversity dan ecosystem) adalah melakukan dan memperbaiki pendataan hasil tangkapan termasuk jenis-jenis endangered, threatened, protected (ETP) untuk mendukung strategi pengelolaan target spesies dan hasil tangkapan sampingan.

Melaksanakan Kebijakan Nasional pelarangan shark finning di atas kapal, mengevaluasi target pelaksanaan dan pelaporan observer on board untuk data tangkapan sampingan dan jenis yang dilindungi (ETP), termasuk hiu dan penyu. Menerapkan dan memantau langkah-langkah mitigasi bycatch untuk hiu dan penyu. Juga mengidentifikasi asal umpan dan mengetahui volume yang dipakai untuk perikanan longline.

Rencana Kerja FIP tahap ketiga (pengelolaan perikanan) di antaranya mengimplementasikan RPP Tuna, Cakalang dan Tongkol di Indonesia. Selain itu mematuhi resolusi langkah-langkah pengelolaan dan konservasi.

baca jugaEkspor Tuna dari Indonesia, Amerika Serikat Tekankan Perikanan Berkelanjutan

 

Nelayan melakukan bongkar muat ikan hasil tangkapan, termasuk ikan tuna di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada akhir November 2015. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Perikanan Longline Tuna Indonesia disebut mengalami penurunan produksi dalam 4 tahun terakhir, karena menurunnya jumlah armada longline yang beroperasi di wilayah ZEE dan laut lepas. Pada 2012, sebanyak 1132 kapal longline tuna Indonesia masih beroperasi di Laut Lepas Lautan India (Indian Ocean) dan ZEE. Namun kini data kapal yang memiliki ijin menangkap ikan di laut lepas dalam wilayah konvensi IOTC hanya berjumlah 261 kapal saja (IOTC record of authorized vessels, 2018).

Wilayah pengelolaan perikanan Longline Tuna Indonesia mencakup dua wilayah, yaitu perairan teritorial termasuk wilayah ZEE, dan laut lepas (High Sea). Tata aturan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia dan ZEE diatur berdasarkan Peraturan Menteri KP No.30/2012 dan No.26/2013 tentang Perijinan. Sedangkan di Laut Lepas diatur melalui Peraturan Menteri KP No.12/2012, dan oleh Tuna Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs), yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) untuk Samudera Hindia, dan Western Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) untuk wilayah Lautan Pasifik.

Indonesia menjadi anggota RFMO di sejumlah institusi, yakni Commission for Conservation of Southern Blue Fin Tuna (CCSBT), sejak tahun 2007. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), sejak tahun 2007, dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), sejak 2013

Dengan menjadi anggota dari RFMOs tersebut, maka Indonesia wajib mematuhi resolusi walaupun di Perairan ZEE Indonesia. IOTC di dalam status stock yang dirilis di tahun 2018 tentang status tuna dan tuna alike menjelaskan stok yellowfin tuna (YFT) dalam kondisi belum pulih. Salah satu kebijakan IOTC antara lain dengan membangun kembali stok YFT dengan sistem pembatasan penangkapan ikan.

 

Nelayan dari Flores Timur memancing ikan tuna dan cakalang menggunakan huhate di perairan Laut Flores dan Laut Sawu. Foto : Fitrianjayani/WWF Indonesia

 

Untuk perikanan longline setiap anggota IOTC yang hasil tangkapan YFT yang dilaporkan pada tahun 2014 melebihi 5000 MT diminta untuk mengurangi 10 persen hasil tangkapannya. Sesuai laporan Indonesia pada Pertemuan Komisi Ilmiah IOTC tahun 2015, Indonesia melaporkan hasil tangkapan tunanya sebesar 185.675 ton. (IOTC, 2015)

Per Januari 2019, jumlah kapal longline ATLI yang masih beroperasi adalah 245 Kapal, yang terdiri dari berbagai ukuran kapal. Sampai Maret 2019, ATLI memiliki anggota sebanyak 11 perusahaan dan juga perorangan yang memiliki kapal longline.

***

Keterangan foto utama : Sekelompok ikan tuna sirip kuning (yellow fine tuna). Foto : fisheries.noaa.gov/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version