Mongabay.co.id

Mengulas Karhutla Jambi 2019, Awal Tahun Riau Mulai Kebakaran

Konsesi PT MAS di Desa Sipik, Muarojambi, pasca sebulan terbakar. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Pepohonan yang sudah tumbuh itu ludes terbakar. Hutan lindung gambut Londerang di Jambi, musnah terbakar pada 2019. Hutan lindung gambut seluas 12.848 hektar ini terluas di Jambi. Ia bagian kesatuan hidrologis gambut Sungai Mendahara-Sungai Batanghari, mencakup Kota Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi, seluas 201.383 hektar.

“Dulu, 2015 terbakar, 2019 kebakar lagi, sekarang sudah benar-benar hilang, tak ada lagi sisa,” kata Rudi Syaf, Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, saat merilis catatan 2019, awal Januari lalu.

Bukan hanya BRG, sejak April 2016, WWF-Indonesia yang mendapat dukungan dana dari Millenium Challenge Account Indonesia (MCAI) membangun 80 sekat kanal untuk membasahi gambut di Londerang.

“Kami juga restorasi vegetasi, ada sekitar 10.000 hektar lahan yang terdeforestasi,” kata Zainuddin, Manager Sumatera Peatland, WWF-Indonesia. Sebagian besar Londerang habis terbakar pada 2015.

Menurut pengamatan WWF-Indonesia, api yang membakar Londerang pada 2019 berasal dari luar kawasan lindung.

Baca juga: Kesiapsiagaan Masyarakat Rendah Hadapi Karhutla

Konsesi PT Dyiera Hutani Lestari, perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri yang berbatasan dengan hutan Londerang terbakar. Catatan Warsi, luas kebakaran sekitar 7.469 hektar. Bagian lain, konsesi PT WKS juga terbakar hingga 3.423 hektar. Api juga membakar kebun sawit milik PT Kaswari Unggul dan PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi (ATGA) di sekitar Londerang hingga ratusan hektar.

Sepanjang tiga dekade terakhir, Jambi kehilangan hampir 1,9 juta hektar lebih tutupan hutan. Akhir 2019, Warsi mencatat tutupan hutan di Jambi tersisa 900.713 hektar, berkurang 20.000 hektar dibanding 2017. Kebakaran hutan andil dalam kehilangan hutan Jambi.

Rudi menyebut, kebakaran hutan 2019, tak kalah buruk dari 2015. Data Warsi menunjukkan, sepanjang 2019, terdeteksi 30.947 titik panas atau 13.000 lebih sedikit dibanding 2015. Setidaknya 157.137 hektar hutan dan lahan di Jambi terbakar, menyebabkan kerugian lingkungan sekitar Rp12 triliun.

Baca juga: Jatuh Bangun Selamatkan Gambut Jambi

Kerugian besar itu, katanya, dampak kebakaran gambut seluas 101.418 hektar, lebih buruk dibanding 2015 seluas 90.363 hektar. “Hampir 25% berada di gambut dalam lebih empat meter,” katanya.

Ironisnya, kebakaran lahan terluas justru berada pada kawasan berizin. Dalam hitungan Warsi, konsesi HPH terluas, 40.865 hektar, 50 perusahaan sawit di Jambi turut menyumpang lahan terbakar 24.938 hektar.

Disusul 18 perusahaan pemegang izin HTI luas 21.226 hektar. Hutan lindung 15.534 hektar, restorasi ekosistem 14.762 hektar, taman nasional 17.738 hektar, taman hutan raya 13.052 hektar, lahan masyarakat 3.069 hektar, hutan produksi terbatas (HPT) 5.775 hektar dan hutan produksi konversi (HPK) 178 hektar.

“Ada puluhan perusahaan HTI, sawit, dan HPH yang terbakar berulang. Ini harus dievaluasi.”

Banyak perusahaan pemegang izin, kata Rudi, tak mematuhi PP 57/2016 soal tata kelola gambut, terutama yang mengatur tinggi muka air gambut minimal 40 sentimeter dari permukaan gambut. Dampaknya, kebakaran di izin konsesi dan sekitar terus berulang.

Dia menyarankan, 27.000 hektar gambut dalam yang terbebani izin konsesi sawit dan HTI untuk dikembalikan pada fungsi lindung. “Yang kadung ditanami harus penanganan khusus, atau tanaman diganti dengan tanaman adaptif gambut seperti jelutung rawa yang lebih ramah gambut.”

 


***

Walhi Jambi merilis sampai 31 Oktober 2019, kebakaran di Jambi sekitar 165.186,58 hektar, 114.000 hektar adalah gambut.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) melumpuhkan sektor perekonomian, 1.000 lebih sekolah libur, 63.000 orang terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan kerusakan lingkungan serius.

“Butuh biaya mahal memulihkan kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan,” kata Rudiansyah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Rabu (9/1/20).

Luas gambut di Jambi mencapai 751.000 hektar, dan 70% terbebani izin konsesi HTI dan perkebunan sawit. Banyak kanal dibangun untuk mengeringkan gambut dan membuat rawan terbakar.

BRG fokus restorasi gambut, sepanjang 2017-2018, membangun 434 sekat kanal di gambut Muaro Jambi, Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat, untuk menjaga gambut tetap basah.

Namun, katanya, upaya ini belum menunjukkan hasil maksimal. Kebakaran terus terjadi di Jambi.

Soesilo Indrarto, Ketua Kelompok Kerja Wilayah Sumatera BRG mengatakan, kalau banyak kebocoran di konsesi yang menyebabkan areal intervensi BRG ikut mengering dan terbakar.

Walhi mencatat, setidaknya 62 konsesi perusahaan terbakar pada 2019. Tujuh perusahaan disegel Direktorat Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan 12 perusahaan diproses Polda Jambi. Dua perusahaan [PT Mega Anugrah Sawit dan PT Dewa Sawit Sari Persada] jadi tersangka.

Di lapangan, Walhi menemukan banyak pelanggaran perusahaan dengan konsesi terbakar. Beberapa perusahaan terbukti tak mematuhi aturan PP57 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang mengatur tinggi muka air gambut, tidak memiliki sarana pemadaman, personel kurang, tidak membuat sekat kanal dan lain-lain.

Kendati demikian, sejak 2015-2019, Pemerintah Jambi belum pernah memberikan sanksi pada perusahaan dengan konsesi terbakar.

“Pelajaran 2015, ternyata ini tidak dilakukan. Kalau 2016 dan 2017 kebakaran berkurang bukan karena kerja pemerintah berhasil, tapi karena memang potensi hujan lebih tinggi saat itu.”

Hampir setiap tahun terjadi karhutla di Jambi, bahkan siklus terus menunjukkan peningkatan. Sejak 1997-2000, siklus kebakaran terjadi sekali dalam empat tahun. Kemudian, naik dua tahun sekali pada 2000-2001.

Pada 2006-2010, kebakaran terjadi setiap tahun sekali. Kondisi makin parah mulai rentang waktu 2010-2019, kebakaran terjadi dua kali dalam setahun. Kebakaran di konsesi perusahaan jadi terluas.

Walhi mendorong, pemerintah mengevaluasi semua izin perusahaan dan penegakan hukum pada perusahaan dengan konsesi terbakar. Perusahaan juga dituntut bertanggung jawab atas dampak karhutla.

Termasuk, katanya, penerapan Perda No.2/2016 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

 

Lokasi terbakar di hutan lindung gambut Londerang 14 Agustus 2019. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK Indonesia menyebut, 80% karhutla 2019 sengaja untuk membuka perkebunan. Setidaknya, 83 perusahaan HTI, perkebunan sawit dan karet terafiliasi 17 grup konglomerasi kelas kakap disegel KLHK.

Sejak 2015-2019, ke-17 grup perusahaan ini menerima pembiayaan US$19,1 miliar.

TuK Indonesia mencatat, ada 10 bank menggelontorkan dana pada perusahaan penyumbang kebakaran 2019: Bank Rakyat Indonesia (BRI), Malayan Banking, Bank Negara Indonesia, Industrial and Commercial Bank of China, Oversea-Chinese Banking Corporation. Lalu, CIMB Group, Bank of China, China Development Bank, Bank Mandiri dan Mitsubishi UFJ Financial. Sepuluh kreditor ini menggelontorkan dana hingga US$8.707 juta.

Bank Rakyat Indonesia (BRI) justru mengeluarkan modal paling besar di antara 10 bank lain, total US$1.723 juta. BNI juga mengalirkan dana US$1.087 juta dan Bank Mandiri US$502 juta.

Ada 14 grup perusahaan menerima aliran dana itu, yakni, Provident Agro Group, Rajawali Group, Sampoerna Group, Sinar Mas Group, Sungai Budi Group, Batu Kawan Group, Genting Group, Harita Group, Royal Golden Eagle Group, TDM, Cargill, Austindo Group, Salim Group, Tianjin Julong.

Edi mengatakan, perlu review regulasi di Otoritas Jasa Keuangan dan pengawasan pada bank-bank di Indonesia terutama BUMN. “BRI menggelontorkan dana terbesar pada perusahaan yang disegel KLHK, harusnya ini menjadi catatan penting,” katanya.

BRI, BNI dan Mandiri, berisiko terkena masalah keuangan dengan membiayai perusahaan yang terjerat hukum dan kerusakan lingkungan. “Kalau terjadi kerusakan lingkungan seperti ini, risiko kepatuhan [membayar tagihan pinjaman] kliennya tinggi dan akan berpotensi kena risiko keuangan, sebab klien mereka mengahadapi risiko keuangan.”

Menurut Edi, nilai investasi yang diterima negara dari perusahaan pemegang izin tidak sebanding dengan risiko yang dihadapi. Pada 2015, kerugian negera dampak karhutla Rp200 triliun lebih. Pada 2019 mencapai Rp75 triliun. “Ini bisnis proses yang salah, rugi kita melanjutkan bisnis seperti itu. Negera harus me-review itu.”

TuK melihat, persoalan lingkungan sebagai kejahatan luar biasa. Banyak perusahaan disegel KLHK, seharusnya masuk daftar hitam yang tak perlu dibiayai.

Saat ini, katanya, momentum KLHK dan pemerintah untuk melihat ada masalah dan perlu evalusai. KLHK, OJK, KPK dan penegak hukum lain juga harus saling bersinergi untuk mengembalikan uang negara.

“Beberapa perusahaan [tersangka karhutla] yang diputuskan pengadilan tidak eksekusi, padahal angka [ganti rugi] cukup besar, triliunan rupiah.”

 

Helikopter BNPB, bulan lalu melakukan bom air pada lahan terbakar di Rimbo Panjang, Kampar, Riau. Kebakaran sudah berlangsung hampir satu minggu. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Januari 2020, api mulai muncul?

Di Riau, mengawali minggu pertama 2020, sejumlah titik panas mulai bermunculan. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru, tiap pagi dan petang merilis informasi cuaca berikut sebaran titik panas di Riau.

Awal Januari pukul 7.00, satu titik panas mulai terpantau di Bengkalis dan Indragiri Hilir. Pukul 16.00, di Bengkalis meningkat tiga titik. Satu titik terindikasi terbakar. Jumlah itu bertahan sampai 2 Januari pagi. Sorenya nihil. Muncul lagi dua titik panas di Dumai dan satu titik di Indragiri Hilir.

Titik panas di Dumai meningkat sampai 4 Januari. Dua titik terindikasi kebakaran. Baru nihil 5 Januari pagi. Lalu, dua titik panas kembali muncul di Bengkalis dan satu titik terindikasi kebakaran.

Sorenya, titik panas mulai bertebaran kembali di sejumlah kabupaten dan kota. Bengkalis meningkat tiga titik, satu di Siak, dua di Meranti, tiga di Dumai, dua di Pelalawan dan tiga di Indragiri Hilir. Bengkalis, Dumai dan Indragiri Hilir kembali terindikasi kebakaran.

Titik panas maupun titik api itu bertahan sampai 6 Januari pagi. Sorenya, berkurang drastis hanya menyisakan tiga titik panas di Bengkalis dan bertahan sampai 7 Januari.

Dari 8-10 Januari, titik panas maupun titik api terus terdeteksi di Bengkalis, Siak, Pelalawan, Kuantan Singingi, Dumai, Kepulauan Meranti, Rokan Hilir dan Indragiri Hulu. Ia kadang terdeteksi pada pagi atau sore bahkan seharian bertahan atau bertambah jumlahnya.

Pada 11-13 Januari hampir seluruh wilayah di Riau nihil titik panas, kecuali di Indragiri Hulu. Ia terkadang juga muncul pagi atau sore. Mulai 14-16 Januari, titik panas bermunculan kembali di Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hilir termasuk di Indragiri Hulu.

Menurut analisa BMKG Pekanbaru, hilang-timbul dan naik-turun jumlah titik panas maupun titik api di Riau, tak terlepas dari aktivitas Tim Satgas Karhutla yang berupaya padamkan api. Januari ini, katanya, hujan mulai berkurang dibanding Desember tahun lalu. Kalau terjadi hujan, hanya bersifat lokal.

Sebaran titik panas paling dominan di Bengkalis. Kondisi itu tak terlepas dari karhutla karena pembukaan lahan. “Cuaca bukan faktor utama atau dapat dikatakan hanya faktor pendukung,” kata Bibin Sulianto, Prakirawan BMKG Pekanbaru.

Titik panas dan titik api yang terpantau BMKG Pekanbaru, seperti terkonfirmasi langsung dengan laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau. Medio Januari 2020, sekitar 78,53 hektar lahan telah terbakar.

Paling luas di Siak 30,13 hektar, Bengkalis 15,4 hektar, Indragiri Hulu dan Dumai masing-masing 13,5 hektar, Kepulauan Meranti satu hektar, Kampar serta Pelalawan masing-masing satu hektar.

Ditambah satu hektar di Dusun Suka Maju, Kampung Kuala Gasib, Kecamatan Koto Gasib, Siak. Kemudian satu hektar di Desa Rimbo Panjang, Kecamatan Tambang, Kampar. Kelurahan Kerumutan, Kecamatan Kerumutan, Pelalawan satu hektar.

Selain itu, di Kampung Pencing Bekulo, Kecamatan Kandis, Siak meluas 20 hektar, sebelumnya delapan hektar dan beberapa lokasi lain. Hingga kini, karhutla masih terus terjadi di beberapa lokasi di Riau, seperti Pulau Rupat, belum padam.

 

Personil polisi berhari-hari bantu pemadaman karhutla di Rimbo Panjang, Kampar, Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Penegakan hukum

Pada 2019, Polda Riau menyidik tujuh kasus dengan sembilan tersangka di Polres Indragiri Hulu satu kasus, tiga tersangka luas 3,5 hektar. Polres Bengkalis dua kasus dua tersangka dengan 70 hektar.

Lalu, Polres Siak satu kasus satu tersangka dengan satu hektar. Polresta Dumai satu kasus satu tersangka dengan lima hektar. Polresta Pekanbaru satu kasus satu tersangka dengan 0,15 hektar.

Proses pidana pelaku perusakan hutan dan pencemaran lingkungan hidup marak terjadi pada 2019, sudah mulai menjalani persidangan. Terutama yang menjerat korporasi maupun pengurusnya.

PT Sumber Sawit Sejahtera (SSS) kena dakwaan alternatif, yakni, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Perkebunan oleh Kejaksaan Tinggi Riau. Di pengadilan, perusahaan diwakili Direktur Utama, Eben Ezer Djadiman Halomoan Lingga.

Pasal-pasal serupa juga menjerat Pjs Estate Manager PT SSS Alwi Omri Harahap. Keduanya didakwa dengan berkas masing-masing dan menghadapi beberapa kali keterangan saksi di Pengadilan Negeri Pelalawan.

Dalam dakwaan penuntut umum, lahan SSS terbakar pada 23 Februari 2019. Baru berhasil padam satu bulan lebih setelah hujan lebat atau 29 Maret 2019. Sarana prasarana pencegahan dan penanggulangan karhutla disebut tak memadai seperti, menara pantau api dan peralatan pemadaman tidak penuhi standar seperti Peraturan Menteri Pertanian No 5/2018.

SSS hanya punya dua regu pemadam kebakaran dengan 15 anggota tiap regu. Saat kebakaran, dipecah jadi tiga regu dengan membagi anggota semula jadi 10 orang tiap regu. Semua karyawan kebun rangkap jabatan dan tak pernah mengikuti pelatihan pemadaman. Beberapa orang yang pertama kali mendatangi titik kebakaran hanya mengambil foto tanpa bawa peralatan pemadaman.

Anggota lain datang sekitar pukul 5.00 sore dengan peralatan seadanya. Tak ada sumber air di sekitar. Mereka terpaksa mencangkul gambut untuk dapatkan air. Api makin meluas meski dibantu Manggala Agni, Satpol PP, Damkar Pelalawan, PT RAPP, PT Arara Abadi, TNI dan Polri beberapa hari kemudian.

Izi usaha perkebunan sawit SSS sekitar 5.604 hektar. Kebakaran tahun lalu menghanguskan sekitar 155,2 hektar. Api melahap dua hamparan lahan yang dibersihkan dan blok pembatas. Kebakaran ini disebut terkonsentrasi pada areal yang hendak ditanami sawit. Areal yang telah ditanami sawit antara dua hamparan itu tak terbakar sema sekali.

Sebelum terbakar, pembukaan lahan pada dua hamparan itu di bawah tanggung jawab Alwi Omri Harahap. Sisa tebangan dibiarkan menumpuk sampai kering. Beberapa blok yang terbuka, bekas tebangan dibiarkan menumpuk dan kering hingga memicu munculnya api.

Di areal itu juga tidak ditempatkan regu pemadaman. Jarak gudang penyimpanan alat pemadaman dari dua hamparan itu sekitar enam jam perjalanan karena medan buruk.

Selain perkara lingkungan hidup dan perkebunan, Pengadilan Pelalawan juga menyidang perkara perusakan hutan oleh tokoh adat Batin Hitam Sungai Medang Abdul Arifin. Kasus ini juga terjadi ketika maraknya karhutla tahun lalu, seperti di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)

Kasus Abdul Arifin berawal dari patroli sejumlah Pegawai Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau di TNTN pada 5 Agustus 2019. Petugas menemukan karet berumur 2-3 tahun. Seorang penjaga kebun yang ditemui saat itu menyebut, kebun itu milik Abdul Arifin.

Petugas mengambil beberapa titik koordinat dan memploting dalam peta kawasan TNTN. Hasilnya, menunjukkan, kebun itu berada dalam wilayah Sesi I Resort Lancang Kuning Air Sawan, Dusun VI Sungai Medang, Desa Kesuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Pelalawan. Salah seorang petugas melaporkan temuan itu ke Polres Pelalawan.

 

Pemadaman karhutla di Kampar, pada Januari 2020. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Abdul Arifin kena dakwaan alternatif dengan Pasal 92 UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU 5/1990 Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.

Sebelum menjalani sidang pidana, Abdul Arifin sempat menggugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Polres Pelalawan.

Abdul Arifin keberatan dengan SK 663/Menhut-II/2009 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan hutan produksi terbatas kelompok Hutan Tesso Nilo sekitar 44.492 hektar.

Menurut penasehat hukumnya, Agus Tri Khoirudien, SK itu baru sebatas penunjukan belum ada rangkaian proses pengkuhan kawasan hutan hingga penetapan.

Sedangkan keberatan dia pada Polres Pelalawan, perihal penangkapan Abdul Arifin. Menurut Agus, mestinya ada penyelidikan terlebih dahulu atas status lahan. Abdul Arifin kukuh, lahan itu tanah ulayat persukuan yang dikuasai oleh Batin Hitam dari generasi ke genarasi.

Gugatan ini mentok di mediasi. Kedua belah pihak akhirnya sepakat melanjutkan persidangan dan mempertahankan pendapat masing-masing sesuai kesempatan yang diberi majelis hakim.

Pada kesempatan terakhir pada penggugat, Agus justru mencabut gugatan. Pada selembar kertas yang diserahkan pada majelis hakim dan tergugat, Agus tak menyebutkan alasan jelas pencabutan gugatan. Permohonan itupun diterima.

Abdul Arifin tak asing bagi Pengadilan Pelalawan. Dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) di pengadilan kelas dua itu, namanya dua kali tercatat.

Pada 8 Agustus 2012, Tim Patroli Fungsional Balai TNTN dan Personil Polres Pelalawan menangkap Abdul Arifin di rumah kayu 9×6 meter dalam TNTN. Bersamanya, petugas menyita sebilah parang, satu chainsaw. Di sekitar rumah juga terdapat sekitar 5.000 bibit sawit dan 1.000 bibit karet.

Satu minggu sebelum ditangkap, tim sudah minta Arifin dan beberapa warga menghentikan penebangan hutan.

Aktivitas mereka berada dalam TNTN Wilayah II Resort Situgal, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Pelalawan.

Arifin menolak karena itu tanah ulayat Batin Hitam Sungai Medang. Ketika ditangkap, mereka membuka hutan sekitar 10 hektar.

Menurut orang-orang terdekat Arifin yang memberi kesaksian meringankan saat itu, surat hak atas tanah ulayat ada sejak tahun 1.900 sekitar 300.000 hektar. Terbentang dari Kecamatan Pangkalan Kuras sampai Kecamatan Ukui. Batin Hitam Sungai Medang kebagian 100.000 hektar.

Pada 1990, mereka pernah menuntut PT Nanjak Makmur yang memegang izin hak pengusahaan hutan di sana.

Setelah izin Nanjak Makmur berakhir, pemerintah menetapkan jadi taman nasional. Para tokoh adat keberatan karena masyarakat tak dilibatkan. Mereka juga tak tahu letak tapal batasnya.

Arifin menerangkan, punya surat lahan berupa tombo atau peta Belanda. Dia tak pernah lihat patok batas TNTN. Pemerintah juga, katanya, tak pernah sosialisasi. Termasuk pemasangan papan pemberitahuan di kawasan.

Meski begitu, Arifin menyesali perbuatannya saat itu. Majelis hakim menghukum enam bulan penjara, denda Rp4 juta.

Arifin juga pernah bersengketa dengan dua warga Desa Pangkalan Gondai, Kecamatan Langgam, Pelalawan pada 2018. Dia turut menyeret kepala desa setempat. Arifin tak terima 27 hektar tanah ulayat Batin Hitam dikuasai dan ditanami sawit oleh warga.

Sebaliknya, dua warga dan kepala desa yang digugat Arifin, mengatakan, lahan itu milik Batin Pelabi di Pangkalan Gondai.

Majelis Hakim Pengadilan Pelalawan kemudian menolak gugatan dan jawaban masing-masing pihak karena obyek gugatan tidak jelas. Hakim menilai, letak dan batas-batas obyek sengketa yang dikemukakan penggugat beda dengan batas-batas lahan yang dikuasai kedua tergugat. Arifin dihukum membayar semua biaya yang timbul dalam perkaranya Rp4.386.000.

Dalam perkara yang sedang dijalani sekarang, Arifin lewat kuasa hukum, Muhammad Hasan Rais dan kawan-kawan kembali mempersoalkan status penetapan TNTN. Menurut mereka, lokasi yang dikuasai Arifin adalah hak masyarakat adat yang diakui negara. Rais menyebut, Arifin korban politik hukum oleh penyidik.

“Ada kasus kebakaran hutan dan lahan terjadi di sekitar kebun Arifin. Fakta hukum itu dihilangkan dari dalam dakwaan karena melindungi oknum tertentu,” kata Rais ketika menyampaikan keberatan atas dakwaan penuntut umum.

Rais, menambahkan, banyak oknum lain yang menikmati keuntungan dalam TNTN, tetapi tak tersentuh sampai sekarang.

 

 

Keterangan foto utama:  Konsesi PT MAS di Desa Sipik, Muarojambi, pasca sebulan terbakar. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version