Mongabay.co.id

Pemerintah Percepat Peta Jalan Industri Ikan Hias Nasional

 

Penyempurnaan peta jalan (road map) untuk program percepatan industrialisasi ikan hias (ornamental fish) secara nasional kini terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Proses tersebut melibatkan lintas sektoral dan akan memetakan berbagai strategi konkret untuk melaksanakan pengembangan industri ikan hias nasional.

Dalam proses pembahasan tersebut, di dalamnya ada strategi untuk percepatan produksi, pengaturan tata niaga, penguatan daya saing dan nilai tambah, investasi, perluasan serta penguatan pasar ekspor. Hal tersebut diungkapkan detail oleh Direktur Jenderal Perikan Budi daya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto, pekan lalu di Jakarta.

Menurutnya, dari 2012 hingga 2018, produksi ikan hias secara nasional rerata mencapai 5,05 persen per tahun. Pada 2012, produksi ikan hias mencapai angka 938,4 juta ekor dan kemudian jumlahnya naik menjadi 1,19 miliar ekor pada 2018.

Bagi Slamet, capaian tersebut akan memberi pengaruh signifikan untuk target produksi sebanyak 1,8 juta ekor pada 2020. Target itu dinilai realistis melihat capaian selama 2012-2018.

“Apalagi saat ini kita telah berhasil mengembangkan secara massal berbagai varian jenis semisal clownfish, Banggai cardinal dan lainnya,” ucapnya.

baca : Sebesar Apa Potensi Ekonomi Ikan Hias di Indonesia?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo melihat satu jenis ikan koi, yang merupakan produk ikan hias unggulan Indonesia. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Selain optimisme itu, Slamet menyebutkan potensi produksi ikan hias juga dinilai besar karena permintaan pasar atau animo masyarakat sangat besar. Sehingga potensi usaha ikan hias di masyarakat berkembang dengan baik dan besar.

Saat ini, Pemerintah menyiapkan regulasi dan fasilitas akses yang dibutuhkan oleh pelaku usaha. Setelah itu, dia yakin masing-masing pelaku usaha akan bisa mengembangkan dirinya dengan baik dan cepat.

Dari hasil survei pertanian yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014, didapat fakta bahwa pendapatan rumah tangga pembudi daya ikan hias dalam setahun mencapai Rp50,48 juta atau sekitar Rp4,2 juta per bulan. Fakta itu menegaskan bahwa usaha budi daya ikan menjadi sangat potensial, karena bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Saya kira ini yang bisa memicu animo masyarakat untuk terjun menekuni budidaya ikan hias,” tuturnya.

baca  juga : Sanggupkah Indonesia Mengejar Singapura dalam Industri Ikan Hias Dunia?

 

Ramah Lingkungan

Untuk saat ini, Slamet mengatakan, Pemerintah akan fokus pada pengembangan jenis ikan hias yang bernilai ekonomi tinggi. Tercatat, ada lima komoditas dominan yang sudah dibudidayakan oleh masyarakat sejak lama, yaitu ikan Arwana (Scleropages formosus), Koi (Cyprinus carpio), Cupang (Betta), Guppy (Poecilia reticulata), dan Manfish (Pterophyllum scalare).

Agar budi daya ikan hias bisa dikembangkan dengan baik, Slamet pada kesempatan sebelumnya meminta pembudi daya bisa meningkatkan kualitas produksi dengan menerapkan cara budi daya ikan yang baik (CBIB). Yaitu dengan mengatur cara pengelolaan budi daya ikan yang bertanggung jawab, ramah lingkungan, memperhatikan aspek sosial dan ekonomi, serta kesejahteraan hewan.

Dengan CBIB, Slamet yakin sektor perikanan budi daya nasional bisa berkontribusi meningtkan produksi ikan hias secara nasional. Dukungan dari Organisasi Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) melalui code of conduct for fisgeries responsibility juga dinilai bisa meningkatkan produksi ikan hias nasional.

Disamping kebijakan dan regulasi, Pemerintah juga fokus meningkatkan inovasi perekayasaan teknologi ikan hias yang dilakukan oleh unit pelaksana teknis (UPT) dalam lingkup Direktorat Jenderal Perikanan Budi daya KKP. Seperti penerapan teknik hormonal, rekayasa lingkungan, teknologi reproduksi, nutrisi, dan kultur jaringan.

perlu dibaca : Ini 14 Jenis Baru Nemo, Ikan Hias Primadona Ekspor

 

Salah satu varian jenis ikan badut (clown fish) yang berhasil dibudi dayakan di instalasi Balai Perikanan Budidaya Air Laut (BPBL) Ambon, Maluku. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Khusus untuk jenis ikan hias yang belum dibudidayakan atau terbatas keberadaannya di alam, Pemerintah tegas menerapkan mekanisme perlindungan sesuai konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES).

“Perdagangan untuk ikan yang masuk dalam CITES sudah dilakukan pengawasan yang ketat oleh Pemerintah,” tegasnya.

Dengan semua dukungan dari regulasi hingga teknologi itu, Slamet menyebut kalau Pemerintah saat ini menyiapkan langkah konkret dengan fokus utamanya pada peningkatan produksi di hulu, dan peningkatan nilai tambah serta daya saing impor. Untuk itu peran teknologi menjadi penting, terutama untuk di hulu perikanan budi daya.

Penerapan teknologi di hulu itu penting untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Adapun, salah satu teknologi yang dikembangkan yaitu Recirculating Aquaculture System (RAS). Dengan teknologi RAS, produksi bisa digenjot hingga 100 kali lipat dari budi daya konvensional.

“Agar ini juga lebih memasyarakat, kami juga merancang mini RAS dan saat ini telah banyak diadopsi, seperti di Ambon dengan kampung Nemonyam,” katanya.

baca juga : Sudahkah Indonesia Manfaatkan Keragaman Spesies Ikan Hias di Laut dan Darat?

 

Beberapa terumbu karang masih terlihat bagus dan dipenuhi beberapa ikan-ikan khas terumbu karang, seperti Amphiprion ocellaris atau ikan badut, yang menjadi inspirasi film Finding Nemo. Foto : Hardin/MSDC

 

Tata Kelola

Di samping adopsi teknologi terkini, Pemerintah fokus menyediakan induk dan benih unggul untuk produksi ikan hias nasional, yang diharapkan terwujud dalam lima tahun mendatang.

Selain itu juga didorong pengembangan varian jenis ikan hias yang bernilai ekonomi tinggi. Contohnya, adalah pengembangan sebanyak 14 strain varian ikan hias clownfish atau Nemo (Amphiprioninae) oleh Balai Perikanan Budi daya Laut (BPBL) Ambon, Maluku.

Selain di hulu, penataan juga harus dilakukan di hilir melalui fokus perbaikan tata kelola niaga yang lebih efisien, khususnya terkait distribusi dan biaya logistik yang masih tinggi. Saat ini, KKP terus berupaya memecahkan masalah itu dengan lebih rapi dan teliti.

Kemudian, yang juga harus diperbaiki adalah penguatan kualitas/mutu, branding dan promosi produk ikan hias, utamanya ikan hias asli Indonesia. Menurut Slamet, upaya mendorong untuk dilakukan penguatan menjadi penting, karena itu bisa menaikkan posisi tawar dan daya saing ekspor Indonesia di pasar ikan hias internasional.

perlu dibaca : Sudah Tahu Permasalahan yang Hambat Perkembangan Ikan Hias di Indonesia?

 

Anakan ikan badut atau dikenal dengan ikan Nemo hasil budidaya di area budidaya ikan hias oleh Yayasan LINI, Desa Les, Tejakula, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kepala BPBL Ambon Nur Muflich Juniyanto dalam keterangan resmi KKP, pekan lalu, mengatakan bahwa BPBL yang dipimpinnya mendapat tugas untuk pemenuhan kebutuhan benih ikan laut, termasuk ikan hias di dalamnya. Untuk keperluan itu, sudah dibangun unit hatchery (pusat pembenihan) modern berskala besar.

Unit hatchery tersebut, dalam operasionalnya sudah menerapkan teknologi sistem RAS yang bisa meningkatkan jumlah produksi ikan hias laut dalam kapasitas yang besar. Adapun, unit RAS yang ada di hatchery tersebut diatur sedemikian rupa agar bisa menghasilkan kapasitas produksi hingga tiga juta ekor benih per tahun.

Untuk saat ini, Juniyanto menjelaskan bahwa pihaknya tengah melaksanakan pengembangan ikan hias laut untuk kepentingan ekspor maupun untuk program restocking (upaya penambahan stok ikan yang ada di perairan umum daratan). Salah satunya, adalah ikan Nemo yang sudah berhasil diproduksi dari varian yang murah hingga yang mahal.

Selain itu, BPBL juga tetap mengembangkan ikan jenis Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni) yang statusnya sempat masuk dalam daftar yang dirilis oleh CITES dengan status ikan endemik. Ikan tersebut menjadi salah satu primadona ikan hias di dunia dan sering menjadi buruan para pecinta ikan hias dari berbagai negara.

 

ikan capungan Banggai atau Banggai cardinalfish (Pterapogon kauderni). Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version