Mongabay.co.id

Kala Kementerian Lingkungan Putus Kerja Sama dengan WWF Indonesia

 

 

 

Surat Keputusan Menteri LHK soal Putus Kerjasama KLHK dan WWF Indonesia

Sore itu, di sebuah hotel di bilangan Senayan, WWF Indonesia, mengadakan temu media. Orang-orang berkaos hitam, berlogo panda memasuki ruangan. Hening sesaat, sampai ketika Elis Nurhayati, Direktur Komunikasi WWF Indonesia, membuka acara. Hadir Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Badan Pembina WWF Indonesia, Alexander Rusli, Ketua Badan Pengurus Yayasan WWF Indonesia dan Lukas Adhyakso, sebagai Plt CEO dan Direktur Konservasi WWF Indonesia.

“Kami sangat menyayangkan keputusan sepihak KLHK ini, apalagi tidak ada ruang komunikasi dan konsultasi langsung untuk musyawarah mencapai mufakat seperti tercantum pada perjanjian kerja sama antar kedua lembaga,” kata Kuntoro, pada Selasa sore (28/1/20), di Jakarta.

Hari itu, WWF Indonesia memberikan keterangan seputar pemutusan hubungan kerja sama WWF Indonesia oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lewat surat tertanggal 10 Januari 2020.

Kerja sama antara WWF Indonesia dan KLHK—kala masih Departemen Kehutanan–, sudah berlangsung 20 tahun lebih. Perjanjian kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q Direktur Jenderal; Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam dengan Yayasan WWF Indonesia sejak 1998. Lewat surat bernomor 188/DJ-VI/Binprog/1998 dan CR/026/III/1998 tertanggal 13 Maret 1998. Berdasarkan surat perjanjian, kerjasama seyogyanya berakhir tiga tahun lebih lagi, atau 2023.

WWF ada di Indonesia sejak 1962, dengan proyek pertama di Ujung Kulon. Pada 1996, WWF resmi jadi yayasan dan menjadi entitas legal berbadan hukum sesuai ketentuan Indonesia. Prof. Emil Salim, Pia Alisjahbana dan Harun Al Rasjid, sebagai pendorong berdirinya Yayasan WWF Indonesia.

Sejak itu, ada 130 proyek WWF Indonesia jalankan berkaitan konservasi dan pelestarian lingkungan. Kini, ada sekitar 19% atau 30 proyek di Aceh sampai Papua, terdampak keputusan ini.

Pemutusan kerja sama ini tertuang dalam Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 32/2020 tertanggal 10 Januari 2020. Dalam surat itu menyebutkan, poin-poin alasan pemutusan hubungan kerja.

 

Logo WWF. Sumber: Wikipedia

 

Pertama, pelaksanaan kerja sama bidang konservasi dan kehutanan dengan dasar perjanjian kerjasama telah diperluas ruang lingkupnya oleh Yayasan WWF Indonesia.

Kedua, kegiatan WWF Indonesia dalam bidang perubahan iklim, penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan, serta pengolahan sampah di lapangan tak memiliki dasar hukum kerja sama yang sah.

Ketiga, adanya pelanggaran prinsip kerja sama dan pelanggaran kerja lapangan serta melakukan klaim sepihak yang tak sesuai fakta di lapangan pada tingkat sangat serius oleh Yayasan WWF Indonesia.

Keempat, ada pelanggaran terhadap subtansi perjanjian kerja sama, antara lain melalui kampanye media sosial dan publikasi laporan yang tak sesuai fakta, yang dilakukan oleh Yayasan WWF Indonesia.

WWF menjawab poin-poin alasan KLHK. Dalam tanggapan resmi WWF menyatakan, poin pertama, WWF Indonesia sepakat perjanjian kerja sama 1998 sudah tak relevan pada kondisi saat ini, contoh, perubahan nomenklatur KLHK.

Secara aturan perundangan, sebut WWF, perkembangan program kerja mereka tak keluar dari lingkup perjanjian kerja sama.

Kedua, soal kegiatan yang tak punya dasar hukum sah, WWF bilang, sebagai organisasi lingkungan hidup yang memiliki anggaran dasar dan kegiatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, berhak melakukan upaya terkait perlindungan lingkungan. Termasuk, isu perubahan iklim dan sampah.

Ketiga, mengenai pelanggaran prinsip kerja sama, WWF menyatakan, tak pernah melakukan pelanggaran prinsip kerjasama dan perlanggaran kerja lapangan berdasarkan rekam jejak selama bekerja sama di tingkat tapak dengan unit pelaksana kerja KLHK.

Poin keempat, soal ada pelanggaran subtansi, WWF menerima masukan atas gaya komunikasi dan sudah mereka sampaikan melalui berbagai korespondensi. Namun, sebut WWF, mereka melaporkan berdasarkan fakta dan data akurat dari lapangan sebagai bagian dari tanggung jawab, akuntabilitas, dan transparansi kepada publik.

Kuntoro mengatakan, sebelumnya mereka berupaya berkomunikasi dengan Siti Nurbaya, Menteri LHK, tetapi tak ada respon. “Hingga titik ini, kami masih belum tahu apa kesalahan kami. Karena sejak tahun lalu kami ingin bertemu tapi tidak pernah diberi kesempatan. Tentu beliau sibuk, tapi kami pun jadi penasaran mengapa mendadak diputus kerjasamanya,” katanya.

Dalam surat menteri itu disebutkan kalau sebelum keluarnya surat keputusan Menteri LHK, WWF Indonesia sudah dikirimi surat pertama pada 28 Maret 2019, yang menyatakan KLHK akan evaluasi kinerja WWF Indonesia. Lalu, pada 4 Oktober 2019 berisi kerja sama bidang kehutanan dengan Yayasan WWF Indonesia. Surat itu juga berisi keputusan pengakhiran kerjasama KLHK dan Yayasan WWF Indonesia per 5 Oktober 2019. Semua surat itu WWF Indonesia terima pada 7 Oktober 2019.

Elis menyebut, surat KLHK Maret 2019 dan 5 Oktober 2019 baru diterima bersamaan pada 7 Oktober 2019. “Satu bundel. Surat Maret cap masih basah,” katanya. Dia merasa heran surat yang disebutkan sudah keluar Maret tetapi datang pada Oktober 2019.

WWF Indonesia, katanya, sudah berulang kali mengecek surat masuk dari KLHK pada Maret, tetapi memang tak ada. “Kita sudah cek bagian persuratan, double check, bahkan triple check, apa ada terima surat. Gak ada. Cek mailbox. Gak ada juga.”

Bambang Hendroyono, Sekjen KLHK mengatakan, perjanjian kerja sama sejak Maret 1998, sudah tak sesuai dan harus diganti. Keputusan itu berdasarkan evaluasi KLHK sejak Desember 2018. Dia bilang, evaluasi kinerja WWF Indonesia, seperti ruang lingkup kerja WWF Indonesia tidak sesuai dengan kerja di lapangan.

”Pada MOU scope of work (WWF Indonesia) hanya soal konservasi dan keanekaragaman hayati, tapi kerja WWF pada segala aspek termasuk lansekap, perubahan iklim, sampah dan lain-lain,” katanya.

Kementerian juga menemukan WWF Indonesia bekerja di beberapa lokasi tanpa izin kementerian. “Hingga jadinya ilegal dan tidak sepengetahuan KLHK. Overclaimed pekerjaan oleh WWF Indonesia, dan antara lain tidak ada mutual respect kepada pemerintah yang sah.”

KLHK pun memiliki alasan soal tanggung jawab dan kegagalan pengelolaan izin konsesi areal restorasi ekosistem PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT) yang kembali terbakar tahun ini. Ia berada di zona penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Jambi.

“Secara singkat, kami setuju (dengan alasan MOU tidak sesuai dan harus diganti). Tapi kemudian juga kami mengembangkan kegiatan yang lain sesuai situasi,” kata Lukas Adhyakso, plt. CEO WWF Indonesia.

Meski demikian, katanya, itu sebuah prinsip dasar WWF memiliki hak berpartisipasi urusan lingkungan, jadi tidak perlu diatur dalam perjanjian kerja sama untuk melakukan itu.

Berdasarkan, Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, katanya, memberikan hak dan kesempatan bagi masyarakat seluas-luasnya berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

 

Isu sampah yang jadi kerja WWF Indonesia pun, jadi salah satu alasan pemutusan kerjasama oleh KLHK. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

WWF pun tidak menerima hasil evaluasi dalam surat yang diterima 7 Oktober 2019. “Kami merasa belum jelas karena memang tidak dijelaskan yang sebenarnya. Harusnya, hasil evaluasi disampaikan menjadi sebagai sebuah laporan yang mereka share ke kita. tapi kita tidak terima.”

WWF, katanya, sedang mempertimbangkan apakah perlu langkah hukum karena juga harus mempertimbangkan implikasi terhadap organisasi WWF sendiri. “Kita ingin berdialog jika diperkenankan untuk menyampaikan keberatan itu.”

WWF Indonesia akan merespon melalui surat resmi kepada KLHK menanggapi surat keputusan ini.

Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB mengatakan, berdasarkan pengalaman dalam empat tahun terakhir bersama dengan jaringan lembaga swadaya masyarakat di Riau seperti Jikalahari, WWF, Walhi, Mitra Insani, dan lain-lain, berjalan baik. Mereka bekerja bersama dengan UPT Taman Nasional Tesso Nillo dan BKSDA.

“Kalau itu diputus (hubungan kerjasama KLHK dan WWF) jelas rugi. Semua karena potensi yang ada berkurang. WWF di Riau juga jadi motornya, Eye on the Forest yang data-datanya untuk kajian KPK dan menggugat perda 10/2018 tentang tata ruang Riau yang bermasalah itu.”

 

Bagaimana nasib proyek strategis?

Salah satu proyek strategis yang berdampak dari keputusan ini adalah pelestarian satwa langka, seperti badak Sumatera di Kalimantan Timur, yang bernama Pahu. Badak ini ditemukan pada 2018 di hutan Kelian, Kutai Barat. Selama ini, biaya operasional dan perawatan beserta tenaga ahli dalam pelestarian badak di wilayah itu didukung penuh WWF Indonesia.

“Dampak teknis dari pemutusan kerja sama ini adalah proyek-proyek terhenti, termasuk badak Sumatera (Pahu) di Kalimantan Timur. Hal semacan ini dengan sedih, terpaksa kita tinggalkan,” kata Kuntoro.

Berbeda dengan badak Jawa, di Taman Nasional Ujung Kulon, yang bisa hidup sendiri di habitatnya, Pahu ini terancam karena berada di tempat perlindungan. Di Kalimantan Timur, WWF bekerja sama dengan masyarakat melindungi dan menghindari risiko dari luar dengan membina masyarakat.

“Saat ini, ada satu individu (Pahu) dalam sanctuary yang kami support. Bagaimana kalau tiba-tiba kami pergi?” kata Lukas. “Kami akan terus dukung, expertise kami di situ.”

Lukas mengatakan, masih mengupayakan agar kegiatan berlanjut melalui dukungan tidak lanjut dari WWF. Di wilayah itu, mereka tidak bekerja sendiri, namun bersama beberapa aliansi yang memiliki perhatian terhadap kelestarian badak.

Proyek strategis lain, restorasi bekas lokasi pembalakan yang menjadi Taman Nasional Sebangau, yang kini jadi habitat 600 orangutan Kalimantan. Wilayah ini, dulu bekas HPH, WWF membantu sekat kanal.

“Ada 1,500 canal block, kalau itu tidak dirawat, sebentar saja rusak, mungkin kayunya dicuri. Kalau muka air turun, risiko kebakaran besar.”

 

Foto Utama: Pahu, badak sumatera di Kalimantn Tmur, nasib Pahu dipertaruhkan pasca pemutusan kerjasama WWF Indonesia oleh KLHK. Foto: KLHK/Sumatran Rhino Rescue Team Kalimantan/Sugeng Hendratmo

 

Exit mobile version