Mongabay.co.id

Melihat Perempuan Tejakula Menjodohkan Ikan Hias

Seorang nelayan tradisional sedang menangkap ikan lion fish di perairan Desa Les, Buleleng, Bali. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Mentari pagi sudah menjauh dari cakrawala di pesisir Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Belasan perahu terparkir di pantai dengan alat-alat penjaring ikan diikat seperti tiang bendera.

Belasan tahun lalu, nelayan di beberapa desa pesisir Tejakula, seperti Les dan Penuktukan menangkap ikan hias dengan cara meracun menggunakan potasium sianida. Kini sudah berganti dengan jaring atau saringan

Hingga sekitar 2008 lalu, pesisir timur laut Bali ini masih menjadi salah satu lokasi pencarian ikan hias dengan cara tidak ramah lingkungan. Tingginya permintaan akan ikan hias mendorong nelayan ingin mendapatkan ikan cepat dan banyak dengan potasium, atau bahkan merusak karang.

Pasca tahun 2008, ikan hias pun malah makin menipis. Dengan sejumlah pendampingan LSM, nelayan setempat pun mulai menyadari kalau penangkapan dengan racun dan merusak karang akan menggelapkan masa depan mereka dan anak cucu nanti.

Pengetahuan soal pentingnya membudidayakan ikan hias pun muncul, salah satunya setelah LINI Aquaculture and Training Centre (LATC) hadir pada 2014 di Desa Les. Ini adalah sebuah pusat pelatihan akuakultur oleh Yayasan Alam Indonesia Lestari (LINI).

Made Arminiasih (27) ini sudah 5 tahun menjodohkan ikan hias. Sekitar 10 perempuan warga Tejakula bekerja di LINI, sebagian besarnya di area aquaculture. Mereka adalah warga yang tidak memiliki latar belakang pendidikan khusus. Setelah pelatihan 3 bulan di LATC, mereka mulai terampil melakukan observasi, perawatan, dan pengembangbiakan ikan hias.

Arminiasih bertanggung jawab membudidayakan pasangan ikan Banggai (Banggai cardinalfish) dalam belasan tangki kaca di LATC. Berbagi area dengan rekannya yang lain. Ia bercerita tantangan membudidayakan ikan endemik Sulawesi Tengah itu.

“Susah memasangkannya karena tidak tahu mana jantan dan betina. Saya kumpulkan 10 ekor dalam satu tangki, lihat sebulan, mana yang terlihat berduaan baru dipisahkan,” urainya ditemui pada Minggu (16/01/2020). Jika memang keduanya pasangan jantan dan betina, maka sebulan kemudian bertelur, kalau tidak maka diganti pasangannya.

baca : Banggai Cardinal ditengah Meningkatnya Kepopuleran dan Ancaman Populasinya

 

Anakan Banggai berlindung di bulu babi dalam tangkinya di LINI Aquaculture and Training Centre (LATC) di Desa Les, Tejakula, Buleleng, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Saat pemberian makanan adalah tantangan kesabaran bagi Mini, panggilan perempuan muda dengan satu anak ini. Satu demi satu, dia mencemplungkan daging cincang abalon dan artemis yang telah disiapkannya ke permukaan tangki. “Harus satu dulu, terus lihat apakah dimakan apa tidak, baru dilanjutkan lagi. Banggai tidak mau makan kalau dagingnya sudah di bawah tangki,” jelasnya.

Di sebagian tangki, hanya satu ekor Banggai yang naik ke permukaan dan menelan cincangan abalon. Ini si betina. Karena si jantan sedang puasa sekitar 20-an hari untuk mengerami telur di mulutnya. Pembagian tanggung jawab yang menarik dari kehidupan Banggai.

Ketika ditanya pengalamannya melihat proses transfer telur dari betina ke mulut si jantan, Mini mengaku selama lima tahun ini tak pernah melihat langsung. “Kemungkinan malam hari pas sepi ya? Katanya seperti disemprot,” ujarnya penasaran.

Dikutip hasil penelitian IPB, ikan Banggai bertelur (spawning) pada malam hari (Marini 1996) dan juga sepanjang hari terutama pada pukul 10:00-15:00, diawali dengan pengenalan dan percumbuan sepasang ikan. Telur keluar seluruhnya pada saat sepasang ikan Banggai Cardinal sangat dekat jaraknya, sekitar 1 – 2 cm (Vagelli 1999).

Pada saat spawning, biasanya ikan jantan berada di atas betina dan pada saat tiga perempat telur sudah keluar dari betina, si jantan langsung menangkap telur dengan cara menghirup untuk diletakkan di dalam mulutnya. Sperma ikan jantan telah keluar sebelum telur si betina dihirup oleh ikan jantan dimana telur tersebut keluar pada saat percumbuan ikan jantan dan betina telah berlangsung beberapa jam. Transfer telur dari betina ke jantan berlangsung sangat cepat yaitu sekitar satu sampai dua detik. Biasanya tidak seluruh telur dapat di hirup oleh mulut ikan jantan dan jatuh ke dasar perairan.

baca juga : Banggai Cardinalfish, Ikan Asli Indonesia

 

Dua perempuan warga desa Les, Tejakula, Buleleng, Bali ini makin mahir menjodohkan dan merawat ikan hias di LATC. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Made Sutarini, perempuan 25 tahun, yang bekerja di LATC sekitar 3 tahun juga takjub dengan kehidupan ikan hias. Ia bertugas di area clownfish atau ikan badut yang terkenal karena film animasi Finding Nemo.

Ikan badut, jelas Sutarini memiliki pembagian tanggung jawab terkait proses reproduksi yang patut dicontoh. Misalnya di sebuah tangki terlihat si jantan yang berukuran lebih kecil hanya bergerak di sekitar telur yang tertempel di pipa paralon filter air. Ia membersihkan telur-telur dari benda lain. Sementara yang betina menjelajah di tangki usai reproduksi. Pasangan clownfish ini sudah disediakan sebuah gerabah dari tanah liat untuk lokasi menempelkan telur-telurnya. Namun ada yang memilih area lain yang menurutnya lebih nyaman.

Usai pemberian makan, mereka melanjutkan ke pembersihan tangki dari sisa makanan agar tak tercemar amonia atau zat lain dari endapannya. Ada juga yang mengukur salinitas dengan sebuah alat seperti satu sisi binokular. Sampel air diambil lalu untuk melihat nilainya harus meneropongnya di lensa. “Kalau terlalu tinggi salinitasnya, harus dicampur air tawar,” kata Mini yang sedang mencatat hasil di semua kolam.

Walau sudah mahir membudidayakan ikan hias, Mini dan sejumlah temannya mengaku tak tertarik memulai usaha breeding secara mandiri atau berkelompok. Alasannya banyak peralatan, perlu modal besar, dan pekerjaannya cukup rumit dan teliti. Mini merasa belum mampu menanganinya. Ia mengaku sudah cukup senang dengan kondisi saat ini karena ia kerja 4 jam per hari, masih bisa mengurus rumah dan anaknya.
Pada shift pagi itu sedang bertugas ibu lain yakni Luh Mertawa dan Made Resmini. Sementara di siang hari ada Putu Pratiwi yang terlatih jadi pemandu di area pendidikan dan pelatihan ini.

Dan ada dua pekerja lelaki yang sudah pengalaman mengelola LATC yakni Jabo dan Made Partiana.

baca juga :  Sebesar Apa Potensi Ekonomi Ikan Hias di Indonesia?

 

llustrasi. Sepasang clownfish atau ikan badut jantan dan betina di perairan Bali. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Budi daya Ikan Dori

Ada 8 jenis ikan ornamental atau ikan hias di LATC. Paling banyak jenis clownfish atau kini dikenal dengan ikan Nemo yaitu 4 jenis. Lainnya Udang Brown Kelly dan Blue Tang atau ikan Dori. Baru ikan Banggai dan Nemo yang berhasil dibudidayakan.

Dori, Blue Tang dari Biak. Ikan ini makin populer setelah film animasinya Finding Dori (sekuel Finding Nemo) juga populer. Konon baru sebuah universitas di Florida, Amerika Serikat yang berhasil membudidayakan Dori. Pihak yang berhasil membudidayakan ikan jenis langka tidak akan membagi tipsnya ke publik. Ini terkait dengan bisnis.

LATC memulai budidaya Dori dengan bibit masih warna putih ukuran sekitar 1 cm. Sekarang sudah ada yang seukuran telapak tangan dewasa. Harus menunggu sekitar 20 cm untuk siap reproduksi. Warna birunya mengkilat, para Dori bergerak sangat lincah di kolam beton besar.

Nyka, staf LINI divisi pendidikan mengatakan pihaknya kini mulai ujicoba pemberian jenis pakan baru yakni spirulina dan kombinasinya. Para anakan clownfish dengan ukuran dan umur yang sama akan disebar di beberapa tangki kecil untuk dipantau rutin perkembangannya.

Dalam website-nya, LINI menyebut tahun ini akan ada perbaikan pada fasilitas akuakultur. Salah satunya adalah meningkatkan asupan nutrisi ikan, untuk mendorong kesehatan optimal spesies laut untuk program pemuliaan. Ikan hias dihargai dan dikagumi berdasarkan warna dan polanya dan peningkatan kesehatan membantu membuat ikan terlihat lebih cantik. LATC bertujuan untuk memiliki program pemuliaan dengan induk yang menghasilkan jumlah optimal telur yang layak dan keturunan yang sehat.

baca juga : Ini 14 Jenis Baru Nemo, Ikan Hias Primadona Ekspor

 

Anakan ikan badut atau dikenal dengan ikan Nemo hasil budidaya di area budidaya ikan hias oleh Yayasan LINI, Desa Les, Tejakula, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, ikan badut yang dibudidayakan memiliki warna oranye pucat pucat, yang membuat mereka kurang menarik daripada rekan-rekan mereka yang ditangkap secara liar. Selain itu, banyak induk memiliki frekuensi rendah dalam jumlah telur, atau telur menjadi tidak dapat digunakan dan tidak menetas. Masalah-masalah ini mungkin disebabkan oleh kurangnya nutrisi penting, seperti fosfat dan vitamin dalam pakan.

Misalnya diujicoba pemberian udang Artemia yang diperkaya (diberi makanan dan suplemen tambahan) pada tingkat pertumbuhan ikan badut muda. Dalam industri akuakultur, soal pakan dapat menelan biaya hingga 60% dari anggaran operasional. Oleh karena itu, efektivitas pakan dalam memproduksi organisme yang sehat adalah pusat keberhasilan, dalam hal keuangan dan kualitas produk.

***

 

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Seorang nelayan tradisional sedang menangkap ikan lion fish di perairan Desa Les, Buleleng, Bali. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version