Mongabay.co.id

Uniknya Mebel Cantik dari Kayu ‘Sampah’ Koja Doi  

Wisatawan menikmati sunset di Teluk Panda, kampung Lebantour, desa Koja Doi, kecamatan Alok Timur, kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kapal motor yang kami tumpangi akhirnya bersandar di pelabuhan La Malino pulau mungil Koja Doi. Baru beberapa langkah dari pelabuhan mata tertuju pada tumpukan akar-kayu berukuran besar persis di sisi utara dermaga.

Akar dan batang kayu itu dibiarkan berada di pesisir. Akan diangkat bila hendak dibuat mebel.

“Akar-akar kayu ini kami pilih di pesisir pantai di pulau Besar. Awalnya saya menemukan di pantai Wailago lalu saya bawa ke sini,” kata Nurdin (43) pembuat perahu asal pulau Koja Doi kabupaten Sikka, NTT saat ditemui penghujung Desember 2019.

Awalnya Nurdin mengaku bingung apa yang bisa dibuat dengan kayu-kayu tersebut. “Saya sudah terbiasa membuat perahu dan kebetulan berjiwa seni. Akhirnya saya beranikan diri untuk membuat mebel dan ternyata hasilnya bagus,” tuturnya.

Pulau Koja Doi merupakan sebuah pulau mungil yang berada di gugusan pulau dalam kawasan Taman Wisata Alam Laut Teluk Maumere. Sekitar 700 meter ke arah utara terdapat pulau Besar yang pantainya dipenuhi pepohonan mangrove beraneka jenis.

baca : Menikmati Koja Doi, Desa Peraih Sustainable Tourism. Apa Keunikannya?

 

Akar dan batang-batang kayu yang berada di dermaga La Malino pulau Koja Doi kabupaten Sikka, NTT, yang akan dibuat mebel. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

 Nurdin mengakui, sekitar tahun 2014 dirinya bersama dengan anggota kelompok menembak sedang berburu babi hutan di pulau Besar. Saat berada di pesisir pantai Wailago dia melihat banyak akat kayu berserakan.

“Saya melihat banyak kayu terdampar di pesisir pantai. Saya kan biasa membuat perahu jadi mengetahui jenis kayu yang bagus, kuat dan tahan lama,” tuturnya.

Nurdin meyakini  ketika terjadi gempa hebat dan tsunami bulan Desember tahun 1992 terjadi abrasi. Akar-akar kayu berusia ratusan tahun yang sebelumnya tertanam di dalam tanah timbul ke permukaan.

Dirinya kaget saat menemukannya sebab kayu-kayu ini merupakan kayu langka dan jarang ditemui. Bagi para nelayan kayu ini tahan lama kalau dibuat kapal dikarenakan sudah berumur hingga ratusan tahun.

“Kayu ini tidak akan lapuk dan dimakan rayap. Kayu ini kalau bahasa kami orang Bajo disebut kayu Kanawa. Saya biasa menyebutnya Raja Pantai,” tuturnya.

Nurdin pun mengajak kedua temannya Muhamad Jais (34) dan Samsudin mengambil kayu-kayu itu dan dibawa perahu motor, kemudian diletakkan di samping dermaga La Malino pulau Koja Doi.

“Daripada nanti terbawa arus ke tengah laut dan menganggu pelayaran kapal motor serta tersangkut di pukat nelayan, lebih baik saya manfaatkan. Selain itu tidak menjadi sampah di pesisir pantai,” kata Nurdin.

Jais pun mengenang saat mereka membawa kayu-kayu tersebut. Masyarakat menganggap mereka orang gila karena kayu yang terbuang malah dipilih dan dibawa ke rumah.

“Ini hatinya kayu dan digerinda saja sulit. Untuk memotongnya saja kami menggunakan mesin pemotong kayu dan gerindra mesin. Amplas saja sulit sekali,satu dua kali harus diganti,” tutur Jais.

baca juga : Inilah Para Pahlawan Sampah dari Koja Doi

 

Akar dan batang kayu yang telah dipotong, dibentuk dan disatukan hingga menjadi meja. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Jais mengaku senang bisa membuat mebel dari kayu-kayu itu, seperti meja belajar dan meja hias dan meja ruang tamu. Bentuk meja disesuaikan dengan bentuk kayunya karena sulit memodifikasi dan lebih bagus mempertahankan bentuk aslinya.

“Kami tidak menebang pohon yang tumbuh tapi ini limbah kayu yang terdampar di pesisir pantai,” tuturnya. Sehingga tidak merusak hutan mangrove Pulau Besar.

Nurdin mengatakan mebel dibuat dengan mempertahankan bentuk keasliannya. Kayu itu hanya divernis agar mengkilap dan teksturnya yang kecoklatan terlihat lebih jelas memberi kesan antik dan alami serta tidak membuat kayu menjadi cepat rusak terkena bahan kimia.

“Satu meja dikerjakan selama dua minggu. Pak Nurdin yang membentuknya sementara saya dan Samsudin hanya finishing saja,” sebut Jais.

 

Mulai Dilirik Pembeli

Keunikan dan keindahan mebel baik meja dan kursi buatan Nurdin dan kawan-kawan ini pun mulai mendapat perhatian pembeli.

Tercatat seorang ibu yang bekerja di sebuah dinas di kota Maumere kabupaten Sikka sudah membeli sebuah meja dengan harga Rp.2,5 juta. Bupati Sikka dan beberapa pejabat pun saat festival Koja Doi di bulan Desember sudah mulai memesan.

Meski tergantung penawaran pembeli, Nurdin menjual satu buah meja dan sebuah kursi seharga Rp.4 juta, dengan alasan seni dan kayunya yang kuat.

perlu dibaca : Koja doi, Pesona Jembatan Batu di Pulau Tanpa Kendaraan Bermotor

 

Batang dan akar kayu yang sudah dibentuk menjadi mebel dan divernis dikeringkan hingga warnanya mengkilat. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Banyak pembeli mengaku tertarik membeli namun harga jualnya tergolong mahal sehingga urung membeli. Namun Nurdin beralasan, harga yang mahal sebanding dengan kualitas kayunya dan proses pembuatannya yang sulit.

“Mebel dari kayu ini bisa bertahan puluhan bahkan ratusan tahun. Warnanya pun tetap kecokelatan dan terlihat antik. Yang paling penting, mebel ini sangat kuat dan tidak lapuk dimakan rayap,” sebut Nurdin.

Nurdin mengakui, sudah beberapa orang yang tertarik membelinya tapi pihaknya masih mengerjakannya. Dia katakan, butuh waktu lama untuk menghasilkan sebuah meja karena kayunya sangat keras dan sulit diamplas.

“Senang juga akhirnya hasil karya kami yang selama ini dicibir masyarakat sudah terbukti ada yang membelinya,” ucap Nurdin bangga.

Yance Moa pembina Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Monianse desa Koja Doi mengaku tertarik dengan mebel ini dan berkeinginan akan memasarkannya melalui BUMDes.

Yance pun sepakat harga jualnya lebih mahal karena mebel yang dihasilkan selain tahan lama, juga lebih artistik dan bernilai seni. Membentuknya itu sangat sulit kata dia sehingga tidak semua orang bisa membentuknya menjadi karya seni.

“Kalau mebel dari kayu ini di Jawa atau Bali pasti harganya sangat mahal. Kalau di NTT jarang yang membeli karena harganya mahal dan hanya orang berjiwa seni saja yang mau membelinya,” tuturnya.

***

 

Keterangan foto utama : Wisatawan menikmati sunset di Teluk Panda, kampung Lebantour, desa Koja Doi, kecamatan Alok Timur, kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version