Mongabay.co.id

Lintas Agama dan Masyarakat Adat, Berkolaborasi Jaga Hutan Indonesia

Hutan di Aceh, Indonesia, terbabat jadi sawit. Foto: Janaidi hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Tokoh lintas organisasi agama dan organisasi masyarakat adat berkumpul di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Kamis (30/1/20). Mereka menyerukan untuk melindungi hutan di Indonesia dan tergabung dalam aliansi Interfaith Rainforest Initiative (IRI).

Mereka ini antara lain dari perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Juga Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN), Persatuan Umat Budha Indonesia (Permabudhi), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) dan lain-lain.

“Banyak usaha dilakukan dalam upaya melestarikan hutan tropis di dunia. Namun upaya-upaya ini tidaklah cukup dan ditemukan tantangan dalam pengelolaan alam adalah berakar dari moral manusia. Agama jadi penting untuk terlibat dalam mengelola moral manusia itu,” kata Din Syamsudin, Ketua Kehormatan Presidium Inter Regilious Council Indonesia (IRCI).

Prakarsa ini, katanya, inisiatif dari beberpa negara yang memiliki hutan tropis, seperti Indonesia, Brazil, Peru, Kongo dan Kolumbia. Prakarsa yang pertama kali diluncurkan di Nobel Peace Centre di Oslo Norwegia Juni 2017 ini didukung berbagai negara lain, termasuk PBB.

“Kami sudah bertemu sejak beberapa tahun terakhir ini bahkan ada juga pertemuan puncak di New York. Itupun mulai dengan pertemuan masing-masing kelompok agama yang melahirkan deklarasi lintas agama untuk lingkungan hidup dan perubahan iklim,” katanya.

Baru pada 2017, di Norwegia berlangsung prakarsa IRI yang mengajak tokoh berbagai agama menggerakkan perlindungan hutan. “Kebetulan pada waktu itu saya hadir dan diminta berbicara mewakili Islam,” katanya.

Sebelum deklarasi IRI, kata Din, sebenarnya tokoh lintas agama sudah menunjukkan komitmen untuk peduli permasalahan lingkungan hidup. Pada 2014, IRCI bersama organisasi keagamaan melahirkan gerakan Siaga Bumi.

“Dari Siaga Bumi inilah kemudian kami mengajak berbagai elemen lain seperti AMAN dan organisasi lain. Kebetulan juga di dunia sudah ada gerakan IRI. Kita bertemu lagi ingin melakukan langkah konkrit menjaga hutan tropis Indonesia.”

Dalam aliansi IRI ini, mereka akan melakukan antara lain, advokasi terhadap masyarakat yang tinggal di dalam maupun sekitar hutan, edukasi dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang berkaitan dengan upaya menjaga hutan.

“Pendekatan keagamaan ini misal dalam khotbah mengangkat isu soal pentingnya menjaga hutan. MUI juga sudah mengeluarkan panduan khotbah Jumat untuk perlindungan hutan.”

Din bilang, gerakan ini akan berkolaborasi dengan berbagai pihak lain, seperti organisasi masyarakat, perusahaan, dan pemerintah.

Untuk menjaga hutan, katanya, perlu upaya kolaborasi bersama tanpa memandang latar belakang. “Karena tidak ada yang bisa melakukan sendiri. Bukan semua kita musuhi, tapi diajak. Termasuk juga pemerintah dan swasta yang selama ini sering dianggap sebagai perusak hutan. Kepentingan kita adalah kepentingan moral agar hutan terpelihara,” katanya.

Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI mengatakan, menjaga hutan tropis penting karena berperan besar mengantisipasi dampak krisis iklim.

“Efek perubahan iklim saat ini, kalau lihat data BNPB itu bencana alam naik terus dari tahun ke tahun. Itu dampak perubahan iklim. Kalau ini tidak segera kita sikapi bersama, akan terjadi krisis pangan dan air. Kalau ini tak ditangani secara cepat, akan terjadi national chaos. Itu yang tidak kita inginkan,” katanya.

 

Tokoh lintas organisasi agama dan organisasi masyarakat adat menyerukan untuk melindungi hutan di Indonesia. Mereka tergabung dalam aliansi Interfaith Rainforest Initiative (IRI). Foto: dokumen AMAN

 

Kondisi ini, bisa menjadi masalah kemanusiaan serius. Sebelum itu terjadi, katanya, marilah bersama-sama mengatasi masalah kemanusiaan bersama.

Hayu bilang, hutan tropis merupakan sumber penghidupan manusia. Ia berperan sebagai penyedia obat-obatan, pangan, sarana ibadah dan lain-lain. Hutan juga berperan besar dalam mengentaskan masalah kemiskinan. Untuk itu, katanya, pembangunan haruslah berkelanjutan, dengan tak merusak hutan.

“Kita bersama-sama antara pemerintah, pemuka agama, LSM, para ahli. Kita tidak akan bekerja sendiri.”

Setelah deklarasi ini, katanya, akan terbentuk dewan penasehat dan badan khusus untuk menjalankan kegiatan-kegiatan menjaga hutan Indonesia. Badan ini, katanya, akan diisi perwakilan dari berbagai agama.

“Hal yang dilakukan edukasi, advokasi, juga diskusi dengan para pebisnis. Kemudian bagaimana meningkatkan pemahaman keagamaan terkait hutan. Gak semua ulama, pemuka agama bisa mengkaitkan hutan dengan ayat-ayat.”

Sejauh ini, katanya, kesadaran para pemuka agama dengan isu lingkungan mulai muncul. Ada eco mesjid, eco gereja, eco vihara dan lain-lain.

“Rumah ibadah sebagai pusatnya. Sebagai wadah untuk menggerakkan ini. Melalui pergerakan rumah ibadah, kita melakukan perubahan diri kita sendiri.”

Jimmy M Immanuel Sormin, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengatakan, sejak 2009, mereka fokus pada isu lingkungan hidup. Ada mandat bagi gereja-gereja di seluruh Indonesia memberikan perhatian lebih bagi persoalan lingkungan yang sudah makin berat, salah satu terkait hutan.

Hal ini, katanya, terimplementasi dalam percakapan teologis di gereja-gereja. Dalam khotbah, pendidikan warga gereja memasukkan materi kerusakan lingkungan. Sekaligus mengajak jemaat berperan aktif menjaga hutan.

Pada 2012, PGI meluncurkan program Gereja Sahabat Alam yang terus dikembangkan dengan berbagai kegiatan. Jimmy mengatakan, dalam menjalankan kegiatan, juga berkolaborasi dengan pemuka agama lain, masyarakat adat, termasuk pelaku bisnis.

PGI juga, membuat buku panduan khotbah peduli gambut. Dalam waktu dekat akan keluarkan buku panduan khotbah terkait isu perubahan iklim. Buku panduan ini, katanya, disebarkan kepada para pendeta maupun pelayan gereja.

Untuk menyelamatkan hutan tropis Indonesia, kata Jimmy, hal pertama, mengubah cara pandang pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan. Dia nilai, pemerintah banyak mengeluarkan izin kepada korporasi hingga mempercepat kerusakan hutan.

“Kita oke untuk investasi. Tetapi harus utamakan investasi yang berkelanjutan. Jangan mudah mengeluarkan izin-izin yang terkadang itu di bawah meja,” katanya.

Pemerintah, juga seharusnya berpihak kepada mereka yang selama ini terpinggirkan dan termarginalkan seperti masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup di dalam maupun sekitar hutan.

“Mereka sudah ada di situ sejak sebelum Indonesia berdiri. Karena kekuatan korporasi, mereka terdesak. Tercerabut dari akar. Kebijakan yang dilahirkan pemerintah harus mempunyai perspektif berpihak bagi mereka yang jadi tuan atas tanah mereka.”

Jimmy bilang, semua elemen tak terkecuali pelaku bisnis juga harus dirangkul agar mengerti kapan harus investasi dan kapan harus memulihkan lingkungan.

“Jadi, tak hanya dari pemerintah, LSM, pemuka adat dan masyarakat adat. Elemen-elemen lain termasuk korporasi juga harus dirangkul, berkolaborasi untuk menyelamatkan hutan tersisa. Dengana deklarasi ini, kita sudah membentuk jaringan,” katanya.

Nyoman Udayana Sangging, Ketua Bidang Ideologi dan Kesatuan Bangsa Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) mengatakan, kehidupan umat Hindu sangat erat terkait dengan hutan. Dalam menjalankan ritual, umat Hindu itu tak bisa lepas dari air, pohon dan bunga.

“Jika hutan rusak, kita tak bisa sembahyang. Karena itu, harus dijaga. Dalam membangun rumah maupun pura juga harus memperhatikan aspek lingkungan. Tak bisa sembarangan. Menebang pohon itu sangat pantang sekali dalam ajaran kami,” katanya.

Dia bilang setelah deklarasi ini, mereka akan terus sosialisasi kepada umat Hindu di berbagai wilayah agar peduli dan mau menjaga hutan.

 

Keterangan foto utama: Hutan Leuser rusak jadi berbagai kepentingan, seperti berubah ke kebun sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Exit mobile version