Mongabay.co.id

Standar Ganda, Aktivis Desak Korsel dan Jepang Setop Pendanaan PLTU Batubara ke Indonesia

Cerobong PLTU Cilacap yang mengeluarkan asap pembakaran batubara lepas ke udara bebas. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Baru-baru ini Korea Development Institute (KDI) mengeluarkan hasil studi kelayakan awal atas proyek PLTU Jawa 9-10 di Suralaya, Banten, Indonesia.  Studi ini menunjukkan proyek emisi kotor di luar negeri itu minus. Studi ini membuat para direktur Kepco, perusahaan listrik nasional Korea Selatan, menunda pembahasan pendanaan Jawa 9-10 dalam agenda rapat dewan direktur.

Sebelumnya, parlemen Korea Selatan juga membahas kontroversi proyek ini dalam beberapa rapat dengar pendapat dengan perusahaan keuangan publik yang mensponsori pendanaan Jawa 9-10 dan kementerian terkait.

Lembaga publik Korea dengan nilai investasi lebih US$4,5 juta, wajib studi kelayakan awal. Hasil studi ini membuktikan, proyek PLTU tak layak didanai karena berpotensi rugi dari sisi keuangan dan bisnis.

“Itu belum termasuk biaya eksternal seperti lingkungan dan kemanusiaan akibat paparan emisi. Membiayai proyek batubara hanya akan meningkatkan risiko dan ancaman kesehatan bagi masyarakat sekitar,” kata Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, belum lama ini.

Kepco, seharusnya tak hanya menunda pembahasan pendanaan, katanya, namun membatalkan permanen keterlibatan mereka dari proyek kotor ini. “Ini juga harus diikuti KDB, Kexi,dan K-Sure untuk tak melibatkan warga Korea Selatan meracuni warga Indonesia,” katanya.

Pemerintah Indonesia, katanya, melalui Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim pendanaan proyek Jawa 9-10 hampir closing awal Januari 2020.

Menurut Yuyun, Pemerintah Indonesia terlalu yakin proyek ini akan didanai di tengah kontroversi dalam negeri Korsel.

Pada 5 Oktober 2017, Presiden Joko Widodo meresmikan pembangunan proyek PLTU Jawa 9&10. Kedua proyek masuk program 35.000 Megawatt yang digadang-gadang Jokowi sejak Mei 2015 dan disebut pakai teknologi ultra super critical (USC) yang diklaim “ramah lingkungan.”

“Presiden Jokowi harus sadar, proyek emisi tinggi seperti PLTU kini tidak lagi diminati lembaga pendana karena dampak pada lingkungan dan manusia. Jawa 9&10 harus dibatalkan untuk menyelamatkan masyarakat. Saat ini, paparan polusi di Banten dan Jakarta, sangat berbahaya,” kata Didit Haryo Wicaksono, Juru Kampanye Energi, Greenpeace Indonesia.

Kalau proyek itu jalan, katanya, pemerintah memang berniat membunuh rakyat Banten dan sekitar pelan-pelan dengan meracuni udara di Banten dan Jakarta.

 

Warga banyak derita ISPA

Warga protes ekspansi pembangunan PLTU batubara ini karena bakal makin memperburuk kualitas udara dan mempengaruhi kesehatan mereka.

Data Dinas Kesehatan Kota Cilegon 2019 yang diperoleh Trend Asia mengungkapkan, penyakit paling banyak diderita warga Cilegon adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), yakni, sebanyak 39.455 kasus mayoritas diderita balita. Naik dua kali lebih dari data 2017, sebesar 15.039 balita.

Berdasarkan pemodelan Greenpeace, kalau rencana ekspansi ini tetap dibangun dan beroperasi, diprediksi mengakibatkan 4.700 kematian dini selama 30 tahun masa operasi PLTU. Angka ini, katanya, bisa ditekan bila pemerintah Moon Jae-In, menghentikan lembaga keuangan mereka berinvestasi di proyek energi kalau standar emisi tak sama dengan di dalam negeri.

“Dengan mengakhiri standar ganda ini, Korea Selatan bisa menyelamatkan ribuan nyawa dari investasinya di luar negeri, jika udara yang tercemar PLTU batubara tidak baik untuk rakyat Korea, maka hal sama berlaku untuk rakyat Indonesia,” kata Didit.

Pada Agustus 2019, tiga warga Banten bersama warga Korsel mengajukan gugatan hukum untuk menghentikan pendanaan PLTU atau preliminary injunction terhadap lembaga keuangan publik Korea Selatan ke Pengadilan Tinggi Tingkat I Korsel.

Seorang warga Banten juga mengirim petisi kepada Presiden Korsel Moon Jae-In dan Pimpinan Dewan Nasional Iklim dan Udara Bersih Korsel, Ban Ki-Moon.

Tuntutannya, lembaga keuangan publik terkait dan Pemerintah Korsel segera berhenti mendukung pendanaan pembangunan PLTU Jawa 9&10 di Suralaya, Cilegon, Banten.

 

Polusi udara PLTU batubara. Foto: Kemal Jufri/ Greenpeace

 

Standar ganda
Jepang dan Korea Selatan, termasuk dua negara yang masih membiayai PLTU batubara di Indonesia. Di negara mereka, bikin standar ketat mencegah polusi udara karena pembakaran batubara. Sayangnya, mereka abai ketika negara lain, termasuk Indonesia. Pembiayaan mereka diprediksi menyebabkan ribuan kematian dini.

Pada 25 November 2019, saat Presiden Joko Widodo bertemu dengan delegasi ASEAN-Republic of Korea CEO Summit di Busan, Korsel, Jokowi membahas soal perlu terobosan energi terbarukan.

“ASEAN dan Korea harus menjadi negara terdepan dalam pengembangan energi terbarukan. Di Indonesia, sejak tahun lalu pemerintah sudah mencanangkan kewajiban mencampur biodiesel dari sawit dengan solar 20% atau B20,” kata Jokowi di Korsel.

Pada 2020, katanya, kala itu, pemerintah Indonesia akan mewajibkan peningkatan jadi B30 dan mengembangkan energi listrik berbasis air.

Jokowi menyebut, potensi PLTA 11 gigawatt di Kalimantan Utara dan 20 gigawatt di Papua.

“Dengan listrik tenaga air, pengembangan industri yang kami lakukan akan memiliki emisi yang rendah.”

Pada hari sama, Greenpeace Korsel memasang banner di depan gedung Bexco, tempat KTT khusus Korea-ASEAN. Pesannya, Korsel menghentikan pendanaan proyek PLTU batubara di luar negeri, termasuk Indonesia.

Kajian Greenpeace Asia Timur rilis saat hampir bersamaan menemukan, pendanaan Korsel untuk pembangkit batubara di luar negeri perkiaan menyebabkan 47.000-151.000 total kematian dini selama 30 tahun di Vietnam, Indonesia dan Bangladesh.

Vietnam diprediksi jadi negara paling terkena dampak dengan 38% beban kematian, diikuti Indonesia (29%) dan Bangladesh (20%).

“Saat dampak perubahan iklim global makin serius dari pembakaran batubara berlebih, Korsel- melalui lembaga keuangan publik (PFA-red) – malah membiayai pembangkit batubara di luar negeri yang dapat melepaskan polusi udara hingga 33 kali lebih buruk daripada yang dibangun di Korsel,” kata Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Bondan mengatakan, pembakaran batubara melepaskan partikel polutan yang menembus ke sel darah manusia, merusak setiap organ tubuh, menyebabkan, mulai dari demensia hingga membahayakan anak-anak dalam kandungan. Batubara juga kontributor terburuk tunggal krisis iklim global.

Negara-negara yang jadi tuan rumah pembangkit batubara yang didanai Korsel, seperti di Asia Tenggara, rentan dampak polusi udara dan krisis iklim.

Salah satu pembiayaan batubara Korsel di Indonesia adalah PLTU Jawa 9&10 dengan kapasitas 2×1.000 MW, berlokasi di Suralaya, Banten.

Berdasarkan pemodelan Greenpeace, kalau rencana ekspansi tetap dibangun dan beroperasi, diprediksi mengakibatkan 4.700 kematian dini selama 30 tahun masa operasi PLTU.

Kematian dini ini, katanya, karena berbagai penyakit pernapasan serius dampak debu batubara, yaitu, paru-paru obstruktif kronis, kanker paru, ISPA, diabetes, hingga stroke.

Angka kematian dini, katanya, bisa ditekan kalau Indonesia menerapkan standar emisi untuk pembangkit termal lebih ketat, atau minimal sama dengan di Korsel.

Dengan catatan, saat bersamaan, Indonesia harus menghentikan pembangunan PLTU batubara baru dan bertahap menutup pembangkit yang sudah beroperasi.

“Investasi berstandar ganda ini jelas berpotensi meracuni warga Banten, dan membebani keuangan negara melalui naiknya biaya kesehatan,” kata Bondan.

Standar ganda batas emisi untuk polutan udara berbahaya, katanya, memungkinkan pembangkit listrik tenaga batubara Korsel yang dibiayai di luar negeri mengeluarkan 18,6 kali lebih banyak nitrogen oksida (NOx), 11,5 kali lebih banyak sulfur dioksida (SO2) dan polusi debu 33 kali lebih banyak daripada yang dibangun di Korsel.

 

PLTU batubara, merupakan energi kotor yang mesti segera disetop. Foto : Greenpeace

 

Standar ketat Korsel

Polusi udara jadi isu lingkungan paling disoroti masyarakat Korsel. Di Korsel, PLTU batubara jadi salah satu penyumbang PM2,5, sekitar 15%. Tahun 2015, kajian Greenpeace dan Universitas Harvard memprediksi, pembangkit batubara menyebabkan 33.000 kematian dini selama 30 tahun masa operasi.

Lantas pada 2017, Presiden Korsel Moon Jae-In dan pemerintahannya mengumumkan, mereka tak akan mengizinkan pembangkit listrik batubara baru di negara itu.

Untuk mengurangi polusi, pemerintah Korsel akan menutup enam PLTU tua hingga 2021. Mereka juga akan investasi 35% hingga 2040 di energi terbarukan. Upaya lain, Korsel juga menetapkan standar emisi ketat dan menginstal alat pengurang polusi debu, NOx dan SO2 untuk PLTU yang beroperasi.

Pembatasan PLTU beroperasi, katanya, juga menutup 27 PLTU atau 80% selama musim dingin antara Desember hingga Maret.

Ketat di dalam negeri, longgar di luar. Di negara lain, seperti Indonesia, malah berencana bangun PLTU dengan 33 kali lebih kotor dibanding negara mereka sendiri.

Aktivis lingkungan di Korsel meminta pemerintah setop mendukung PLTU di luar negeri. Media di Korsel juga membuat berita soal bagaimana Korsel ‘mengekspor’ polusi ke negara lain. Lima anggota parlemen juga meminta hal sama saat audit nasional pada Oktober 2019.

Bahkan, Minwoo Son, Juru Kampanye Udara Bersih Greenpeace Asia Timur, mengatakan, kasus korupsi proyek PLTU pembiayaan Korsel (di PLTU Jawa 9&10 serta Cirebon 2), juga membangun pandangan negatif.

“Dana publik adalah isu sensitif di Korea Selatan. Kasus korupsi tak bisa ditoleransi. Lembaga keuangan publik di Korsel sangat memperhatikan reputasi,” kata Minwoo.

Pemerintah Korsel, antara Januari 2013-Agustus 2019, menghabiskan dana Rp7 triliun (sekitar US$5,7 miliar) untuk pembangkit batubara di luar negeri dengan batas emisi buruk.

Menurut Minwoo, sudah masanya bagi Presiden Moon Jae-In dan pemerintahan tidak hanya menerapkan standar energi bersih domestik pada investasi asing, tetapi segera beralih dari pembiayaan batubara kotor ke energi terbarukan.

“Indonesia bisa melakukan lebih baik daripada Korsel untuk mengurangi polusi udara akibat PLTU.”

Kajian ini didukung dengan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) soal dampak polusi PLTU yang dibiayai Korsel di Indonesia.

Lauri Myllyvirta, analis CREA mengatakan, PLTU yang dibiayai Korsel di Indonesia menimbulkan polusi lima hingga 10 kali lebih banyak dari yang dibolehkan di Korea.

Kalau di Korsel emisi NOx, SO2 dan debu yang diperbolehkan masing-masing hanya hingga 28,5 dan 65, di Indonesia, pada PLTU Jawa 9&10 di Suralaya boleh hingga 251, 100 dan 221.

CREA bikin pemodelan dengan dua skenario untuk PLTU di Indonesia. Pertama, dengan standar emisi lokal yang digunakan di Indonesia saat ini. Kedua, dibandingkan bagaimana kalau PLTU di Indonesia pakai standar emisi di Korsel.

Hasilnya, skenario pertama menyebabkan 946 kematian dini setiap tahun, sementara skenario kedua didapat angka 90.

“Dengan dana publik Korea Selatan, lembaga keuangan negara ini membiayai PLTU di negara lain, yang tak akan pernah diizinkan untuk beroperasi di negara mereka sendiri emisi polutannya,” kata Myllyvirta.

“Pemerintah Korsel, selalu berlindung di balik argumen bahwa regulasi negara penerima dana tidak melarang hal itu,” timpal Minwoo.

 

Energi terbarukan, salah satu sumber angin, begitu besar di Indonesia, tetapi masih minim dimanfaatkan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Ambigu Jepang

Sebelumnya Greenpeace juga meluncurkan laporan standar ganda oleh Jepang sebagai satu-satunya negara G7 yang masih aktif membangun PLTU batubara baru di dalam dan luar negeri.

Menurut laporan ini, PLTU batubara yang dibiayai Jepang berpotensi menghasilkan racun NOx13 kali, SO233 kali dan polusi debu 40 kali lebih banyak daripada yang dibangun di Jepang sejak 2012.

Bedanya, standar emisi PLTU batubara di Jepang cukup kompleks. Setiap daerah di Jepang, menetapkan standar berbeda dari standar nasional yang berlaku. Batas emisi untuk amdal proyek PLTU baru masih jauh lebih ketat dibandingkan standar emisi di negara lain yang mereka biayai.

Laporan ini mengumpulkan dokumen amdal 18 proyek PLTU yang dibiayai Jepang selama Januari 2013-Mei 2019.

Hasil kajian menunjukkan, kalau batas emisi rata-rata Jepang diterapkan untuk semua PLTU yang dibiayai lembaga keuangan Jepang, bisa menurunkan angka kematian dini dari 5.000 hingga 14.000 jiwa setiap tahun.

Selama 30 tahun periode operasi PLTU, sekitar 148.000-410.000 kematian dini di India, Indonesia, Vietnam dan Bangladesh bisa dihindari.

Menurut Greenpeace, investasi Jepang dalam PLTU batubara mempersulit negara-negara ini mengurangi polusi udara dan memenuhi standar kesehatan masyarakat.

“Semua negara harus segera beralih dari batubara ke sumber energi terbarukan untuk menghindari bencana perubahan iklim dan mencegah dampak kesehatan dari emisi batubara, termasuk kematian dini,” kata Bondan.

Negara-negara harus bekerja bersama menuju ekonomi netral karbon, dan Jepang harus memainkan peran kepemimpinan dalam hal itu.

Energi terbarukan dan efisiensi energi, kata Bondan, makin murah daripada membangun pembangkit listrik tenaga batubara baru. Energi terbarukan adalah solusi untuk perubahan iklim.

Mengikuti tren global, bank-bank swasta Jepang, perusahaan asuransi, dan perusahaan dagang mulai mengambil langkah membatasi investasi dalam proyek-proyek pembangkit listrik batubara. Namun, lembaga keuangan publik Jepang (PFA) masih berinvestasi besar-besaran di pembangkit listrik tenaga batubara di negara lain.

“Pemerintah Jepang harus mengambil tindakan segera untuk mengakhiri ini dan memastikan PFA-nya bergerak untuk mendanai solusi energi terbarukan daripada batubara.”
Selain itu, Pemerintah Jepang harus segera menghentikan investasi PFA di pembangkit listrik batubara di luar negeri -yang batas emisi–melebihi batas pada pembangkit listrik batubara di Jepang. Juga mengalihkan investasi pada energi terbarukan.

“Dengan mengakhiri standar ganda yang mematikan ini, ribuan nyawa bisa diselamatkan.”

Pada saat sama, pemerintah di negara tuan rumah dari proyek batubara ini, termasuk Indonesia, harus melindungi hak warga mereka guna mendapatkan lingkungan aman dan sehat. Caranya, dengan signifikan memperkuat standar emisi mereka untuk pembangkit listrik batubara yang ada, sambil transisi energi ke energi terbarukan.

“Perubahan dalam kebijakan dan investasi ini harus dipercepat sekarang, untuk kesehatan manusia dan lingkungan. Untuk melindungi masa depan planet kita,” ucap Bondan.

 

Keterangan foto utama: Aktivis lingkungan di Indonesia mendesak Korea Selatan dan Jepang, menyetop investasi mereka pada PLTU batubara di Indonesia. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version