Mongabay.co.id

Belajar kepada Bitung untuk Melindungi Tenaga Kerja Perikanan

 

Kekompakan pekerja perikanan yang ada di Kota Bitung, Sulawesi Utara hingga bisa bahu membahu untuk saling memberi perlindungan antara satu pekerja dengan pekerja perikanan yang lain, rupanya menarik perhatian negara lain. Tercatat, ada dua negara tetangga yang menyatakan kekagumannya kepada Bitung.

Kedua negara tersebut, yakni Filipina dan Thailand, kemudian memutuskan untuk menjadikan Bitung sebagai kota percontohan tempat belajar model perlindungan awak kapal perikanan (AKP). Keberhasilan Bitung bisa menjadi kota percontohan bagi negara lain, tidak lepas dari dukungan program Safeguarding Against and Addressing Fishers’ Exploitation at Sea (SAFE Seas).

Program itu dilaksanakan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia bersama Yayasan Plan International Indonesia (YPII). Dalam pelaksanaannya, SAFE Seas berupaya untuk mengurangi praktik kerja paksa dan perdagangan orang pada sub sektor perikanan tangkap. Hal itu dijelaskan Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan di Jakarta, awal pekan ini.

“Kedua negara bahkan sudah melakukan kunjungan ke Bitung langsung pada pekan lalu,” ungkapnya.

baca : Kinerja 100 Hari Menteri KP : Peningkatan Produksi Perikanan Harus Perhatikan Keberlanjutan dan HAM

 

Kapal penangkap ikan di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Menurut Suhufan, kedatangan perwakilan dua negara tetangga itu ke Bitung, memiliki tujuan satu, yakni untuk mempelajari format perlindungan AKP yang dikembangkan SAFE Seas Project (SSP). Dari program tersebut, ada pesan tegas yang ingin disampaikan Indonesia kepada dunia, bahwa penanganan praktik kerja paksa dan perdagangan orang bisa dilakukan melalui kerja sama multistakholder.

Perlindungan kepada para pekerja perikanan warga Bitung yang bekerja sebagai AKP di kapal ikan Indonesia atau kapal ikan asing (KIA), kata Suhufan, dilakukan dengan pendekatan multistakeholder. “Juga dukungan regulasi nasional, edukasi, dan pencegahan yang kuat pada tingkat komunitas,” ucapnya.

Suhufan menyebutkan, platform Safe Fishing Alliance yang digagas oleh SAFE Seas pada tingkat provinsi Sulut dan pembentukan fisher centre, ternyata cukup ampuh untuk bisa menjembatani masalah dan kesenjangan upaya perlindungan AKP yang selama ini masih dirasakan oleh Pemerintah, sektor swasta, dan para pekerja perikanan sendiri.

Wakil Wali Kota Bitung Maurits Mantiri pada pekan lalu saat menerima kedatangan perwakilan dari Filipina dan Thailand, menjelaskan bahwa Pemerintah Kota Bitung berupaya keras untuk ikut mewujudkan industri perikanan tangkap yang tidak hanya sekedar menguntungkan saja, namun juga berkeadilan bagi semua pihak.

Menurut dia, dorongan untuk menciptakan industri perikanan yang lebih berkualitas dilakukan setelah Pemerintah Indonesia pada 2014 melaksanakan moratorium kapal ikan eks asing. Sejak saat itu, Pemkot Bitung terus berupaya untuk mendorong pencarian model bisnis yang lebih adil dan adanya pengakuan hak asasi manusia (HAM) kepada para pekerja perikanan.

baca juga : Praktik Perbudakan kepada Pekerja Perikanan dari Indonesia

 

Ilustrasi. Nelayan menurunkan hasil tangkapan dari kapal troll di pelabuhan Tegal, Jawa Tengah. Nelayan adalah salah satu mata pencaharian utama bagi orang yang tinggal di daerah Pesisir Utara Jawa. Foto : Greenpeace

 

Advokasi

Maurits mengatakan, upaya penyadartahuan dan edukasi yang dilakukan SSP kepada para pekerja perikanan di Kota Bitung patut untuk mendapatkan apresiasi. Hal itu, karena SSP juga melaksanakan advokasi kepada para pekerja perikanan agar bisa menghadapi setiap permasalahan yang dihadapi mereka.

Selain upaya itu, Koordinator Proyek SSP dari YPII Rosa Sibarani mengatakan SSP juga memfasilitasi perusahaan perikanan untuk bisa melaksanakan regulasi nasional pada bidang perikanan tangkap, seperti yang sudah diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan atau Pemerintah Indonesia melalui Presiden RI.

“Contohnya saja HAM perikanan. Kami telah melakukan pendampingan kepada sepuluh perusahaan penangkapan ikan dan unit pengolahan ikan untuk mendapatkan sertifikat HAM dari KKP,” tutur dia.

Sedangkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar memberikan apresiasi kepada SSP dalam upaya mewujudkan model dan pendekatan baru untuk mengurangi indikator kerja paksa dan perdagangan orang pada sub sektor perikanan tangkap.

Menurut dia, upaya yang dilakukan SSP itu menjadi penegas bahwa Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri untuk menyelesaikan berbagai kasus. Termasuk, indikasi kerja paksa dan perdagangan orang yang hingga saat ini masih terus terjadi dengan modus operandi yang lebih modern.

“Hal ini membutuhkan pendekatan multi doors dan melibatkan banyak pihak. Inisiatif ini sangat membantu pemerintah yang sedang melakukan pembenahan bisnis perikanan tangkap secara menyeluruh,” kata dia.

Diketahui, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sebelumnya telah membentuk Forum Daerah Pelindungan Awak Kapal Perikanan Sulawesi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada para pekerja perikanan. Pembentukan tersebut kemudian menginisiasi sejumlah AKP di Bitung untuk membentuk Forum Awak Kapal Perikanan Bersatu (Forkab) Bitung.

Bagi Bitung, kehadiran Forkab sudah memberi warna baru yang lebih positif pada industri perikanan tangkap setempat. Berkat Forkab pula, alur komunikasi antara pekerja perikanan, Pemerintah, pelaku usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serikat pekerja, dan media untuk merespon isu dan diskriminasi yang dialami AKP bisa lebih rapi dan terarah.

Sumbangsih Forkab untuk industri perikanan tangkap di Bitung, sudah semakin terlihat setelah mereka ikut membantu tiga pekerja perikanan setempat yang bekerja sebagai AKP pada kapal perikanan di Tiongkok. Ketiga pekerja tersebut selama ini harus kehilangan dokumen karena ditahan oleh pihak kapal dan penyalur pekerja.

perlu dibaca : Pekerja Perikanan di Atas Kapal Butuh Perlindungan Negara

 

Kanit PPA Direktorat Kriminal Umum Polda Sulut Kompol Elisabeth P. Geroda (kiri), awak kapal Adrianus Kawengian (tengah) dan Manajer lapangan DFW-Indonesia untuk progam SAFE Seas Laode Hardiani (kanan) memperlihatkan dokumen nelayan yang berhasil dikembalikan dari perusahaan. Foto : DFW Indonesia

 

Dokumen

Adapun, dari keterangan ketiga pekerja, dokumen yang ditahan adalah mencakup paspor, kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), akta kelahiran, dan buku pelaut. Seluruh dokumen tersebut ditahan oleh PT Cahaya Kemilau Indah (CKI), perusahaan penyalur untuk kapal di Tiongkok tersebut. Proses pengembalian dokumen tersebut melibatkan DFW Indonesia dan Kepolisian Daerah Sulut.

Ketiga orang pekerja perikanan yang ditahan dokumennya itu, adalah Adrianus Kawengian Tonda, Jufrianus Bogar, dan Habibi Awumbas. Ketiganya sebelumnya terlebih dahulu melaporkan penahanan dokumen yang dilakukan PT CKI kepada Forkab.

“Atas aduan tersebut kami melakukan pendataan dengan melakukan screening awal tentang kejadian dan peristiwa yang dialami oleh korban,” kata Abdi Suhufan.

Setelah melakukan screening, terungkap bahwa selain penahanan dokumen, pihak perusahaan juga tidak membayarkan gaji ketiga orang tersebut selama tujuh bulan bekeja di kapal asing berbendera Tiongkok. Peristiwa ini diketahui terjadi antara November 2018 hingga Mei 2019.

“Dari screening awal terdapat indikasi praktik perdagangan orang sehingga aduan ini diteruskan oleh Forkab Bitung ke Polda Sulut,” jelas dia.

baca juga : Ini Tahapan Penting untuk Mendeteksi Praktik Perbudakan di Kapal Perikanan

 

Ilustrasi. Nelayan dengan Kapal Pamo bantuan Pemerintah di Pelabuhan Dago, Kecamatan Tamako, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Foto : Agrendy Saselah/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memberikan perlindungan kepada awak kapal perikanan yang bekerja di atas kapal perikanan. Untuk itu, Negara akan terus memperbarui standar keamanan awak kapal perikanan untuk lebih baik lagi.

Salah satu upaya untuk meningkatkan standar keamanan itu, adalah dengan mengesahkan dan memberlakukan Peraturan Presiden No.18/2019 tentang Pengesahan International Convention on Standards of Training Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personel, 1995 (Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga Bagi Awak Kapal Penangkap Ikan, 1995).

Luhut menjelaskan, lahirnya Perpres tersebut menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk menjaga keselamatan awak kapal perikanan yang bekerja di atas kapal perikanan. Perlindungan itu dimulai dari proses persiapan awak kapal untuk memiliki kemampuan bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh industri sektor kelautan dan perikanan.

 

 

Exit mobile version