- Sebanyak 13 kapal perikanan berbendera asing diduga kuat menjadi pelaku praktik perbudakan di atas kapal kepada para pekerja perikanan yang berasal dari Asia Tenggara. Dari semua negara, perlakuan paling dominan dilakukan kepada pekerja asal Indonesia dan Filipina
- Para pekerja perikanan yang diketahui menerima perlakuan perbudakan itu adalah mereka yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) pada kapal ikan asing (KIA). Kapal-kapal tersebut diketahui berbendera Tiongkok, Taiwan, Vanuatu, dan Fiji
- Praktik perbudakan yang dialami para ABK, di antaranya adalah kerja paksa, gaji yang rendah, dan tanpa dokumen bekerja yang sah. Semua perlakuan itu menjadi hasil temuan Greenpeace Indonesia dan dirilis dalam laporan khusus
- Sayangnya, kapal-kapal yang dikonfirmasi Greenpeace, menolak mengakui praktik tersebut di kapal mereka. Bahkan, ada juga kapal yang tidak memberikan tanggapan sama sekali atas dugaan praktik yang merugikan para pekerja migran tersebut
Praktik perbudakan pada kapal perikanan diduga kuat masih terjadi hingga saat ini di seluruh dunia. Dugaan tersebut mengemuka, setelah Greenpeace mengungkap hasil temuan mereka pada 13 kapal perikanan yang memakai bendera asing dan beroperasi untuk menangkap ikan di berbagai wilayah laut dunia.
Dalam temuannya, Greenpeace menyebutkan bahwa praktik perbudakan diduga kuat dilakukan para pemilik kapal kepada para pekerja perikanan yang berasal dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Para pekerja rerata bertugas sebagai anak buah kapal (ABK) saat berada di atas kapal ikan asing (KIA) tersebut.
Demikian diungkapkan Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution saat membeberkan fakta tersebut di Jakarta, Senin (9/12/2019). Temuan itu didapat setelah tim dari Greenpeace melakukan penelusuran langsung ke berbagai negara di Asia Tenggara berdasarkan Laporan “Ketika Laut Menjerat: Perjalanan Menuju Perbudakan Modern di Laut Lepas”.
Menurut Arifsyah, berdasarkan tingkat keparahan perlakuan para pemilik kapal perikanan kepada para pekerja perikanan, maka itu bisa digolongkan sebagai bentuk praktik perbudakan modern yang terjadi pada kapal perikanan. Praktik itu bisa terlihat pada potret kehidupan dan kondisi pekerjaan para ABK.
“Terutama, yang berasal dari Indonesia dan Filipina yang bekerja di kapal penangkap ikan jarak jauh negara lain,” ungkap dia.
baca : Pekerja Perikanan di Atas Kapal Butuh Perlindungan Negara
Selama menelusuri langsung di lapangan, Greenpeace berani menyimpulkan bahwa perlakuan yang diterima para ABK itu merupakan praktik perbudakan, karena didasarkan pada kesimpulan bahwa mereka semua mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari pemilik kapal perikanan asing.
Perlakuan tidak menyenangkan itu, digambarkan Greenpeace dalam bentuk kerja paksa, penganiayaan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh para pemilik kapal perikanan asing. Kesimpulan itu dikumpulkan dari hasil wawancara tatap muka, analisis dokumentasi, dan petunjuk lainnya.
“Itu berasal dari kesaksian 34 ABK yang ditemui Greenpeace,” sebut Arifsyah.
Dari 34 ABK yang ditemui, salah satunya adalah Tuan Z (24 tahun) yang diketahui mantan pekerja perikanan pada kapal longliner Zhong Da 2 milik Taiwan. Pertemuan dengan Tuan Z dilakukan pada Mei 2018 dan saat itu dia membeberakan fakta tentang perlakuan yang diterimanya di atas kapal.
Menurut Tuan Z, saat berada di kapal dia dipaksa untuk bekerja tanpa diberikan waktu untuk berisitirahat dan juga mendapatkan makanan yang cukup. Beban yang sangat berat itu membuat fisiknya melemah dan mengalami kelelahan saat sedang bekerja. Tapi, dalam kondisi demikian, pemilik kapal memaksanya untuk tetap melanjutkan tugasnya sampai selesai.
baca juga : Ini Usaha Pemenuhan Hak Dasar Tenaga Kerja Perikanan yang Terabaikan Sejak Lama
Kerja Paksa
Saat sedang menahan kelelahan tersebut, Tuan Z kemudian melihat ada awak kapal lain yang mendapat perlakuan berbeda dari pemilik kapal dengan diberikan waktu untuk beristirahat. Setelah itu, dia pergi ke dapur untuk mencari makanan yang bisa dikonsumsi untuk memulihkan kondisi tubuhnya yang sedang kelelahan.
Tetapi, yang terjadi kemudian adalah, saat itu makanan tak lagi disajikan di dapur. Kemudian, di waktu hampir bersamaan, atasan Tuan Z mendatanginya dan menyapa dengan ucapan, ”Apa masalah Anda?” Tanpa ragu, Tuan Z menjawab sapaan sekaligus pertanyaan itu dengan pertanyaan dan pernyataan secara sekaligus.
“Apakah Anda tidak tahu aturannya, saya juga perlu istirahat dan makan, apa salah saya?” ucap dia.
Selain perlakuan tidak menyenangkan di atas kapal, Greenpeace juga menemukan praktik perburuhan ilegal dilakukan kapal-kapal ikan asing tersebut selama ini. Seorang ABK Indonesia yang bekerja pada kapal Chin Chun 12 berbendera Taiwan mengaku, sejak pertama kali bekerja hingga enam bulan kemudian, dia tidak mendapatkan gaji sebagaimana mestinya.
Kemudian, ABK Indonesia lain yang bekerja untk kapal Lien Yi Hsing 12 yang juga berbendera Taiwan, mengaku hanya mendapatkan uang senilan USD50 untuk gaji selama empat bulan pertama. Praktik seperti itu, diduga kuat banyak dialami oleh ABK Indonesia lain yang bekerja pada kapal perikanan asing di seluruh dunia.
Sayangnya, saat Greenpeace berusaha menghubungi kapal Chin Chun 12, manajemen kapal masih belum memberikan tanggapan atas apa yang sudah terjadi dan dialami ABK asal Indonesia. Sementara, kapal Lien Yi Hsing disebutkan sudah memberikan tanggapan, namun mereka membantah atas praktik ilegal yang dikecam dunia itu.
perlu dibaca : Pekerja Perikanan Indonesia Masih Diperlakukan Diskriminatif oleh Perusahaan?
Bagi Arifsyah Nasution, praktik perbudakan yang masih terus terjadi di atas kapal perikanan, menjadi peringatan untuk seluruh dunia sampai kapan pun. Mengingat, praktik tersebut masih terjadi di saat hampir semua negara di dunia menerapkan kebijakan nasional untuk melindungi pekerja migran dan juga perjanjian tentang perikanan.
“Perbudakan modern terus berlangsung dalam industri perikanan,” tegasnya.
Menurut Arifsyah, model bisnis perikanan global yang eksploitatif seperti disebut di atas sudah tidak bisa untuk dilanjutkan. Kemudian, keluhan tentang ketidakadilan, penyiksaan yang tak berkesudahan juga harus menjadi perhatian dunia dan untuk segera diatasi oleh seluruh negara, termasuk Indonesia di dalamnya.
“Satu nelayan migran menderita itu sudah keterlaluan. Sangat penting bahwa hukum nasional yang menjamin hak-hak nelayan migran ditegakkan sepenuhnya, atau, jika tidak ada, harus disusun dan disahkan sesegera mungkin,” kata dia.
Perlakuan tidak adil yang masih diterima para pekerja perikanan asal Indonesia itu, menurut Arifsyah sangatlah disesalkan. Dia sangat prihatin karena itu kembali menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia kembali melakukan kelalaian untuk melindungi warganya yang sedang bekerja di luar negeri.
perlu dibaca : Kenapa Praktik Perdagangan Manusia dan Perbudakan Belum Hilang dari Kapal Perikanan?
Kelalaian
Di mata Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto, kejadian-kejadian seperti disebut di atas ikut memberi kontribusi pada kegagalan Negara dalam mengesahkan sejumlah aturan pelaksana yang dimandatkan oleh Undang-Undang No.18/2018 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) secara tepat waktu.
“Seharusnya, semua aturan turunan, termasuk yang mengatur lebih rinci tata laksana pelindungan awak kapal, sudah disahkan pada November 2019 lalu, atau dua tahun sejak UU PPMI ditetapkan,” ujar dia.
Lambannnya pengesahan tersebut, menurut Hariyanto diduga kuat karena ada hambatan birokrasi dan ego lembaga yang sangat serius, sehingga mengakibatkan molornya penerbitan peraturan pelaksanaan UU PPMI itu. Kondisi itu menjadi ironi dan tragedi, karena dalam dua tahun terakhir ada praktik eksploitasi terhadap pelaut migran perikanan asal Indonesia.
“(Dan) masih terus terjadi tanpa penertiban dan penindakan efektif oleh pemerintah,” ucap dia.
Selain ABK, Greenpeace Asia Tenggara juga berusaha menghubungi perwakilan kapal asing Zhong Da 2 dan juga kapal penangkap ikan lainnya yang disebutkan dalam laporan. Namun, upaya untuk mendapatkan keterangan dari kapal, gagal didapat karena Zhong Da 2 dan kapal lain tidak memberikan tanggapan.
Diketahui, laporan yang dirilis oleh Greenpeace tersebut berisi banyak hal tentang cara kerja di atas kapal perikanan. Termasuk, mengungkapkan sistem perekrutan yang menjebak banyak nelayan Indonesia dalam kondisi kerja paksa. Dengan bantuan SBMI, Greenpeace menganilisis kontrak, surat jaminan, dan dokumen terkait.
Agar praktik seperti perbudakan tidak terus berlangsung, Greenpeace meminta 10 negara anggota ASEAN, khususnya Indonesia, Filipina, dan Thailand untuk memimpin penyelesaian masalah penangkapan ikan yang berlebihan, ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU), dan perbudakan modern di atas laut.
Sebagai salah satu rekomendasi inti, ketiga negara juga diminta untuk meratifikasi dan mengimplementasikan Konvensi ILO 188 mengenai Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan, untuk melindungi warganya dari pelanggaran hak asasi manusia di kapal penangkap ikan.
Diketahui, kapal ikan yang diidentifikasi dan diseleksi untuk penulisan laporan adalah yang berasal atau terdaftar secara resmi di Tiongkok, Taiwan, Vanuatu, dan Fiji. Kapal-kapal tersebut ditelusuri setelah ada empat laporan pengaduan masuk.
Sementara, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Nilanto Perbowo pada kesempatan sebelumnya mengatakan, selain profesi ABK, pekerja perikanan pada unit pemrosesan (processing unit) juga menghadapi ancaman yang sama besarnya. Untuk itu, perlu dilakukan penjagaan pasar perikanan dan hasil laut dari berbagai bentuk tindak pelanggaran HAM.
“Tak hanya harus memastikan produk perikanan kita terjamin mutu dan kualitasnya dan didapatkan dari proses yang ramah lingkungan, Pemerintah juga harus memastikan ikan didapat dari kegiatan legal, reported, and regulated fishing (LRRF) yang memerhatikan perlindungan terhadap HAM pekerjanya,” ucap dia.