Mongabay.co.id

Nasib Warga Mamuju Tengah Kala Sungai Diduga Tercemar Limbah Sawit [Bagian 2]

 

 

Jalan aspal meliuk. Kanan kiri sawit menghampar. Saya meninggalkan Topoyo, pusat kota Mamuju Tengah, Sulawesi Barat (Sulbar), menuju Desa Barakkang, Kecamatan Budong-Budong, Mateng.

Desa ini seperti dalam lilitan aliran sungai. Sebelum kebun sawit masuk mengubah wajah desa ini, banyak aktivitas pembalakan lewat Sungai Lumu, kayu-kayu itu dihanyutkan. Di desa ini, masih ada pabrik olah kayu beroperasi.

Warga juga bercocok tanam. Ada jeruk sampai kakao. Dua komoditi ini bertahan sampai 2005. Kini, warga budidaya sawit.

Baca juga: Nasib Warga Mamuju Tengah Hidup di Sekitar Pabrik Sawit [Bagian 1]

Bahrun Ratte, Kepala Desa Barakkang. Ratusan meter dari rumahnya, ada persawahan cukup luas, terkepung kebun sawit dan permukiman.

Mei 2019, Bahrun jadi orang tersibuk di desa ini. Wartawan menghubungi silih berganti, menjawab tiap pertanyaan soal dugaan pencemaran limbah Sungai Lumu, tak jauh dari rumahnya.

Kala itu, ratusan ikan mati. Sebagian besar membusuk. Bahrun menarik napas, mencoba mengingat tiap detail kejadian.

“Dulu, kita coba laporkan,” katanya, jelang akhir Januari lalu.

“Saya ndak berani katakan itu masalah karena pencemaran. Cuma kita cari tahu, dari mana sumbernya, hingga ikan dan penghuni sungai bisa kayak keracunan. Apakah karena faktor perubahan alam atau apa?”

Bahrun bilang, saat itu air sungai menghitam, berbau busuk dan berminyak. Persis dengan kesaksian warga di Kambunong.

Baca juga: Gubernur Sulbar Nilai Kontribusi Sawit Minim, Malah Rusak Lingkungan

Dari penulusuran Bahrun, air hitam itu berasal dari Sungai Tinali, anak Sungai Lumu. Di cabang sungai—dari arah Desa Barakkang, Sungai Tinali berkelok kiri, terusan lain menuju Tommo, Mamuju. Di sana ada pabrik minyak sawit, PT. Manakarra Unggul Lestari (MUL).

Sepanjang Sungai Tinali, kata Bahrun, ada kebun sawit milik warga dan PT. Wahana Karya Sejahtera Mandiri (WKSM), anak usaha KPN Plantation. Di areal itu pula, terdapat rawa yang dibendung. Bahrun menduga, di situlah muasal pencemaran.

WKSM pun diadukan warga ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Mateng.

KPN Plantation dulu bernama Gama Plantation hingga 10 September 2019. Gama Plantation didirikan Martua Sitorus—salah satu pendiri Wilmar—bersama Ganda, saudaranya . Martua tak lagi duduk sebagai Direktur non eksekutif non independen Wilmar per 15 Juli 2018.

Aduan warga ditindaklanjuti DLH Mateng lewat surat bernomor 790 tahun 2019 ditandatangani Sekretaris Daerah Mateng, Askary, pada 14 Mei 2019.

Surat itu ditujukan ke Kepala DLH Sulbar, dengan tebusan Bupati Mateng, Ketua DPRD Mateng, Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion di Makassar, dan Kepala Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup, di Makassar.

 

Timeline WKSM dan sumber pencemaran di Sungai Barakkang. 

 

Pada 17-21 Mei 2019, tim gabungan mengecek lokasi dugaan pencemaran. Dalam tim itu tergabung, tim pengawas Balai Pengamanan dan Gakkum LHK Sulawesi, tim laboratorium Balai Besar Industri Hasil Perkebunan (BBIHP) Makassar, dan tim teknis DLH. Bahrun dan WKSM juga turut meninjau.

Sejak pengecekan itu, Bahrun tak lagi tahu hasil uji laboratorium. “Ada berita juga saya dapat kemarin, kalau itu limbah dari masyarakat katanya, limbah sabun. Tapi saya bilang, jangan sampai kita terprovokasi.”

Seratus meter dari rumah Bahrun, seorang penangkar ikan sidat tinggal bersama istri dan anaknya. Pria berusia 53 tahun itu bernama Syaehar.

Saat kejadian, sidat yang dia tangkar turut mati. Cara tangkar dia sederhana. Syaehar memasukkan sidat ke karung jaring, yang ditenggelamkan ke sungai. Dia mengikat jaring itu biar tak hanyut.

“Ada sekitar satu kuintal masapi ku yang mati,” katanya. Masapi, adalah sebutan lokal ikan sidat. “Saya mau menangis lihat ikan ku mati begitu.”

Perkilogram, Syaehar mematok harga sidat Rp80.000, kerugian saat itu berkisar Rp8 juta.

Syaehar merintis bisnis sejak 2012. Kejadian macam itu tak pernah dia alami. “Pokoknya semua ikan di sini mati. Yang paling pertama mati itu udang. Kalau buaya tidak mati, karena naik di daratan kalau banjir.”

Syaehar mengajak saya melihat penangkaran di tepi sungai. Dalam jaring hijau itu, ada tiga sidat hidup.

Warga memanfaatkan sungai buat keperluan minum dan rumah tangga. Saat Syaehar menurunkan jaring, dua warga tengah mandi tanpa menghiraukan kehadiran saya. Mereka mengenakan sarung.

“Kenapa tidak mandi di wc umum saja?” tanya saya.

“Susah lagi orang ambil air. Mending di sini saja.”

Saya bertanya ke mereka soal pencemaran itu. Mereka mengangguk. Mengapa mereka masih berani mandi?

“Takut juga. Tapi kan dilihat dulu airnya,” jawabnya.

Saat sama, kapal bermesin melintas di hadapan kami. Kapal itu sedang menuju hulu.

Sungai Lumu, selain buat keperluan rumah tangga, juga sumber ikan bagi nelayan. Ia juga jalur kapal penumpang.

Sebelum jalan sebagus ini, warga di Tomo pakai transportasi sungai. Dari hulu Sungai Lumu, mereka turun ke Barakkang, pun sebaliknya.

 

Syaehar, penangkar sidat. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Tangkapan ikan turun

Di Barakkang, kata Bahrun, sekitar 20% warga jadi nelayan. Mereka ada memancing dan menebar pukat. Desa Lumu, didominasi petani tambak.

Saat kejadian Mei, nelayan ‘kebanjiran’ ikan. Haerul, pengumpul ikan hasil tangkapan nelayan di Barakkang mengatakan, banyak terima ikan.

“Tapi ikan mati. Ada tiga hari tiga malam itu saya kurang tidur karena layani nelayan yang datang menjual,” katanya. “Baru mau tidur, ada lagi datang menjual.”

Seingat Haerul, sejak lima tahun dia bergelut di bisnis ini, kejadian itu sudah kali ketiga. “Ini yang terakhir parah. Tidak tahu karena apa, tapi setahu saya itu gara-gara air hitam,” katanya.

“Saya total, semua ikan yang masuk sampai satu ton. Itu ikan kanjia (tawes) saja. Belum ikan mas sama masapi. Kalau nila tidak seberapa.”

Lokasi timbang Haerul, persis berada di tepi sungai, tak jauh dari jembatan besar.

Kala itu, air mulai menghitam setelah banjir. Air berbau comberan, atau bau busuk.

Alih-alih dibuang, ikan itu laris terjual. “Alhamdulillah. Tidak ada juga yang datang komplain ke saya,” kata Haerul.

 

***

Sungai Lumu, juga jadi tempat hidup bagi beragam jenis kerang atau tude. Di Barakkang, Latif warga lain, mendapat uang dari menjual tude. Dia juga kerap memasang bubu. “Tapi sudah hampir satu tahun saya tidak pasang. Karena sudah kurang ikannya.”

Beberapa bulan sejak kejadian Mei, Latif kerap mendapat tude kosong. “Dulu tidak pernah. Ini (menunjuk kulit kerang) banyak sekali [tude kosong] di dapat semenjak pencemaran.”

Seingat Bahrun, kejadian ini mulai 2014. Mei lalu, kejadian ketiga. Serupa kesaksian Haerul, Bahrun mengungkap, air sungai mulai menghitam bila banjir surut.

“Akibatnya, warga mengalami kerugian. Mata pencaharian nelayan juga sedikit menurun.”

 

Jalan poros Mamuju Tengah. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Hasil laboratorium?

DLH Mateng mengklaim, pencemaran di Sungai Lumu bukan karena limbah pabrik sawit melainkan pestisida dan sampah rumah tangga yang menumpuk berminggu-minggu, kemudian hanyut saat banjir.

“Itu kemungkinan penyebab dari pencemaran,” kata Musliadi, Kepala DLH Mateng lewat TVRI Sulbar beberapa hari setelah pencemaran. Meskipun begitu, katanya, mereka belum bisa memastikan sampai ada hasil laboratorium.

Terlepas dari asal pencemaran, dari pantauan UPTD Laboratorium Lingkungan Dinas Pengelolahan Lingkungan Hidup Sulbar, menemukan ada limbah cair melebihi batas baku mutu.

Temuan itu, muncul setelah mengambil sampel air pada tiga titik, yaitu, Sungai Lumu, Tinali dan bawah Jembatan Barakkang. Dari hasilnya, ada empat parameter yang tak memenuhi syarat, sesuai PP Nomor 82/2001. Sungai Lumu klasifikasi sungai kelas II.

UPTD menemukan, biochemical oksigen demand (BOD) di Lumu mencapai 6,73 mg/l, melebihi baku mutu 3 mg/l. Di bawah Jembatan Barakkang menunjukkan angka 4,77 mg/l, sampel di Sungai Tinali, tidak melebihi baku mutu: 0,45 mg/l.

Kondisi ini memperlihatkan, makin tinggi BOD, makin rendah oksigen terlarut. Kemampuan air untuk pemulihan secara alami banyak tergantung pada tersedianya oksigen terlarut.

Untuk parameter warna, di tiga titik UPTD menyebut, tidak memenuhi syarat. Untuk parameter bau, pada tiga titik UPTD menyebut, hanya Sungai Lumu yang memenuhi syarat.

Sementara parameter dissolved oksigen (DO)—kebalikan BOD, UPTD menyebut, kalau titik Sungai Tinali, tak memenuhi syarat baku mutu yaitu 4 mg/l. Di titik itu, UPTD hanya menemukan 0,68 mg/l.

Saya mengkonfirmasi DLH Sulbar. Melalui telepon, Kepala DLH Sulbar, Aco Takdir bilang, hasil laboratorium belum dapat mengukur secara obyektif. “Itu hasil yang diambil sampel dari Lumu, langsung diambil dari lokasi itu dan dibawa ke Makassar (Laboratorium BBIHP Makassar).”

Aco bilang, hasil laboratorium ini sudah ada. Seingat dia, ada beberapa rekomendasi Gakkum LHK Sulawesi yang diserahkan ke DLH kabupaten guna dilaksanakan oleh Wahana.

“Ada indikasi tercemar, hingga ada dari Gakkum (LHK Sulawesi-red) ini memberikan masukan kepada perusahaan untuk mengelola limbah sesuai dengan aturan yang ada,” kata Aco.

Saya menghubungi Muliadi 29 Januari 2020. Dia bilang, rekomendasi itu menyebut, aduan warga terhadap pabrik sawit Wahana tidak terbukti. Saya meminta salinan surat, namun dia tidak lagi menjabat di DLH.

“Saya sekarang di Penanaman Modal.”

Di Kota Makassar, saya menemui Kamil, verifikator Gakkum LHK Sulawesi. Dia kebetulan yang melakukan pengawasan di Barakkang.

Kamil mengatakan, hasil laboratorium BBIHP membuktikan, ada lima parameter melebihi baku mutu, antara lain BOD, COD, residu tersuspensi, kesadahan (CaCO3), dan klorida.

“Ada yang bahkan berkali lipat dari syarat baku mutu.”

Meski begitu, Gakkum, tidak dapat membuktikan aduan warga Barakkang. Hasil laboratorium, katanya, tidak bisa pasti menampilkan asal limbah itu.

“Karena di daerah itu terlalu banyak aktivitas perkebunan dan macam-macam.”

Meski demikian, Gakkum mendapat temuan di luar pengaduan. Temuan itulah, yang dikeluarkan dalam bentuk rekomendasi, seperti yang dikatakan Aco.

Beberapa rekomendasi itu, buat perbaikan administrasi, seperti tidak mempunyai koordinat penataan pengelolaan limbah, tak memasang alat ukur debit, dan beberapa hal pelanggaran administratif.

Ada temuan penting Gakkum, yaitu WKSM tak mematuhi baku mutu kualitas air limbah dan kualitas air sungai pada seluruh parameter sesuai syarat dalam peraturan berlaku.

Pelimpahan pemberian sanksi ini pada 24 Juni 2019, lewat surat dari Gakkum LHK Sulawesi bernomor S.385.

Saya mencoba konfirmasi dugaan dan temuan ini terhadap Manager WKSM, Surahman. Dia tidak menanggapi pesan dan panggilan telepon saya.

 

***

Pemerintah Mateng, pernah menaruh perhatian soal kondisi sungai di Mateng. Dalam profil Mateng 2018, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Mateng, menemukan fakta, banyak sumber air yang dulu dimanfaatkan warga mengalami penurunan kualitas. Penyebabnya, antara lain, pencemaran air oleh limbah pertanian dan industri.

Selain itu, Indonesia juga menarget dalam Sustainable Development Goals (SDGs), pada 2030, ketersediaan dan manajemen air bersih yang berkelanjutan dan sanitasi dipastikan terpenuhi bagi semua orang.

Dalam target ketiga pada tujuan VI itu, pembuangan limbah dan bahan kimia yang dapat mencemari air bersih akan dihapus, atau paling tidak diminimalisir.

Beberapa bulan lalu, saya mewawancarai Gubernur Sulbar, Ali Baal Masdar. Dia juga mengeluhkan kondisi sungai di Mateng banyak mengalami pencemaran.

Forum DAS yang dibentuk Pemprov Sulbar juga tidak bisa berbuat banyak.

“Kita ada rapat koordinasi dengan sejumlah pihak terkait persoalan DAS dan selalu ada rekomendasi,” kata Syarif, Ketua Pelaksana Harian Forum DAS Sulbar. “Tapi dijalankan atau tidak rekomendasi itu, tergantung SKPD (satuan kerja perangkat daerah-red) masing-masing.”

Syarif berharap, ke depan semua pihak harus mengedepankan keseimbangan lingkungan dalam menyusun rencana pembangunan pada berbagai aspek.

“Begitu pula dalam hal kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Harus benar-benar menyesuaikan daya dukung bentang alam.” (Selesai)

 

 

Keterangan foto utama: Warga yang masih memanfaatkan Sungai Lumu, Barakkang, untuk keperluan sehari-hari. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Cabang Sungai Tinali dan Lumu. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version