Mongabay.co.id

Bersiap Cegah Karhutla di Lahan Gambut

 

 

 

 

Tahun 2020 sudah memasuki bulan kedua. Sejak Januari, sudah ada beberapa daerah seperti Riau, Sumatera, alami kemarau. Titik api mulai muncul. Badan Restorasi Gambut (BRG) menyiapkan berbagai langkah guna menghadapi musim kering dan mencegah kebakaran hutan dan lahan terutama di gambut, tahun ini.

Sejak akhir tahun lalu BMKG sudah memprediksi sepanjang 2020, musim di Indonesia akan bervariasi, wilayah Kalimantan, Jambi, Sumatera Selatan, Aceh, dan Bangka Belitung cenderung memiliki musim kemarau pendek (1-4 bulan). Sedangkan, Riau dan Papua, diprediksi memiliki kemarau lebih empat bulan.

Nazir Foed, Kepala BRG mengatakan, BRG berupaya membasahi lahan gambut berbasis kesatuan hidrologi gambut (KHG). Jadi, upaya mereka tak lagi parsial, tetapi menyeluruh berbasis ekosistem KHG. Berbagai pemangku kebijakan mulai dari kementerian dan lembaga terkait, termasuk juga perusahaan bakal terlibat untuk melakukan itu.

“Ini sedang dirancang terutama Riau karena wilayah ini yang akan mengalami kemarau duluan. Saat ini, tim juga turun ke lapangan untuk mengecek lokasi-lokasi yang harus segera dibangun sekat kanal,” katanya.

Sekarang, katanya, sudah ada Peraturan Menteri LHK Nomor 10/2019 tentang perhitungan neraca air di kubah gambut. Aturan ini sedang BRG tindaklanjuti bersama Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pakar gambut bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, BMKG dan BPPT menghitung KHG yang harus dibasahi dengan maksimal berbasis ekosistem.

Untuk langkah awal, kata Nazir, ada empat KHG di Riau akan pembasahan berbasis ekosistem. Soal komunikasi dengan perusahaan di KHG, kata Nazir tak ada kesulitan.

“Mereka kan membuat dokumen rencana pemulihan ekosistem gambut yang diserahkan ke KLHK, jadi dokumen ada di KLHK. Rencana pemulihan yang mereka buat, harus menyesuaikan dengan Permen LHK itu. Waktu itu, mereka membuat rencana pemulihan hanya melihat kawasan mereka saja. Sekarang, kita harus melihat seluruh tata air dalam satu ekosistem,” katanya.

 

Hutan gambut yang terbakar di Jalan Pangkalan Bun–Kotawaringin Lama kilometer 15. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Nazir optimistis, persiapan bisa singkat sebelum musim kemarau tiba. Meski dia tak menampik bisa saja dari sekian luas KHG, hasil didapat berbeda-beda. Bisa saja, ada bagian sangat bagus, ada baru jalan setengah.

“Kemungkinan nanti keefektivan per KHG agak berbeda-beda. Tergantung seberapa luas KHG dan pemain di situ. Makin luas KHG, pengelola banyak, mungkin perlu waktu lebih lama.”

Pembasahan berbasis KHG, katanya, dengan menghitung neraca air dalam kesatuan gambut itu. Dengan begitu, bisa didapat perlu berapa kubik air untuk membasahi gambut dalam ekosistem KHG ini.

Opsinya, kata Nazir, bisa modifikasi cuaca hingga hujan turun lebih awal agar bisa menampung air di KHG itu.“Tahun ini, kita ingin hujan buatan berfungsi sejak awal. Ini membutuhkan pantauan satelit untuk melihat lahan gambut yang mulai kering.”

Selain itu, katanya, berdasarkan laporan BMKG kalau daerah itu tak akan terjadi hujan selama sekian minggu ke depan.

“Nanti kita lihat dulu kondisi muka air. Jika sudah sangat kering, perlu modifikasi cuaca. Kami berkoordinasi dengan BPPT, BNPB dan BMKG.”

Hal lain, katanya, dengan mengefektifkan pemantauan melalui Peatland Restoration Information Monitoring System (PRIMS). Ia sebuah platform daring yang menyediakan data informasi spasial lahan gambut terkini bikinan BRG.

“Kita juga harus betul-betul memantau dengan citra satelit dari LAPAN untuk melihat daerah mana yang terindikasi pembukaan lahan baru. Biasa, bukaan baru ini makin besar dan dibakar ketika kemarau.”

“Kita harus potong di tengah jalan, jangan sampai pembukaan baru makin membesar. Sambil melihat laporan BMKG, bagaimana perkiraan curah hujan ke depan, melihat kebasahan gambut dari data Sipalaga. Itu dianalsiis bersama BPPT, BMKG, BNPB, KLHK, PUPR. Nanti upaya jauh lebih efektif,” katanya.

Dia mengatakan, pembangunan infrastruktur pembasahan gambut tetap akan lanjut. Hingga akhir 2019, BRG membangun lebih 19.000 infrastruktur pembasahan gambut, baik sekat kanal maupun sumur bor.

“Tentu berlanjut walaupun mungkin jumla tidak bisa terlalu banyak. Sekarang kita juga dibantu KPUPR yang tahun ini menganggarkan dana sekat kanal.”

Tahun ini, katanya, sangat krusial hingga infrastruktur yang sudah dibangun harus terpelihara baik. Dengan begitu, sebagian anggaran disisihkan buat pemeliharaan infrastruktur pembasahan gambut.

“Sedapat mungkin kita berupaya agar semua infrastruktur yang sudah dibangun masih berfungsi optimal.”

Meski begitu, kata Nazir, di lapangan masih banyak kendala, seperti banyak lahan gambut terlanjur sudah dibuka. Upaya restorasi juga harus terkoneksi dengan baik.

“Tata air harus terkoneksi dengan baik. Jangan sampai di satu wilayah bagus, satu wilayah kekeringan. Atau sebaliknya. Ini perencanaan yang harus satu ekosistem. Tak bisa hanya ujungnya.”

Indonesia, memiliki gambut 16,9 juta hektar. Meski Kanada punya lebih luas, tetapi kedalaman hanya berkisar dua meter. Gambut di Indonesia, katanya, kedalaman bisa 30 meter, setara gedung setinggi tujuh lantai.

“Dulu banyak lahan gambut dikeringkan untuk berbagai program baik pemerintah maupun swasta. Mengeringkan ini yang kebablasan, hingga kemarau sangat kering, mudah terbakar dan sulit dipadamkan,” katanya.

Karhutla hebat melanda Indonesia pada 2015, membuat pemerintah memberikan perhatian besar pada ekosistem gambut dan terbentuklah BRG awal 2016. Tugasnya, merestorasi gambut selama lima tahun dengan target dua juta hektar.

“Kita petakan ada 7,8 juta hektar lahan gambut yang sudah terbuka. Ada yang sudah terkelola baik oleh masyarakat adat maupun perusahaan yang sadar. Banyak juga tidak terkelola baik. Padahal gambut kalau basah, karbon tersimpan di tanah. Kalau kering, akan menimbulkan emisi,” katanya.

 

Pemadaman karhutla di Kampar, pada Januari 2020. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Capaian restorasi perusahaan kehutanan minim

Untuk supervisi di perusahaan kehutanan atas kerjasama dengan KLHK sudah seluas 114.910 hektar dari target 1.217.053,42 hektar.

“Kita masih terus dorong dan bantu memperbaiki tata kelola air gambut mereka.”

BRG, juga bekerjasama dengan Kementerian Pertanian dalam mensupervisi perusahaan perkebunan sawit guna restorasi gambut di konsesi mereka. Hingga Desember 2019, dari target 555.659,23 hektar supervisi perkebunan sawit, capaian sudah 408.202,92 hektar.

Menurut Nazir, dampak pembasahan harus dipantau. Setelah sekat, seharusnya kelembaban naik dan bisa terlihat dari citra satelit.

“Kalau sudah disekat tapi kelembaban tak naik, artinya ada yang salah dan harus diperbaiki. Bisa saja sekat bocor. Kita buat sistem pemantauan PRIMS dan Sipalaga. Jadi terlihat kalau ada pembukaan atau pembangunan kanal baru. Nanti langsung cek lapangan,” katanya, seraya bilang, kalau menyalahi aturan, bsia ditindaklanjuti aparat terkait dan bukaan kecil tak jadi besar hingga kalaupun terbakar, bisa terkontrol dan langsung pemadaman.

Myrna Safitri, Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG mengatakan, akan mempercepat pembangunan infastruktur pembasahan gambut. Juga akan pengecekan kualitas sekaligus pemeliharaan infrastruktur yang dibangun dengan dana APBN. Selain itu, juga menjalankan operasi cepat pembasahan dengan dana tugas pembantuan kepada pemerintah provinsi.

BRG juga terus berupaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola lahan tanpa bakar melalui sekolah lapang. Memperluas edukasi pencegahan kebakaran kepada berbagai pihak, seperti sekolah dan pemuka agama dan mengintensifkan pemantauan kelembaban gambut melalui Sipalaga.

Johny Sumbung, Direktur Kesiapsiagaan BNPB mengatakan, upaya pemadaman api lewat water bombing kurang efektif. Meski begitu, cara ini tetap jadi pilihan mengantisipasi lahan terbakar sulit terjangkau petugas pemadaman.

“Belajar dari pengalaman tahun lalu, kami tak akan menunggu lagi. Kami kirim tim ke Pulang Pisau dan Jambi untuk assesment daerah-daerah yang selama ini sering kebakaran. Kami melibatkan pemda, BRG dan BPBD setempat,” katanya.

Lewat penilaian ini, katanya, BNPB akan terlibat dalam pembasahan gambut. Sebab arahan Kepala BNPB, Doni Munardo, gambut harus selalu basah. BNPB, katanya, akan ikut membangun sekat kanal dan sumur bor.

“Kami juga akan melibatkan masyarakat untuk upaya revegetasi ekologis sekaligus meningkatkan ekonomi. Kami akan penanaman tanaman yang memiliki nilai ekonomi dengan kesepakatan masyarakat.”

Dengan begitu, katanya, sekaligus ikut serta melindungi gambut dan ada nilai ekonomi. Harapannya, masyarakat tak akan lagi membakar gambut dan diikutsertakan dalam pencegahan karhutla.

 

Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

 

Ola Abbas, Koordinator Nasional Pantau Gambut mengatakan, berbagai langkah antisipasi mencegah karhutla harus berjalan beriringan. Infrastruktur pembasahan gambut yang terbangun, harus cek kembali kualitas, letak dan masih berfungsi dengan baik atau tidak.

“Kemudian dari masyarakat juga harus disiapkan. Kita sudah bertahun-tahun kena karhutla tapi kayak terus-terusan kebakaran jenggot tiap tahun. Ini karena masyarakat sendiri tidak disiapkan. Kadang mereka tak punya alat memadamkan api.,” katanya.

Ola bilang, berbagai usaha pemerintah mengantisipasi karhutla cukup banyak. Mereka pasang sistem berbasis satelit, Sipongi siap siaga di banyak tempat.

“Pencegahan harus tetap berjalan. Gambut harus dikembalikan ke harkat asal yaitu basah. Segala macam keterlanjuran yang ada itu harus review, termasuk perizinan. Kalau kalau ada pelanggaran, harus ditegakkan hukum.”

Dia berharap, organisasi tingkat tapak maupun kota aktif melaporkan kalau ada pelanggaran di lahan gambut.

Soal perusahaan, katanya, seharusnya berkewajiban merevisi rencana kerja usaha (RKU). Hanya, dokumen RKU ini, oleh KLHK, tak pernah terbuka untuk publik. Padahal, katanya, dipandang penting agar masyarakat sipil bisa ikut memantau.

 

Karhutla 1,5 juta hektar dan emisi gambut

Bambang Hero Sharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, meskipun luas lahan terbakar lebih sedikit dibandingkan Brazil, tetapi emisi Indonesia jauh lebih besar karena yang terbakar banyak gambut.

Dia mengutip data The Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) menyebut, kebakaran hutan di berbagai belahan dunia sepanjang 1 Januari- 30 November 2019 menyebabkan 6.735 megaton CO2 lepas ke atmosfer. Bererapa wilayah terjadi kebakaran pada 2019 antara lain. Amazon, Indonesia, Kutub Utara, juga Australia.

Beberapa negara yang juga mengalami hal serupa namun kurang diketahui dampak signifikan pada lingkungan dan kualitas udara, seperti Kolumbia, Venezuela, Suriah dan Meksiko.

Analisis CAMS, berbasis pada global fire assimilation system (GFAS) yang gunakan pengamatan satelit untuk memperkirakan emisi dari kebakaran, menunjukkan, kebakaran di Amazon sepanjang 1-26 Agustus 2019 melepaskan emisi sekitar 25 megaton CO2.

Karhutla di Indonesia sepanjang Agustus-November 2019, melepaskan emisi 708 megaton CO2. Tingginya, emisi CO2 ini karena yang terbakar lahan gambut. Estimasi emisi CO2 setara periode sama 2015.

Data Sipongi KLHK menunjukkan, luas kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 mencapai 1.592.010 hektar dengan rincian, Sumatera Selatan (328.457), Kalimatan Tengah (303.882), Kalimantan Barat (151.070), Kalimantan Selatan (136.428), Nusa Tenggara Timur (136.431), Papua (104.981), Riau (90.233), dan Jambi (56.593).

Dari luasan ini, luas lahan gambut terbakar 480.178 hektar. Rinciannya, Jambi (24.045), Sumatera Selatan (133.711), Kalimantan Barat (59.729), Kalimantan Selatan (11.305), Kalimantan Tengah (175.915), dan Papua (2.199).

“Bagaimana penanganan gambut yang sudah dilakukan, sampai bisa mengelurkan emisi besar? Besarnya emisi yang dilepaskan menunjukan betapa ekosistem gambut ini sangat penting,” katanya.

Bambang mengatakan, BMKG semula memprediksi Aceh dan Riau akan memasuki kemarau Februari. Meski begitu, katanya, karhutla tak bisa diprediksi kapan. Sejak awal Januari, karhutla sudah terjadi.

Dia meminta, langkah pencegahan karhutla tak sebatas jargon karena biaya pemerintah untuk pengendalian, bisa ditekan kalau pencegahan jalan.

Dia bilang, dana siap pakai BNPB sekitar Rp6,7 triliun, Rp3,7 triliun habis untuk pengendalian karhutla. “Betapa besar uang harus dikeluarkan. Semestinya sebagian dana itu bisa untuk tindakan pencegahan,” kata Bambang.

Dia meminta, pemerintah audit kepatuhan bagi perusahaan, mengecek alat kesiapsiagaan mereka dalam mencegah karhutla. Pencegahan jangan hanya lips service belaka. Penegakan hukum, katanya, harus jalan tanpa pandang bulu.

“Kita ingin tunjukkan pada dunia, penegakan hukum kita itu bukan mencari-cari kesalahan. Kalau mereka membakar gambut, tak boleh ditolelir.”

 

Keterangan foto utama: Personil polisi berhari-hari bantu pemadaman karhutla di Rimbo Panjang, Kampar, Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Siswa-siswi SD di Kolaka Timur, harus menggunakan masker karena kabut asap sudah pekat dari kebakaran lahan gambut yang sudah sekitar satu bulan ini. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version