Mongabay.co.id

Wabah Corona, Bencana Kesehatan dan Mitigasi Ekologi Budaya

Darurat Virus Corona sedang dihadapi dunia. Angkanya terus bertambah. Update hari ini diberitakan bahwa virus mematikan dari Kota Wuhan, Propinsi Hubei di Tiongkok telah menjangkau 21 negara dan menyebabkan 40 ribu orang lebih terinfeksi. Jumlah orang yang meninggal 1.018 jiwa. Angka ini pun bisa jadi semakin hari semakin bertambah.

Kasus Corona merupakan salah satu bentuk bencana kesehatan lingkungan. Salah satu mitigasi preventifnya adalah dengan kebersihan dan pelestarian lingkungan. Salah satu aspek yang dapat dioptimalkan adalah kontribusi budaya atau sistem pengetahuan lokal. Budaya adalah pemandu dan pemerkaya pembangunan berkelanjutan. Dimensi budaya penting diintegrasikan dengan aspek lain dalam mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.

 

Kekuatan Budaya

Pembangunan berkelanjutan merupakan proses pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan  (Brundtland, 1987). Pencapaian pembangunan berkelanjutan ditentukan oleh upaya melestarikan dan memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan ekonomi dan keadilan sosial.

Budaya memuat nilai-nilai luhur dan keyakinan sebagai pedoman, rencana perilaku, serta dasar memecahkan masalah yang berlaku antar generasi. Nilai tersebut meneguhkan keberpihakan budaya terhadap kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Baca juga:  Virus Corona, Mewabah di Wuhan Menyebar Cepat ke Seluruh Dunia

Misalnya dalam budaya Melayu mengenal pepatah “Menyimak Alam, Mengkaji Diri“. Nilai ini mengajarkan agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan, haruslah diawali melalui kajian yang cermat terhadap alam dan semua potensi yang ada (sumber daya alam), serta mengkaji pula kemampuan diri (sumber daya manusia).

 

Penampakan 3 Dimensi dari Virus Corona. Sumber: Wikipedia common, Dipergunakan dibawah lisensi atribusi CC 4.0. sumber asli https://www.scientificanimations.com/

 

Ada juga pepatah “Membangun Jangan Merosak, Membina Jangan Menyalah”. Nilai ini mengajarkan, agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan jangan sampai menyalahi ketentuan agama dan nilai-nilai budaya serta norma-norma sosial masyarakatnya.

Beberapa nilai lain adalah “Tanda orang berbudi pekerti, merusak alam ia jauhi, tanda ingat kehari tua, laut dijaga bumi dipelihara” dan “Kalau hidup hendak selamat, pelihara laut beserta selat, pelihara tanah berhutan lebat…” (Effendy, 2005).

Budaya Jawa oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I telah diletakkan dasar falsafah Hamemayu Hayuning Bawono bagi kehidupan masyarakat. Maknanya adalah komitmen untuk membuat bumi indah dan lestari.

Visi keharmonisan hidup dengan lingkungan selanjutnya terjabarkan dalam misi Hamengku Buwono, yang berarti memelihara bumi. Muara aplikatif dari nilai filosofis tersebut adalah terbentuknya sikap Satriya (Marwito, 2005).

Sikap ini membawa perilaku penuh tanggung jawab, konsisten, amanah, dinamis, dan obsesif.

Budaya Batak mengajarkan bahwa bumi sama dengan tanah, yang dalam bahasa Batak disebut tano memiliki satu kesatuan yang utuh (Pasaribu, 2011).  Kearifan lokal dari tano Batak pada dasarnya harus menjamin kelangsungan hidup suku Batak itu dari zaman ke zaman yakni dari zaman dahulu sampai kini dan pada zaman mendatang (Malau, 2013).

Baca juga: Presiden Jokowi Tekankan Pencegahan Bencana secara Menyeluruh

Dalam keyakinan orang Batak, air adalah awal kehidupan jasmani. Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia adalah perpaduan air tubuh manusia surgawi putra putri para Dewata. Naipospos (2007) juga menyebutkan bahwa dalam kebudayaan Batak sudah terbentuk pola hubungan antar manusia dengan Pencipta, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan lingkungannya.

Sehubungan dengan pesan Siboru Deak Parujar kepada keturunannya untuk “memelihara” bumi dengan segala isinya, terdapat pengertian untuk “memanfaatkan” bumi dengan segala isinya dengan arif dan bijaksana. Penganugerahan ini sekaligus pemaknaan pemberian warisan sebagai “ugasan” bagi Si raja Ihat Manisia dan keturunannya.

Manusia dan keturunannya diperkenalkan bahwa siapapun yang mencoba merusak bumi dan segala isinya akan dihukum Mulajadi Nabolon. Nagapadohaniaji yang semula merusak akhirnya melalui pengampunan berjanji akan menjaga.

Budaya Bali mengajarkan konsep Tri Hita Karana. Kebahagiaan manusia akan tercapai jika terjadi tiga hubungan yang harmonis. Ketiga elemen yang mesti berhubungan tersebut terdiri dari Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.

Parahyangan merupakan unit tempat suci (Pura) yang mencerminkan tentang Ketuhanan. Pawongan berupa unit dalam organisasi masyarakat adat sebagai perwujudan unsur antara sesama manusia. Palemahan berupa unit atau wilayah tertentu sebagai perwujudan unsur alam semesta atau lingkungan.

Budaya masyarakat Pulau Timor (NTT) mengenal konsep segitiga kehidupan “Mansian-Muit-Nasi, Na Bua” yang berarti manusia, ternak, dan hutan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling memiliki ketergantungan.

Prinsip ekosistem dan jejaring kehidupan yang saling hidup dan menghidupi sangat dihargai. Manusia mengartikan manfaat dari ternak dan hutan, ternak mencari makan di hutan dan manusia memelihara hutan. Jika salah satu dari ketiga unsur ini dipisahkan akan membawa dampak bagi unsur yang lain.

Semua suku dan adat di Indonesia memiliki kearifan lokal yang ramah lingkungan. Nilai-nilai inilah modal kuat bagi upaya pelestarian lingkungan. Faktanya banyak terjadi kesenjangan antara nilai budaya tersebut dengan perilaku sehari-hari.

Sairin (2009) menjelaskan bahwa budaya perilaku (behaviour culture) telah menjauh dari budaya idealis yang dicita-citakan (expected culture). Efeknya sebagaimana diperingatkan dalam Al Qur’an Surat Ar Rum (Ayat 41) yaitu terjadi kerusakan lingkungan disebabkan karena ulah tangan manusia.

 

Virus Corona. Disebut corona karena sekelompok virus yang memiliki penampilan “halo”, atau mahkota (corona) ketika dilihat di bawah mikroskop elektron. Sumber: Wikipedia. CDC/Dr. Fred Murphy. Dipergunakan dibawah lisensi atribusi CC 4.0.

 

Strategi Mitigasi

Manusia secara alamiah memiliki empat model budaya lingkungan, yaitu merusak, mengabaikan, memelihara, dan memperbaiki (Tasdiyanto, 2010). Model budaya mengabaikan dan merusak lingkungan hidup lebih cenderung terjadi dalam budaya rasional.

Sedangkan budaya memelihara dan memperbaiki lingkungan terjadi dalam budaya tradisional.  Perilaku manusia terhadap  lingkungan akan  direspon sesuai dengan model budayanya.

Hoff (1998) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan perubahan-perubahan sosial budaya, khususnya dalam nilai dan perilaku ramah lingkungan.

Tantangan besar telah menghadang di depan. Arus globalisasi bermuatan budaya modern semakin tak terbendung masuk ke Indonesia. Kearifan lokal yang ramah lingkungan dalam kondisi darurat dan terancam tereliminasi.

Gaya hidup yang materialis-hedonis telah menggeser sikap harmoni dengan alam (Hardjosoemantri, 2006). Konsekuensi atas fenomena ini menuntut upaya revitalisasi budaya dalam menggerakkan pembangunan berkelanjutan.

Pertama, kebijakan pemerintah mesti memperhatikan dinamika lingkungan dengan program-program konservasinya. Hamengku Buwono X (2008) menegaskan bahwa permasalahan pembangunan disebabkan  faktor kebijakan yang tidak berlandaskan budaya sendiri. Berbagai upaya mendesak dilakukan pemerintah. Misalnya melalui kampanye budaya ramah lingkungan, festival budaya untuk menjaga lingkungan, fasilitas ruang publik yang berkarakter budaya Jawa, dan lainnya.

Kedua, pendidikan kebumian dan lingkungan mesti digencarkan secara formal maupun non formal. Hal ini dimaskudkan guna mengenalkan pada generasi muda yang akan mewarisi estafet pembangunan. Kerangka konseptualnya dapat mengadopsi konsep Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development). Konsep pendidikan penting memasukkan muatan budaya lokal yang aplikatif bagi pelestarian lingkungan.

Ketiga, masyarakat perlu diberi informasi dan diajak mengaktualisasikan kearifan lokal untuk menjaga lingkungannya. Prinsipnya agar masyarakat mampu berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan serta menjamin keberlanjutan fungsinya. Seniman, budayawan, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan semua elemen mesti diberdayakan sebagai penggerak implementasi budaya ramah lingkungan.

Keempat, masyarakat penting dikuatkan pegangan fundamentalnya yaitu sisi spiritualisme. Al-Qardhawi (2002) menegaskan bahwa permasalahan lingkungan pada dasarnya merupakan persoalan moralitas sehingga solusi efektifnya adalah dengan revitalisasi nilai-nilai moral, keadilan, keramahan, dan sebagainya.

Spiritualisme hadir sebagai oase bagi dahaga moralitas manusia modern. Tesis tersebut menguatkan argumentasi untuk menempatkan agama sebagai landasan fundamental dalam pengelolaan lingkungan atau disebut ekospiritualisme. Umat penting disadarkan dengan sentuhan spiritual bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari bukti keimanan. Pembangunan mesti dilaksanakan secara ramah lingkungan.

Semua pihak dan semua sarana penting melek ekologi guna menjamin keberlanjutan pembangunan. Pemimpin mesti berkomitmen mengoptimalkan potensi budaya untuk pelestarian lingkungan sekaligus memitigasi wabah Corona.

 

* Ribut Lupiyanto, penulis adalah Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Accelaration). Artikel ini adalah opini dari penulis.

 

 

Exit mobile version