Mongabay.co.id

Wawancara Damayanti Buchori: Jika Tidak Ditata, Krisis Ekosistem Bakal Ancam Sumatera Selatan

Water bombing dilakukan setiap hari, tapi api terus menjalar di rawa gambut di Cengal yang kering selama kemarau. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Baca sebelumnya: Mungkinkah di Masa Mendatang Palembang “Tenggelam”?

**

 

Kelola Sendang [Sembilang-Dangku] merupakan proyek penataan lingkungan melalui pendekatan lanskap yang pertama kali di Sumatera Selatan. Proyek ini berjalan 2016 dan berakhir 2020.

KELOLA Sendang yang disponsori Pemerintah Inggris dan Norwegia, melalui UKCCU [United Kingdom Climate Change Unit] yang diimplementasikan ZSL [Zoological Society of London], merupakan proyek penataan lanskap di wilayah dataran rendah [lowland] Sumatera Selatan. Targetnya, kesadaran semua pihak terhadap wilayah dataran rendah agar ke depannya terjaga, sebagai ekosistem lestari.

Baca juga: Berbagai Proyek Dijalankan, Karhutla Tetap Terjadi di Sumatera Selatan. Mengapa?

 

Water bombing dilakukan di rawa gambut Cengal, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, saat terjadi kebakaran pada 24 Oktober 2019 lalu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Lanskap Sendang berupa kawasan mangrove, gambut, dan dataran rendah. Wilayah ini membentang dari Sembilang, bagian Taman Nasional Berbak Sembilang yang telah ditetapkan sebagai cagar biosfer di Kabupaten Banyuasin, hingga ke Suaka Margasatwa Dangku di Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], seluas 1,6 juta hektar.

Sebelum program dijalankan, lanskap ini menghadapi berbagai ancaman kerusakan ekosistem. Mulai dari perambahan lahan, kebakaran, sampah, hingga perburuan satwa dilindungi seperti harimau sumatera.

Berbagai agenda kerja dilakukan guna mengatasi atau mencegah berbagai persoalan tersebut. Namun, proyek yang idealnya berjalan setidaknya 20 tahun, harus berakhir pada 2020.

Baca: Foto Udara: Api Membara di Rawa Gambut Sumatera Selatan

 

Asap membumbung tinggi di lahan terbakar di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pada 24 Oktober 2019 lalu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di luar agenda kerjanya, KELOLA Sendang turut mendorong lahirnya Perda [Peraturan Daerah] Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lahan Gambut, serta mendorong Taman Nasional Berbak-Sembilang menjadi cagar biosfer.

Pembelajaran apa yang didapatkan kegiatan yang berjalan empat tahun tersebut? Mongabay Indonesia melakukan wawancara khusus dengan Dr. Damayanti Buchori, Guru Besar Institut Pertanian Bogor [IPB} yang menjabat Direktur Proyek KELOLA Sendang di kantornya, Jalan Diponegoro, Palembang, Kamis [23/1/2020].

Baca: Tiga Besar Persoalan Lingkungan Hidup yang Harus Diselesaikan Negara

 

Inilah rawa gambut di Kecamatan Cengal, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, yang sampai saat ini belum tersentuh program restorasi gambut, meskipun menjadi target restorasi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay Indonesia: KELOLA Sendang hanya berjalan empat tahun di Sumatera Selatan. Pembelajaran apa yang didapat?

Damayanti Buchori: [Tersenyum]. Banyak sekali. Tapi mungkin ada beberapa yang saya jelaskan, dan saya akan coba urai satu per satu. KELOLA Sendang ini memang masuk proyek lanskap. Lanskap itu menjadi kata besar. Lanskap berkelanjutan. Ketika kita masuk, kita harus mendefinisikan dulu apa yang perlu di-attack.

Pembelajaran pertama, untuk sebuah proyek lanskap, kita harus melibatkan semua stakeholder yang ada di sebuah lanskap. Berteman, berdiskusi, membangun dialog-dialog konstruktif dengan sesama land manager. Siapapun yang bekerja di lanskap tersebut. Kemitraan.

Pembelajaran kedua, pemerintah sangat penting. Untuk proyek lanskap ini, harus ada policy yang memang diturunkan. Di sinilah peran pemerintah, baik pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Kebersamaan antara private, public, and people betul-betul diimplementasikan dalam sebuah proyek lanskap. Government land.

 

Jembatan Ampera, Sungai Musi, dan permukiman warga diselimuti kabut asap pada Kamis [24/10/2019] siang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pembelajaran ketiga, di tingkat tapak. Ini memang bisa berbeda-beda. Karena tipologi dari culture, dari geofisik, itu tidak sama, sehingga intervensi di tingkat tapak bisa sangat lokal, spesifik. Tergantung permasalahan yang ada, tergantung budaya setempat. Sehingga pembelajarannya, kita sangat sadar, bahwa budaya, culture, itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah proyek lanskap.

Kita harus memahami masyarakat, baik lokal maupun pendatang, dengan berbagai macam kompleksitas dari society yang ada. Ini menyebabkan pendekatan lanskap adalah pendekatan memahami keunikan dari tiap-tiap lokasi. Intervensi yang diberikan berbeda.

Jadi, tidak bisa satu obat untuk semua. Kita harus menggali dulu, memahami dulu, baru memberikan intervensi yang tepat. Itu tiga pembelajaran besar yang bisa kami berikan.

 

Kendaraan menerobos banjir di Jalan Sudirman KM 7 Palembang, Sumatera Selatan [11/11/2018]. Banjir masih terjadi di Palembang saat penghujan tiba. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay Indonesia: Setelah bekerja empat tahun, apakah ibu setuju jika tata kelola air merupakan bagian terpenting dari lanskap yang ada di Sumatera Selatan?

Damayanti Buchori: Kita lihat di Sumatera Selatan ini, memang lowland menjadi karakteristiknya, terutama dalam kaitan dengan Proyek KELOLA Sendang yang bekerja di dataran rendah. Berdasarkan data yang ada, 35 persen kawasan di Sumatera Selatan merupakan lowland [luas Sumatera Selatan sekitar 8,7 juta hektar].

Jadi, memahami lowland, kita harus sadar bahwa daerah rawa, pasang surut, merupakan kondisi normal yang ada di Sumatera Selatan. Artinya, pembangunan ini harus memahami konteks geofisik seperti itu, sehingga di dalam salah satu kegiatan yang kami lakukan, memang kita melihat adanya future scenario.

 

Potret pembangunan rel LRT yang melintasi Sungai Musi Palembang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Future scenario ketika lowland yang seharusnya masih memiliki vegetasi yang cocok untuk lowland, kemudian diganti vegetasi lain, itu juga crushsader the future [menghancurkan masa depan].

Berdasarkan data yang diperoleh KELOLA Sendang, kami melakukan sebuah prediksi perkembangan banjir di masa mendatang [di Sumatera Selatan]. Di situ terlihat adanya risiko banjir akan meningkat di masa mendatang. Sehingga, tata kelola air menjadi sangat penting dalam memahami lanskap Sumatera Selatan.

 

Warga beraktiitas di anak Sungai Jakabaring yang mengering. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay Indonesia: Artinya KELOLA Sendang harus berlanjut jika dilihat dari impack yang akan dicapai?

Damayanti Buchori: [Tertawa] Nah, jawabannya tegas. Ya. KELOLA Sendang harus berlanjut karena baru berjalan empat tahun. Sebuah proyek lanskap itu berdasarkan teori yang ada, minimal harus 20 tahun. Karena lanskap itu harus long time, kita harus sampai ke impack. Itu memang belum terlihat karena kita baru bekerja empat tahun.

Tapi yang lebih penting lagi, dalam Proyek KELOLA Sendang kita baru saja berjalan dan trust building, membangun kepercayaan. itu baru tahap asik-asiknya. Sehingga, kalau kemudian putus, itu sayang sekali karena PR [Pekerjaan Rumah]-nya masih banyak. Banyak PR belum selesai. Kalau kita ingin membuat model pembangunan berkelanjutan, ini baru tahap awal, sehingga harus dilanjutkan.

 

Anak Sungai Musi, seperti Sungai Aur ini, tidak lagi berfungsi sebagai sungai yang menjadi sarana transportasi dan sumber air bersih. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay Indonesia: Kembali ke persoalan tata kelola air di Sumatera Selatan. Apakah ancaman banjir memang ada?

Damayanti Buchori: Sebetulnya, memang ada, mau dikatakan keunikan atau ironis [di Sumatera Selatan], ketika lanskap ini banyak lowland, yang airnya melimpah, seharusnya tidak terjadi kebakaran di kawasan lowland, pasang surut dan berawa ini.

Tapi masalahnya, ketika kawasan-kawasan lowland, bergambut ini kemudian diubah. Diubah fungsinya menjadi perkebunan. Daerah yang seharusnya tidak terbakar, justru sekarang sering terbakar. Jadi ada perubahan ekosistem yang diakibatkan oleh pembangunan. Menjadi ironis, lowland yang seharusnya basah, kok terbakar terus-menerus. Ini kalau tidak ditangani dengan baik, akan menjadi-jadi, menjadi sebuah krisis ekosistem di masa mendatang.

 

Damayanti Buchori [tengah, kacamata] saat bertemu dengan kelompok tani perempuan di Muara Medak, Kabupaten Muba, Sumsel, yang selalu terbakar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sumatera Selatan dengan penduduk 8,391 juta jiwa, yang mata pencahariannya sangat tergantung pada ekosistem itu, bisa menjadi sangat rawan. Rawan bencana, rawan kemiskinan. Sehingga, target-target yang kita harapkan yang meningkatkan livelihood, tidak akan tercapai karena eksosistemnya tidak ditangani dengan baik.

Ini bukan menakut-nakuti. Tapi sebagai akademisi, saya bicara berdasarkan data. Data itu ada, data mengenai risiko banjir, data sejarah kebakaran hutan. Bukti menunjukkan, kalau tata kelola air tidak dijalankan dengan baik, kemudian pengelolaan gambut tidak dilakukan dengan baik juga, bencana ke depan itu akan terjadi. Ini harus disikapi dengan sangat hati-hati.

 

 

Exit mobile version