Mongabay.co.id

Meninjau Lebih Dekat Pendekatan Lansekap untuk Kelestarian Gambut dan Hutan Kalbar

 

 

Sampan kayu bermesin 15 PK memasuki anak Sungai Mendawak. Air sungai berwarna hitam yang menandakan ia berada di wilayah gambut. Jika beruntung, kita dapat bertemu dengan ‘binatang pucuk’, sebuah istilah lokal untuk penyebutan berbagai jenis spesies, seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), owa (Hylobates muelleri) dan bekantan (Nasalis larvatus).

Di persimpangan sungai, anak sungai semakin menyempit saat sampan melaju ke pinggiran Hutan Lindung (HL) Gambut Mendawak. Di tepi sungai terpampang papan tanda situs keramat yang dipasang oleh perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Kawasan HL Mendawak memang berbatasan dengan dua perusahaan HTI yang berada dalam satu grup. PT Wana Subur Lestari (WSL) seluas 40.750 ha dan PT Mayangkara Tanaman Industri (MTI)  seluas 74.870 ha. Keduanya kongsi antara Alas Kusuma Grup dan Sumitomo Forestry.

Area ini juga meliputi Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) Kapuas-Jenuh yang ditujukan untuk upaya konservasi hutan rawa gambut. Luasnya sekitar 39 ribu hektar. Kawasan ini disebut-sebut sebagai satu kawasan gambut alam yang masih apik terjaga di Kalimantan Barat.

 

Orangutan kalimantan. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

Hutan dan gambut di area ini memang penting. Ia merupakan bagian dari Lansekap Kubu yang meliputi total luasan sebesar 732.266 hektar.  Lansekap ini memiliki variasi ekosistem yang  unik daerah tropis dengan adanya mangrove (57.011 hektar) dan gambut (456.750 hektar) yang sangat luas. Juga meliputi kawasan ekosistem sungai dan laut seluas 101.606 hektar.

Dari sisi administrasi, lansekap (landscape) ini meliputi berbagai penguasaan lahan, termasuk area konsesi hutan dari hutan alam, hutan tanaman, hingga perkebunan. Untuk itu, komitmen para pemangku kepentingan, -termasuk korporasi sebagai pemegang hak konsesi, menjadi penting.

Baca juga: Jadi Proyek Percontohan, Bagaimana Perkebunan Kayu Ini Kelola Gambut?

Mengacu pada Wardatuthoyyibah et al (2019) pendekatan lansekap menjadi penting. Studi atas keberadaan bekantan di Kalimantan, contohnya, menunjukkan hampir 40 persen kawasan yang sesuai untuk habitat spesies endemik ini berada di area konsesi. Adapun habitatnya di kawasan lindung hanya 9 persen.

Tanpa adanya pengelolaan lansekap yang terintegrasi, sudah tentu habitat satwa akan terpisah (fragmented). Satwa akan kesulitan mendapatkan konektivitas antar sub populasinya. Apalagi untuk spesies primata yang membutuhkan keberadaan pohon-pohon ukuran besar. Populasi mereka akan semakin rawan punah jika lahan berubah menjadi non bervegetasi tinggi, seperti jika digunakan untuk pertanian.

Upaya konservasi kawasan maupun spesies di kawasan tersebut harus saling terhubung dan berkesinambungan. Baik dari aspek ekologi, sosial, maupun ekonomi. Aspek-aspek tersebut dapat menjadi tonggak utama keberlangsungan ekosistem suatu wilayah.

Inilah yang lalu mendorong munculnya pendekatan lansekap. Penelitian Baeza and Estades (2010) dan Imron et al (2011) menekankan akan pentingnya kawasan konsesi logging yang berada disekitar kawasan konservasi turut untuk menyelamatkan spesies yang membutuhkan ruang yang luas.

 

***

“Sore biasanya mereka beristirahat,” tutur Tsuyoshi Kato, President Director PT WSL. Matanya tak lepas dari layar monitor drone. Di layar, tangannya merujuk pada beberapa titik di kanopi pohon. Dia kegirangan saat menjumpai beberapa ekor bekantan di layar monitor.

Sore menjelang malam itu, kami memang mencoba untuk mencari keberadaan jejak Indikasi keberadaan bekantan di tepi sungai. Satwa itu merupakan satwa arboreal, yang menghabiskan hidupnya di atas pohon.

Kondisi vegetasi sungai memang cukup baik, ia mendukung pergerakan bekantan agar ia dapat bergerak cukup leluasa.

Kato pun lalu mengambil salah satu daun yang berada dekat perahu. Dia mengindentifikasi pohon tersebut sebagai pohon ara (Ficus racemosa). Pohon ara dapat dijumpai di beberapa daerah hutan tropis dan daerah yang lembab, seperti di rawa, tepian sungai dan anak sungai.

 

Pengelolaan air yang dilakukan PT MTI. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Sejatinya, buah ara merupakan sumber pakan bagi satwa liar seperti jenis-jenis primata, burung pemakan buah dan kelelawar. Buahnya muncul dari batang pohon.

Kato lalu lanjut menuturkan. Sebutnya, dari hasil survey perusahaan mereka telah mendata keberadaan 70 individu orangutan dan 196 bekantan di 20 koloni. Bahkan dari video kamera jebak, mereka berhasil mendokumentasikan beberapa individu orangutan.

Video ini lalu bawa ke Pertemuan COP-25 yang lalu. Hasil temuan ini lalu mengundang decak kagum banyak pihak.

Kato menekankan komitmen perusahaan untuk menjaga keanekaragaman hayati pada ekosistem gambut dengan membuat koridor hijau sesuai regulasi pemerintah. Jika aturan larangan penanaman hingga 100 meter dari sempadan sungai, perusahaannya menjaga hingga 300 meter. Survey terhadap satwa dilindungi yang berada di kawasannya pun dilakukan secara regular.

“Ada penambahan jumlah individu orangutan dan bekantan di wilayah ini,” katanya.

Perusahaan katanya, juga tidak gunakan pupuk kimia dan herbisida yang bisa lakukan pencemaran air sungai. Secara berkala, perusahaan melakukan monitoring berkala terhadap aquatic species sesuai daur rantai makanan. Secara periodik, diambil data keberadaan ikan, kepiting, bentos bahkan serangga air di sungai.

Pada periode Oktober-November 2019, tim riset lingkungan perusahaan mengalami perjumpaan dengan pesut. “Ada lima atau enam pesut di sungai. Bagus sekali,” ujarnya.

Selain itu, salah satu indikator bahwa keberadaan suatu ekosistem sungai masih bebas dari jenis pupuk dan pestisida organik adalah serangga.

Edward Tang, tim riset dan konservasi perusahaan menyebut kawasan Sungai Keluang masih cocok sebagai habitat serangga, khususnya kunang-kunang. Serangga ini hidup di rawa-rawa, sempadan sungai dan hutan lahan basah.

“Keberadaan kunang-kunang jadi bio indikator lingkungan yang bersih,” sebutnya. Kunang-kunang  termasuk  dalam  golongan Lampyridae yang merupakan familia dalam ordo kumbang Coleoptera.

Kunang-kunang dapat mengeluarkan cahaya. Cahayanya ini dihasilkan “sinar dingin” yang tidak mengandung ultra violet maupun sinar infra merah dan memiliki panjang gelombang 510 sampai 670 nanometer, dengan warna merah pucat, kuning, atau hijau.

Tidak hanya bertanggungjawab terhadap konservasi lingkungan dan biodiversitas, perusahaan ini juga memikul tanggung jawab sosial. Ada 14 desa yang berada di dalam area konsesi. Saat mereka mendapat izin, seluruh desa tersebut telah lebih dulu ada.

“Di konsesi WSL ada 6 desa meliputi 16 dusun, sedangkan di MTI ada 8 desa meliputi 22 dusun,” ungkap Edward.

Dia sebut sekarang perusahaan tengah mencoba melakukan transfer teknologi buat masyarakat. Untuk itu mereka menggandeng Universitas Indonesia untuk melakukan survey potensi sosial. Salah satu hasil temuannya, adalah menjumpai potensi sekam padi di desa.

“Sekam padi masyarakat bisa digunakan untuk media tanam bibit kami,” kata Edward.

Rencananya, perusahaan juga akan mendampingi program tanam dan budidaya kayu laban yang bagus untuk arang. Sehingga ke depan, warga tidak lagi perlu menebangi mangrove yang dilindungi. Begitu pula dengan olahan hasil hutan bukan kayu, seperti madu dan budidaya tanaman sayuran.

Kato menambahkan, bahwa tujuan program kemitraan masyarakat adalah untuk memberdayakan dan mengubah pola pikir masyarakat. Selama ini warga masih mengandalkan kayu. Ia ibarat komoditas instan, sekali ditebang, langsung dapat dijual dan dapat uang.

Program budidaya ikan air tawar dan peternakan juga opsi yang akan dikembangkan untuk daerah sempadan sungai. Masyarakat akan diajarkan untuk mengolah pakan sendiri, dan perusahaan siap membeli hasilnya.

 

***

Dalam konteks pengelolaan lansekap, tentu saja upaya konservasi spesies berharga tidak akan sukses jika hanya dilakukan oleh satu atau dua perusahaan saja. Pasalnya, ruang hidup satwa di habitat gambut tidak bisa dibatasi dengan batas-batas administrasi. Komitmen serupa harus dilakukan oleh seluruh korporasi yang berada di sekitar HL Mendawak.

Selain PT Wana Subur Lestari (WSL) dan PT Mayangkara Tanaman Industri (MTI), juga ada PT Kandelia Alam, PT Ekosistem Khatulistiwa Lestari (EKL), PT Bina Silva Nusa (BSN), yang merupakan pemegang izin kawasan di wilayah Kabupaten Kubu Raya, Sanggau dan Ketapang itu.

 

Jalur monitoring untuk pengelolaan gambut. Foto: Asenty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Saat dijumpai, Cucun Hidayat, staf perencanaan dan sertifikasi PT Bina Silva Nusa, menyambut baik model terbaik konservasi berbasis lansekap.

“Kami bahkan mengubah Rencana Kerja Usaha karena beberapa bagian di dalam izin perusahaan terdapat kubah gambut,” ungkapnya.

Luasan areal nilai konservasi tinggi atau high conservation value (HCV) meliputi 44 persen dari luasan izin yang dimiliki. “Tahun ini kami melakukan kajian terbaru untuk kawasan HCV,” tambahnya.

Perusahaan, juga telah mengantongi sertifikasi Forest Stewardship Council Standarts (FSCS). Kata Cucun, sertifikasi ini menunjukkan perusahaannya melakukan penerapan standar tertinggi dalam pengelolaan hutan lestari. Sertifikasi tersebut menjamin produk kayu yang dihasilkan bebas deforestasi yang menjadi jaminan bagi pembeli kayu internasional.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanana, Adi Yani, secara terpisah, mengungkapkan konsep yang dilakukan PT WSL dan PT MTI bakal dijadikan pilot project untuk pengelolaan lansekap di Kalimantan Barat. Dia bilang, replikasi dari program perusahaan dapat dilakukan di perusahaan lain sehingga tiap pemegang konsesi dapat melaksanakan program konservasi di area kerja mereka.

“Tentu harus disesuaikan dengan kondisi perusahaan tersebut,” tutupnya.

 

Exit mobile version