- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan dua perusahaan hutan tanaman industri, PT Wana Subur Lestari (WSL) dan PT Mayangkara Tanaman Industri (MTI) di Kalimantan Barat, meneliti pengelolaan gambut yang baik.
- Luasan penelitian di areal sekitar 135.164,3 hektar, terbagi dalam 19.543,5 hektar di hutan lindung Mendawak, 40.750,8 hektar di area PT Wana Subur Lestari dan 74.870 hektar ada di area PT Mayangkara Tanaman Industri.
- Dalam tata kelola gambut, perusahaan antara lain bikin peta zonasi air, sebagai dasar perencanaan lanjutan, dalam membangun kanal sejajar kontur untuk mengatur tata air. Juga ada alokasi 20% dari konsesi untuk konservasi, di kubah gambut dan mengalokasikan areal untuk hydrological buffer zone.
- Guna menjaga keragaman hayati pada ekosistem gambut, perusahaan membuat koridor hijau dan survei intensif dua tahun sekali untuk populasi orangutan. Mereka juga menjaga tinggi muka air tanah gambut pada wilayah produksi tak lebih rendah dari 0,4 meter dari permukaan, bahkan pada saat kemarau. Pengawasan tinggi muka air tanah ini dipantau dengan sistem informasi sensory data transmission service assisted 3 (Sesame 3).
Tata kelola lahan gambut yang baik dapat meminimalkan kebakaran hutan dan lahan hingga mencegah pelepasan emisi karbon. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan dua perusahaan hutan tanaman industri, PT Wana Subur Lestari (WSL) dan PT Mayangkara Tanaman Industri (MTI) di Kalimantan Barat, meneliti pengelolaan gambut yang baik.
Balai Litbang dan Inovasi KLHK meneliti produktivitas tanaman pada lahan gambut yang gunakan sistem hidrologi terpadu. Rumusan penelitian ini akan jadi acuan dalam pengelolaan lahan gambut lestari pada seluruh perusahaan HTI.
Ada beberapa aspek yang diperhatikan, antara lain, tata kelola air, aspek pencegahan kebakaran, peningkatan produktivitas tanaman, penurunan emisi karbon dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Luasan penelitian di areal sekitar 135.164,3 hektar, terbagi dalam 19.543,5 hektar di hutan lindung Mendawak, 40.750,8 hektar di area WSL dan 74.870 hektar ada di area MTI. Lokasi ini berada pada kesatuan hidrologi gambut (KHG) Sungai Terentang-Sungai Kapuas, Sungai Kapuas-Sungai Mendawak dan Sungai Kualan-Sungai Laban, Kalimantan Barat.
”Ini jadi penelitian produktivitas dan hidrologi gambut terpadu secara intensif pertama dan terbesar di dunia pada ekosistem gambut,” kata Agus Justianto, Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK dalam peluncuran proyek percontohan penelitian pengelolaan lahan gambut bersama WSL dan MTI di Jakarta, baru-baru ini.
Lokasi ini sekalian jadi proyek percontohan dari International Tropical Peatland Center (ITPC) dan dikunjungi beberapa perwakilan negara yang memiliki gambut tropis, seperti, Republik Kongo.
Dengan pengaplikasian pengelolaan gambut lestari ini, kedua konsesi perusahaan tak mengalami kebakaran hutan dan lahan.
Data gambut, baik luasan maupun pengelolaan minim, hingga belum tercapai pengelolaan yang bertanggung jawab. Justianto berharap, percontohan ini bisa tereplikasi perusahaan HTI lain.
Peta zonasi air
Tsuyoshi Kato, Vice President Director WSL mengatakan, penerapan pengelolaan gambut berkelanjutan ini mampu menjaga gambut lestari, namun tetap memperhatikan pertumbuhan tanaman pokok, jenis Acacia crasicarpa.
Survei, katanya, langkah penting dalam memulai pengembangan HTI, dengan survei topografi lahan gambut agar dapat membuat peta zonasi air. ”Panjang transek survei mencapai sekitar 1.700 kilometer untuk menghasilkan peta topografi dengan interval 0,5 meter. Survei kedalaman gambut juga dilakukan di 1.400 titik dengan interval antara 100-500 meter. Seluruh lokasi kami survei untuk mendapat data akurat,” kata Kato.
Peta zonasi air, akan jadi dasar perencanaan lanjutan, MTI dan WSL dalam membangun kanal sejajar kontur untuk mengatur tata air. Dengan begitu, tanaman pokok mampu tumbuh tetapi gambut tak mengalami kekeringan hingga rentan terbakar.
Selain itu, pengelolaan lestari ini pun dilakukan dengan mengalokasikan 20% dari konsesi untuk tujuan konservasi, di kubah gambut dan mengalokasikan areal dengan tujuan hydrological buffer zone.
Luas konsesi WSL dan MTI sekitar 115.620,8 hektar, sudah ditanami Acacia crassicarpa seluas 22.000 hektar. Sedangkan luas hydrological buffer zone MTI 598,85 hektar dan WSL 683,6 hektar. Wilayah penyangga dan konservasi ditanami jenis lokal, seperti mabang (Shorea pachyphylla) dan jenis lain yang adaptif kondisi tinggi muka air tanah 0-20 cm.
Dengan kondisi itu, katanya, produksi tahun lalu mencapai 300.000 ton. “Tahun ini, diperkirakan masih sama dengan tahun lalu. Produksi ini juga sudah menguntungkan secara bisnis. Kami mengurangi biaya tanpa menggunakan pupuk dan hebisida.”
Perusahaan, katanya, mengoptimalkan simbiosis mutualisme antar tanaman dan organisme di wilayah itu. Bagi Kato, langkah ini penting dalam menjaga ekosistem. ”Teknik ini penting untuk menjaga jantung dunia.”
Guna menjaga keragaman hayati pada ekosistem gambut, WSL membuat koridor hijau dan survei intensif dua tahun sekali untuk populasi orangutan. Hasilnya, ada peningkatan individu satwa liar dilindunngi di kawasan HTI.
Mereka juga menjaga tinggi muka air tanah gambut pada wilayah produksi tak lebih rendah dari 0,4 meter dari permukaan, bahkan pada saat kemarau. Pengawasan tinggi muka air tanah ini dipantau dengan sistem informasi sensory data transmission service assisted 3 (Sesame 3).
Dia katakan, di konsesi sudah 52 hari tanpa hujan tetapi tinggi muka air tanah tak lebih rendah dari 0,4 meter. ”Gambut masih lembab dan tidak ada kebakaran.”
Keterangan foto utama: Ilustrasi. Tata kelola gambut harus baik guna menghindari berbagai bencana, seperti kebakaran kala kemarau atau kebanjiran kala hujan . Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia