Mongabay.co.id

Bernyali Ditengah Senjakala Tebing Kapur Rajamandala

 

Berkegiatan alam bebas, tak melulu menyalurkan hobi. Tetapi bisa juga menyuarakan konservasi.

Seorang pria bule menunjukan kebolehannya berjalan pada seutas tali yang terbentang di antara bebatuan tebing karst Hawu, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, penghujung Januari lalu. Juanjo Sanchez, warga negara Ekuador itu berjalan mengendap – ngendap berupaya keras menyeimbangkan badan pada tali webbing yang dipasang sepanjang 200 meter.

Namun rupanya jatuh tak bisa dihindari. Juanjo bergelantungan di ketinggian lebih dari 100 meter dari permukaan tanah. Kendati begitu, mimik wajahnya sumringah diiringi tawa lepas. Pasalnya, ia mencoba berjalan di atas tali terpanjang se-Indonesia.

“Ini luar biasa. Andrenalin di sini sangat memukau,” katanya dalam bahasa Inggris.

Itulah highline. Salah satu cabang olahraga extreme slackline. Olahraga yang menitikberatkan pada keseimbangan di atas ketinggian tertentu. Tentunya, kegiatan outdoor activity semacam ini sudah dilengkapi peralatan safety first.

baca : Eksploitasi Karst Citatah, Kegiatan Merusak yang Mengundang Bencana

 

Penggiat Slackline berjalan melintasi tali saat Bandung Highline Festival di Gunung Hawu, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akhir penghujung Januari. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Juanjo asyik menikmati sensasi “main” di Tebing Hawu. Sepanjang melakukan highline, ia tampak mencoba beragam gaya. Hal serupa juga dilakukan Vyazigin Ilyal Penggiat Line Wolker asal Rusia. Ilyal bahkan duduk terlentang pada tali berdiameter 10 sentimeter.

“Saya baru pertama main di sini dan tebingnya unik sekali,” ucap Ilyal.

Mereka bertemu di Bandung High Line. Ajang berkumpulnya para penyuka slackline yang digagas Komunitas Pushing Panda.

Ketua Pushing Panda, Dadeng Mulyana (37), mengatakan Bandung High Line merupakan agenda rutinan setiap tahun. Selain, untuk beradu nyali sekaligus berlatih. Tujuan lain adalah menyalakan kepedulian terhadap keberlanjutan karst.

Pushing Panda kerap menggelar latihan di Hawu sebagai bentuk perhatian terhadap masalah akut terkait aktivitas penambangan. Mereka dibuat cemas oleh lenyapnya bukit-bukit yang selama ini menjadi tempat bermain.

baca juga : Goa Pawon, Rumah Manusia Purba yang Terancam Tambang Kapur

 

Penggiat Slackline berjalan melintasi tali saat Bandung Highline Festival di Gunung Hawu, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akhir penghujung Januari. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dari atas tebing tampak lembah hijau nan subur terhampar. Namun, wajah perbukitan karst Citatah kian carut marut.

Di punggung tebing lain, traktor dan peralatan berat tak kalah sibuk. Alat berat tersebut mencabik perut bukit hingga membuat rongga besar. Kadang terdengar sayup suara dentuman dinamit merontokkan dinding batu kapur.

Pemandangan membosankan juga terasa di jalan kawasan karst Citatah. Mobil pribadi dan kendaraan kecil harus berjalan lambat mengekor truk biawak (sebutan warga setempat untuk truk tua bermoncong pengangkut batu kapur) yang merayap dengan raungan kencang. Apalagi asap knalpot dan debu material yang tersapu angin kerap menutupi pandangan.

Truk itu mengangkut batu kapur berukuran raksasa. Bongkahan itu menjadi incaran perusahaan semen sebagai salah satu bahan bakunya. Tak hanya kapur, ada juga gamping, dan granit, dari lahan yang seharusnya menjadi kawasan konservasi itu juga ditambang.

Secara administratif kawasan karst Citatah termasuk kedalam Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, dengan luas wilayah 10.320 hektar, berupa lahan sawah 1.794 hektar dan tanah darat 8.526 ha.

Menurut Forum Pemuda Peduli Karst Citatah, Deden Syarif Hidayat, lebih dari setengah warga di kawasan Padalarang menggantungkan hidupnya pada hasil penambangan kapur. Meskipun begitu, keuntungan rupiah yang didapat dari hasil menambang karts masih jauh dari sejahtera. Rata-rata, penghasilan masyarakat berkisar Rp50.000 – Rp70.000.

Jika ditelisik, sepintas aktivitas penambangan di Citatah seperti penambangan raksasa. Namun, eksploitasi kapur di kawasan itu ternyata cuma dikategorikan tambang rakyat. Deden menyebut, setidaknya ada 30 pabrik besar pengolah karst.

perlu dibaca : Kenapa Karst Karawang Selatan Perlu Diselamatkan? Ternyata Ini Alasannya…

 

Penggiat Slackline berjalan melintasi tali saat Bandung Highline Festival di Gunung Hawu, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akhir penghujung Januari. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hilang

Karst bukan sekadar bukit gamping, melainkan ekosistem khusus yang unik. Sialnya, karst telah menyusut oleh aktivitas ekstraktif.

Berdasarkan catatan Walhi, kontrak pertama dikeluarkan pada 1995. Adapun izin terakhir akan diteken pada 2012. Ketua Walhi Jabar Meiki Paedong menuturkan, pengawasan terhadap penambangan terbilang alpa.

Sebab, para investor kerap terbebas dari kewajiban merehabilitasi kerusakan lahan. Bahkan sejauh ini belum ada upaya penindakan terhadap pabrik pelanggar.

Akibatnya, kawasan karst Citatah kini rusak parah. Beberapa penelitan tentang karst Citatah menyebut penambangan besar-besaran telah memporakporandakan kawasan laboratorium sejarah alami itu.

Tebing gamping perbukitan berketinggian antara 700-900 meter di atas permukaan laut merupakan sejarah pengeringan Danau Bandung Purba. Dimana Sungai Citarum berhasil mengeringkan danau Bandung setelah membobol sebagian dari Perbukitan Rajamandala yaitu di Sang Hyang Tikoro.

Selain itu, Karst Citatah diketahui pernah menjadi rumah manusia prasejarah yang melakukan migrasi dari daratan Asia yang luas. Terbukti, pada penggalian tahun 1999-2003, di Goa Pawon ditemukan fosil homo sapiens berusia 10.000-5.000 tahun.

Tak hanya berpotensi menghapus jejak sejarah. Eksploitasi tambang berimbas pada kerusakan lingkungan. Dulu, sebelum lubang raksasa menganga di antara bukit kapur, banyak mata air mengalir ke kampung – kampung sekitar karst.

Situ Ciburuy, misalnya, danau kecil satu-satunya di wilayah ini, ikut merana. Di musim kemarau, situ itu tak ubahnya seperti kolam. “Situ Ciburuy sering surut. Dulu mah tak pernah kehabisan air,” kata Asep warga sekitar.

Bila melintas di sepanjang kawasan Citatah, nyaris tak ada bukit yang terlihat utuh. Meiki memprediksi kerusakan karst Citatah lebih dari 60 persen.

Kerusakan alam oleh aktivitas penambangan tak sebanding dengan fulus yang mengalir ke kocek pemerintah. “Jumlah pendapatan asli daerah dari seluruh sektor pertambangan juga tak diketahui. Berapa yang mereka bayar, dan berapa yang negara terima, tidak jelas,” ujar Meiki. “Entahlah. Seharusnya transparan. Tapi kenyataanya tidak begitu.”

Titah moratorium sebenarnya sudah dilakukan Pemprov Jabar pada 2012 lalu. Masa itu Wakil Gubernur Jabar Periode 2008 – 2012 Dede Yusuf sudah melarang aktivitas pertambangan di Citatah. Kenyataan hingga kini, kegiatan tambang nyaris tak terkendali hingga melibas bukit-bukit kapur yang seharusnya dilindungi.

Anggota Masyarakat Geografi Indonesia, T. Bachtiar prihatin. Proses geologi yang terjadi sekian lama itu menghasilkan permukaan yang luar biasa, dari pembentukan lubang-lubang vertikal, sungai-sungai, dan mata air bawah tanah, hingga gua serta sistem drainase bawah tanah yang kompleks rusak parah.

“Padahal semua karst sebagai kawasan penyimpan air yang baik. Air bisa tersimpan di bawah karst cukup lama,” kata Penulis Buku Bandung Purba ini.

Penambangan akan merusak siklus hidrologi di karst. Dipastikan fungsi sebagai deposit air yang menghidupi warga di sekitarnya akan hilang.

baca juga :  Asyiknya Bermain Sekaligus Konservasi Di Tebing Padalarang

 

Daerah pemukiman di Padaralang Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, yang mulai padati. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Penindakan

Perihal penanggulangan, Pemerintah pusat dan Provinsi Jabar sebenarnya telah menerbitkan peraturan perlindungan kawasan karst. Melalui Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). Keputusannya, karst bagian dari karst Rajamandala memanjang dari Tagog Apu di Padalarang hingga Sukabumi hanya seluas mencakup 375 hektare yang terlindungi.

Tidak terkendalinya penambangan membuat perbukitan karst nyaris terpapas habis. Menyisakan yang tersisa di antaranya Gowa Paon, Tebing 125 dan Hawu. Itupun karena di sana masih dilakukan kegiatan penelitian dan panjat tebing.

Sementara itu, Kabid Pertambangan Dinas ESDM Jabar, Tubagus Nugraha menyebut penerbitan izin menjadi masalah. Setidaknya ada 417 tambang tak berizin di Jabar.

Tahun ini, katanya, Pemprov Jabar berencana melakukan pembinaan dan penindakan bekerjasama dengan aparat penegak hukum menyoal tambang ilegal. Inventarisir izin pertambang menjadi langkah awal pemerintah.

“Tindakan ini bertujuan untuk mencegah adanya kehilangan atau pencurian kekayaan negara dengan tidak membayar pajak sekaligus meminimalisir kerusakan lingkungan,” papar Tubagus.

Kendati masih wacana, penindakan tambang yang merusak ekologi mendesak disegerakan. Pemerintah diminta tegas melakukan moratorium industri yang berpotensi memperburuk daya dukung lingkungan. Hal ini karena daya dukung lingkungan di provinsi berpenduduk 45 juta ini sudah kritis, dibuktikan dengan tren kenaikan suhu dan bencana hidrometerologi.

 

Exit mobile version