Kahfi Julpianto (22) terperangah saat memasuki Goa Pawon. Setelah menempuh perjalanan dua jam dari Kota Bandung, Jawa Barat, mahasiswa tingkat akhir perguruan tinggi swasta ini tak mengira, di balik Kasrt Citatah yang hampir habis ditambang terdapat situs arkeologi.
“Saya baru tahu, di sini tempat bersejarah,” ucapnya.
“Saya pikir hanya tambang kapur saja. Ternyata keliru,” sahut Malik teman Kahfi.
Kawasan Karst Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, merupakan perbukitan gamping dengan ketinggian antara 700-900 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini diketahui sebagai rumah manusia prasejarah yang melakukan migrasi dari Asia daratan.
“Goa Pawon adalah gudang pengetahuan tentang manusia pertama penghuni Bandung,” kata arkeolog Balai Arkeologi (Balar) Bandung Lutfi Yondri, di depan replika kerangka manusia prasejarah, awal Desember 2018.
Menyibak manusia prasejarah merupakan rangkaian aktivitas penelitian arkeologi yang dimulai sejak 2003. Balar Bandung yang melakukan penggalian selama 15 tahun, menemukan tujuh kerangka manusia prasejarah dengan rentang waktu 5.000 – 12.000 tahun silam.
“Banyak temuan besar yang sangat berharga, semisal perkembangan periodisasi budaya manusia terdahulu,” lanjut Lutfi.
Baca: Eksploitasi Karst Citatah, Kegiatan Merusak yang Mengundang Bencana
Tak hanya kerangka yang didapat. Ada juga alat-alat berupa sulam, serpil, lancipan dan mata panah yang terbuat dari batu obsidian. Kebudayaan manusia Pawon, diduga sudah masuk tahapan berburu dan mengumpulkan makanan menggunakan alat tersebut.
Manusia prasejarah di Pawon juga diprediksi sering menjelajah. Ini diperkuat dengan temuan batu obsidian di sekitar Nagreg, Kabupaten Garut, dan dua kerangka di Kabupaten Subang.
Tahun 2018 ini, tim balar menemukan dua kerangka manusia tidak utuh. Menurut Lutfi, petunjuk ini mengarahkan bukti manusia Austronesia yang bermigrasi dari Asia Daratan menuju Indonesia. Berdasarkan analisis pertanggalan, diperkirakan usianya dua ribu tahun lalu.
“Sejauh ini, manusia Pawon lebih tua. Hasil ekskavasi menujukan ia berada di zaman mesolitik, di lapisan permukaan tanah terdapat tembikar. Kami juga menyimpulkan, periodisasinya dari rumpun Austronesia. Masih diteliti apakah ada kontak dengan budaya berikutnya,” terangnya.
Baca: Mongabay Travel : Asyiknya Bermain Sekaligus Konservasi Di Tebing Padalarang
Lutfi menuturkan, Jawa Barat memiliki banyak monumen prasejarah, terutama di wilayah selatan. Tidak lebih 50 kilometer dari Goa Pawon, misalnya, terdapat situs arkeologi berupa puden berundak di Gunung Padang, Cianjur. Situs ini membuktikan kepercayaan manusia prasejarah telah tumbuh sekaligus menunjukkan hubungan yang baik dengan lingkungan.
“Tapi, di sana tidak ditemukan manusianya. Yang jelas, manusia prasejarah menjadikan goa-goa sebagai tempat tinggal. Pawon masih lebih tua dari kebudayaan Toala di Lamoncong, Sulawesi Selatan,” katanya.
Lutfi mengatakan, penggalian terbaru menguatkan fakta pola migrasi manusia prasejarah. Adanya kemiripan di beberapa karst di Jawa Timur dan Jawa Tengah membuktikan manusia prasejarah pernah tinggal di Jawa Barat. Penguburan manusia yang terlipat juga ditemukan di Song Keplek di Pacitan, (5.900 tahun lalu), Song Gentong di Tulungagung, (8.760 tahun lalu), Song Terus di Pacitan, (9.200 tahun lalu), Goa Braholo di Gunung Kidul (9.780 tahun lalu) hingga menyebar ke arah timur Nusantara. Sesuai dengan cara penguburan di Goa Pawon.
“Mereka berpindah seiring migrasi hewan buruan. Artinya, pola yang terjadi masa itu adalah kebutuhan untuk bertahan hidup,” terangnya.
Baca: Opini: Karst, Habitat Biota dengan Fungsi Ekologis Penting yang Harus Dilindungi
Kerusakan
Kawasan Karst Citatah meliputi Goa Pawon, Pasir Pawon, Pasir Masigit, Pasir Bancana, Karang Panganten, Gunung Manik, Pasir Pabeasan, dan Gunung Hawu yang diambang kehancuran akibat kegiatan manusia moderen.
Berdasarkan hasil pantauan tim Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), ada 32 titik potensial di kawasan karst yang masuk lanskap Karst Rajamandala ini. Namun, hanya Goa Pawon yang sejauh ini berhasil diselamatkan. Sisanya, habis dieksploitasi untuk penambangan kapur.
“Selama kami meneliti, tidak ada regulasi mengenai zonasi. Ini penting untuk mengetahui wilayah yang dilindungi dan yang dimanfaatkan. Bahkan sekarang banyak goa hancur, padahal potensial untuk diteliti.
Contoh, Pasir Bancana adalah goa berbentuk vertikal dan horizontal. Saat ini rusak di semua sisi. Begitu juga goa di Pasir Masigit yang rusak di sisi timur, utara, dan selatan. “Padahal, tidak lebih 400 meter dari Goa Pawon, ditemukan serpihan tulang manusia. Pasca-penelitian lanjutan, ditemukan lagi 7 fragmen tulang kaki manusia. Usianya diperkirakan sama dengan manusia Pawon. Kini, lokasi tempat ditemukannya tulang itu rusak,” papar Lutfi.
Baca juga: Bagaimana Kondisi Ekologi Pulau Jawa Hari Ini?
Tangan pemerintah
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat kerap mengkritisi izin ekploitasi batu kapur. Menurut Dirut Wahli Jabar Dadan Ramdan, ada 34 pabrik besar yang izinnya sudah memasuki tahap akhir. Selain itu, kajian tentang Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang digulirkan pemerintah untuk melindungi karst tidaklah berdampak signifikan.
“Yang diusulkan menjadi KBAK sangat kecil. Padahal, karst perlu dikonservasi karena berkaitan dengan ketersediaan sumber air,” ujar Dadan dihubungi terpisah.
Peraturan yang dimaksud adalah UU No 24 Tahun 1992 tentang Perlindungan Kawasan Karst, UU No. 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya, UU No. 32 Tahun 2009 tentang KBAK, dan niat Pemerintah Kabupaten Bandung Barat melalui perda.
Ditengah masifnya eksploitasi yang merusak, muncul kesadaran masyarakat setempat untuk melindungi karst sebagai ruang hidup. Forum Pemuda Peduli Karst Citatah (FP2KC), misalnya, getol mempromosikan karst sebagai ruang bermain. Mereka “menjual” karst melalui pariwisata sebagai alternatif ekonomi lain.
“Bila karst rusak dan hancur tentu sangat merugikan masyarakat di berbagai bidang. Hari ini, satu kerugian sudah terbukti. Di beberapa desa tempat kami tinggal mulai merasakan kesulitan air. Dengan cara ini kami hanya ingin memepertahankan ekonomi tanpa harus merusak tempat hidup masyarakatnya,” ungkap Ketua FP2KC Deden Syarif Hidayat.
Hal yang diamini Abah Asep (75), mantan petambang kapur. “Semoga karst terjaga kelestariannya. Banyak mantan petambang di sini yang sudah hidup bersahabat dengan alam, menjadi petani jambu biji. Mereka, termasuk saya, tidak ingin merusak alam lagi,” tandasnya.