Mongabay.co.id

Jumlah Jenis dan Risiko Kepunahan Burung di Indonesia Meningkat

 

 

Jumlah jenis burung di Indonesia tahun 2020 sebanyak 1.794 spesies. Jika dibandingkan 2019, angka ini bertambah 21 jenis, dari sebelumnya 1.773 spesies.

Peningkatan ini diperoleh dari bertambahnya jenis burung baru [newly described species] yang ditemukan. Rinciannya, tujuh jenis burung baru, termasuk myzomela alor [Myzomela prawiradilagae] dan cabai kacamata [Dicaeum dayakorum], serta 14 jenis hasil pemisahan dari spesies sebelumnya [split species].

Achmad Ridha Junaid, Research & Communication Officer Burung Indonesia, dalam keterangan tertulisnya menyatakan, untuk menjadikan cabai kacamata atau Spectacled Flowerpecker sebagai jenis baru butuh kajian mendalam dan waktu panjang.

“Para ilmuwan memperkenalkan sebagai jenis baru dengan nama ilmiah Dicaeum dayakorum sebagai penghormatan kepada Suku Dayak yang memiliki pengetahuan mengagumkan tentang kekayaan tumbuhan dan hewan di wilayah mereka,” terangnya, Jumat, 14 Februari 2020.

Baca: Wallacea Adalah Sepenggal Surga di Bumi

 

Burung cucak rawa yang statusnya Kritis [Critically Endangered] berdasarkan IUCN. Foto: Alan Ow Yong/Burung Indonesia

 

Sementara, lima spesies baru lainnya adalah kipasan peleng, cikrak peleng, ceret taliabu, myzomela taliabu, dan cikrak taliabu. Sebagaimana namanya, dua jenis berasal dari Pulau Peleng [Sulawesi Tengah] dan tiga spesies lain ditemukan di Pulau Taliabu [Maluku Utara].

Menurut Junaid, perkembangan ilmu ornitologi dan taksonomi membuat penambahan jumlah spesies terus terjadi. Perbedaan yang ada, menyebabkan beberapa subspesies dinyatakan sebagai spesies berbeda, alias jenis sendiri.

“Untuk 14 jenis burung hasil pemisahan tersebut, terdiri tiga jenis uncal/merpati, tiga jenis nuri, satu jenis merbah/cucak, tiga jenis sikatan, dan empat jenis kacamata,” terangnya.

Baca: Dewi Malia Prawiradilaga akan Terus Menemukan Jenis Burung Baru

 

Cucak rawa yang statusnya tidak dilindungi. Foto: Alan Ow Yong/Burung Indonesia

 

Sementara, empat spesies yang sebelumnya dianggap sebagai spesies tersendiri di tahun 2019, berdasarkan studi terbaru 2019, ditetapkan masih dari subspesies sebelumnya.

“Sebut saja sikatan tanajampea [Cyornis djampeanus]. Jenis ini, yang sebelumnya dikatakan sebagai spesies endemik Pulau Tanajampea, ternyata masih memiliki kemiripan dengan sikatan sulawesi [Cyornis omissus]. Dengan begitu, sikatan tanajampea dikelompokkan dalam subspesies sikatan sulawesi,” papar Junaid.

Baca: Empat Dekade Penelitian, 457 Burung Dinyatakan Sebagai Spesies Baru

 

Burung cica-daun besar [Chloropsis sonnerati]. Foto: Alan Ow Yong/Burung Indonesia

 

Terkait burung Myzomela prawiradilagae, Dewi Malia Prawiradilaga, Profesor Riset Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, beberapa waktu lalu kepada Mongabay menyatakan kegembiraannya atas penghargaan tersebut.

Penamaan burung dari Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, memang mengacu nama Dewi. Bentuk apresiasi para peneliti atas kontribusi besar Dewi pada pengembangan penelitian ekologi dan konservasi burung di Indonesia.

“Berdasarkan informasi, sejak 1980-an Myzomela banyak yang belum diketahui jenisnya, apalagi di pulau-pulau kecil. Sudah ada yang mengidentifikasi dengan pengamatan dan jenis Myzomela memang banyak yang berbeda. Tapi, itu semua harus melalui uji molekuler dengan rentang waktu panjang,” terangnya.

Baca: Jenis Burung Khas Indonesia Bertambah di 2018

 

Myzomela prawiradilagae sebagai jenis baru. Foto: Philippe Verbelan/LIPI

 

Risiko kepunahan meningkat

Badan Konservasi Dunia [IUCN], akhir 2019, telah memperbarui Daftar Merah Spesies Terancam Punah [IUCN Red List of Threatened Species] terhadap 11.147 jenis burung di dunia.

Untuk Indonesia, berdasarkan daftar tersebut, delapan jenis burung mengalami peningkatan risiko kepunahan dan hanya satu jenis turun status.

Jenis yang naik status terancam punah adalah kerak kerbau [Acridotheres cinereus], empuloh janggut [Alophoixus bres], cica-daun jawa [Chloropsis cochinchinensis], cica-daun dahi-emas [Chloropsis media], cica-daun besar [Chloropsis sonnerati], nuri telinga-biru [Eos semilarvata], gosong tanimbar [Megapodius tenimberensis], dan kacamata jawa [Zosterops flavus].

“Peningkatan status keterancaman tentu saja menjadi tantangan upaya pelestarian burung di Indonesia. Perburuan, rusaknya habitat akibat degradasi hutan dan alih fungsi lahan masih menjadi ancama utama,” ujar Junaid.

Baca juga: Anis-Bentet Sangihe, Burung Kritis yang Dikeluarkan dari Daftar Dilindungi

 

Burung anis-bentet sangihe [Colluricincla sanghirensis] yang tidak dilindungi meski statusnya Kritis [CR]. Foto: Hanom Bashari

 

Hal yang patut diwaspadai, lanjut dia, adalah kondisi trulek jawa [Vanellus macropterus]. Jenis ini diperkirakan mengalami kepunahan di habitat aslinya.

IUCN menetapkan statusnya Critically Endangered-Possibly Extinct. “Tidak adanya catatan pertemuan dengan trulek jawa menyebabkan dinyatakan menghilang dari dataran rendah Pulau Jawa [endemik Jawa],” jelasnya.

 

 

Trulek jawa merupakan burung berukuran 27-29 cm dengan kepala hitam dan kaki panjang kekuningan. Kebiasaaannya berada di rawa, muara sungai, serta genangan air di lahan basah saat musim hujan. Perburuan, penangkapan, dan hilangnya habitat alami merupakan ancaman utama terhadap populasinya yang tergolong kecil.

Burung yang termasuk paling langka di dunia ini, terakhir kali terlihat pada 1939 di Pantai Meleman, pesisir selatan Jawa. Sejak itu, tidak pernah ada lagi catatan kehadirannya.

 

 

Exit mobile version