Mongabay.co.id

Tragedi Kemanusiaan Akan Terjadi Bila Pengelolaan Sampah Buruk

 

Sampah masih menjadi persoalan bagi Indonesia. Pasalnya sampah masih banyak dijumpai di kawasan-kawasan pemukiman. Selain di daratan, sampah juga masih banyak ditemukan di berbagai kawasan daerah pesisir pantai. Salah satunya di pantai utara Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Sepanjang garis pantai masih banyak dijumpai beraneka macam jenis sampah.

Umumnya sampah ini banyak dijumpai di tempat-tempat ramai, misalnya di tempat pelelangan ikan (TPI), wisata pantai, maupun dekat dengan pemukiman warga. Hal itu yang menyebabkan lautan ikut tercemar. Menurut data dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), volume sampah laut di Indonesia menyentuh angka 0,27 hingga 0,9 juta ton sampah per tahunnya.

Sedangkan di lautan, Indonesia diperkirakan menyumbang 0,48-1,29 juta metrik ton dari total 4,8 hingga 12,7 juta metrik ton per tahun sampah plastik ke lautan di dunia. Sayangnya potensi ini masih belum mampu untuk dimanfaatkan.

Pada tahun 2018, berdasarkan data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merilis timbulan sampah di Indonesia mencapai 65,79 ton. Total timbulan sampah tersebut dinilai jumlahnya menjadi semakin besar. Untuk itu diperlukan langkah nyata bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengubah kebiasaan buruk menghasilkan sampah menjadi lebih ramah lingkungan.

baca : Dua Elemen Penting untuk Bersihkan Laut dari Sampah Plastik

 

Bibir pantai yang dipenuhi berbagai macam sampah di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Peta Jalan Nasional

Indonesia memang telah bertekad mereduksi sampah plastik di laut sebesar 75% pada tahun 2025. Namun butuh kerja keras yang luar biasa agar tekad tersebut tak hanya berhenti pada wacana. Menurut Agus Supangat, aturan hukum yang tegas mutlak dibutuhkan agar komitmen terlaksana. Ketegasan ini diperlukan mengingat penggunaan plastik di Indonesia sudah sangat membudaya.

Penyusunan peta jalan nasional melalui koordinasi antar kementrian untuk mengurangi produksi plastik-mikroplastik dan penggunaanya juga tidak kalah penting. Dalam hal ini Peta jalan nasional diterjemahkan dalam berbagai aturan untuk mengurangi penggunaan produk plastik sekali pakai secara drastis, sekaligus menawarkan insentif guna mendukung pola produksi dan konsumsi berkelanjutan.

Agus berpendapat daur ulang dalam industri pun perlu digarisbawahi jika ingin mereduksi produksi bahan-bahan plastik yang berpotensi menumpuk di laut, misalnya mikroplastik dalam produk-produk perawatan pribadi. Pemerintah perlu merangkul produsen sehingga memiliki tanggungjawab terhadap siklus hidup produk-produknya.

Selain itu, peta jalan nasional penanganan sampah plastik menurutnya juga perlu memberi ruang bagi inovasi aneka bahan ramah lingkungan, termasuk inovasi teknologi yang dapat mengatasi sampah plastik.

Lanjut dia, yang tidak kalah penting adalah merangkul masyarakat untuk melaksanakan kampanye 6R yaitu redesign (desain ulang), reduce ( mereduksi plastik sebagi bahan baku), remove (menghapus plastik sekali pakai), reuse (menggunakan kembali plastik yang masih bisa digunakan), recycle (daur ulang untuk menghindari limbah plastik), recover (pembakaran plastik secara ketat untuk produksi energi).

baca juga : Bibit Ajak Anak-anak di Jogja Ubah Sampah jadi Mainan

 

Warga memilah sampah dari rumah. Gerakan pilah sampah dari rumah akan mempermudah penggunaan sampah sebagai bahan baku untuk di daur ulang. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Muhammad Taufiq Shaleh Saguanto menunjukkan kreasi buatanya. Dari botol plastik bekas dia menciptakan berbagai miniatur satwa, alat transportasi, replika superhero dan robot. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Kerangka kerja tersebut kata salah seorang pengelola Barunastra Foundation ini juga perlu ditopang oleh kajian ilmiah sehingga masyarakat dapat memperoleh informasi tentang sumber serta aliran sampah plastik dan mikroplastik di laut.

Kajian tersebut mencakup titik masuk limbah-limbah plastik ke laut setelah menggali informasi dari sektor perikanan tangkap dan akuakultur, pelayaran dan lepas pantai, pariwisata, pengelolaan limbah, dan evaluasi terhadap peristiwa bencana (badai, tsunami, dan banjir pesisir). Garis pantai pun menurutnya perlu diidentifikasi secara berkala. Demikian pula komunikasi yang terbuka dengan masyarakat yang rentan.

Pria yang juga pecinta laut ini menjelaskan hal yang perlu dikaji adalah sumber dan jalur mikroplastik seperti jumlah mikroplastik primer dan skunder dan titik masuknya ke laut, kontribusi serat sintesis, fragmen ban kendaraan, ukuran, bentuk dan komposisi mikroplastik dari sumber yang berbeda (polimer dan aditif), pelet resin produsen plastik, titik-titik pelabuhan, sungai, atmosfer/udara, dan aliran limbah mikroplastik.

Lanjutnya, kajian semacam ini dapat menjadi peta jalan nasional sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam menjalankan komitmen bersama dalam mencegah dan mengurangi polusi laut secara signifikan pada tahun 2025. Mengingat betapa seriusnya bahaya sampah plastik di laut, tidak ada cara selain mengubah budaya penggunaan plastik dan mikroplastik secara aktif.

Kunci keberhasilannya terletak pada kesadaran seluruh masyarakat bahwa sampah plastik adalah musuh baru umat manusia. Pekerjaan berat ini tak dapat dilakukan sendirian. Pemerintah perlu selalu bersinergi.

perlu dibaca : Dusun Tohpati Belajar Memilah 5 Jenis Sampah

 

Petugas membuang sampah di kawasan kaki gunung Arjuno, Desa Junggo, Kecamatan Bumiaji, Batu, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Pengawasan Intensif

Sebagai salah satu negara dengan area laut terluas dunia, Indonesia tercatat sebagai pemasok sampah plastik dan mikroplastik terbesar kedua setelah Tiongkok. Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Bagong Sunyoto, menjelaskan sejauh ini penanganan sampah di Indonesia masih belum efektif baik itu di darat maupun lautan. Padahal pemerintah sudah membuatkan regulasi melalui Peraturan Presiden No.83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Selain itu, baru-baru ini pemerintah bahkan mengupayakan pengendalian salah satunya sampah plastik yang tidak ramah lingkungan sekarang ini dikenai bea cukai.

Namun, kurangnya ketegasan baik dari segi hukum dan pengawasan yang intensif membuat sampah belum tertangani dengan maksimal. Menurut Bagong, seharusnya ada satuan tugas atau semacam pasukan khusus yang dibayar untuk menangani soal sampah laut.

Akan tetapi sebelum ke persoalan sampah laut, sampah darat harus ditertibkan terlebih dahulu. Karena di daratan, hampir semua daerah mengalami permasalahan sampah. Di Indonesia misalnya, tidak sedikit yang merasa kewalahan. “Penanganan sampah di daerah itu ada yang 50 persen, 40 persen, bahkan ada yang di bawah itu,” ujar pria 54 tahun ini kepada Mongabay Indonesia, Rabu (19/02/2020).

Lanjutnya, karena pengelolaan yang rendah itu pada akhirnya terjadi pembuangan liar. Misalnya seperti di pekarangan kosong, di bekas gailan tanah, saluran air, di daerah aliran sungai (DAS) dan badan kali yang kemudian terbawa air menuju ke laut. Sampah laut mayoritas kiriman dari daratan

baca juga : Uniknya Nikah Minim Sampah

 

Beberapa ekor kambing mencari makan di tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Maka dari itu diperlukan satu model penanganan sampah pesisir, laut dan sungai. Tiga pola itu yang harus dibuatkan satu cara penanganan yang lebih efektif melibatkan berbagai pihak. Tentunya pengawasan dan juga penegakan hukumnya harus ketat. Permasalahan lain adalah berkembangnya area pemukiman disekitar DAS juga cukup mempengaruhi terjadinya pembuangan sampah liar.

Akibatnya banyak ditemui pembuangan sampah liar, artinya tidak ada ijin, diluar ketentuan pemerintah daerah sebagaimana RTRW, dan merupakan bentuk pelanggaran serius. Kasus-kasus pembuangan sampah liar misalnya terjadi di beberapa daerah di Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, dll.

“Permasalahannya sangat komplek. Meskipun sudah dibuat begini-begitu tetapi masih belum tertangani dengan baik. Kecuali kita melakukan revolusi penanganan sampah. Jadi, ada gerakan masif penanganan sampah menjadi skala prioritas,” kata Bagong yang juga Dewan Pengarah dan Pertimbangan Pengelolaan Sampah Nasional ini. Lanjutnya, anggaran-anggaran pengelolaan sampah itu harusnya ada 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Untuk sekarang ini masih kecil, baru 1,5 atau 2 persen.

Untuk itu, dengan adanya Hari Peduli Sampah Nasional yang rutin diperingati setiap 21 Februari mestinya bisa dijadikan refleksi atas peristiwa yang terjadi. Pemerintah dan masyarakat secara luas agar lebih peduli, dan memperhatikan dampak yang ditimbulkan sampah jika tidak ditangani dengan baik.

 

Warga mencari sampah di kawasan sungai Brantas saat air sungai surut di musim kemarau. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Dari kejadian tersebut menunjukkan satu perilaku tindakan buruk terhadap perlakuan sampah. Sampah yang dikelola dengan buruk itu akan menimbulkan malapetaka, akan mengakibatkan tragedi kemanusiaan. Artinya, itu bisa terjadi jika tidak taat pada standar hukum dan pandangan-pandangan ilmiah. Kalau sampah dikelola dengan cara standar ilmu yang benar dan sesuai perundang-undangan akan menghasilkan berkah.

Selama ini pengelolaan masih belum maksimal, bahkan cenderung stagnan dari dulu sampai sekarang. Sampah masih dipandang sebagai komoditas dan juga politik. Bukan untuk dikelola secara profesional. “Pencegahan dan penanganan sampah laut harus dimulai dari darat. Tertib di darat tertib di laut,” tutup Ketua Umum Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia itu.

 

Saat ini, Indonesia diperkirakan menyumbang 0,48-1,29 juta metrik ton dari total 4,8 hingga 12,7 juta metrik ton per tahun sampah plastik ke lautan di dunia. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version