Meski lekat dalam kehidupan sehari-hari, pengetahuan kita tentang plastik masih sangat minim. Kita tak sadar betapa plastik punya dampak amat merugikan, terutama jika sudah masuk laut. Kini, bom waktu sampah plastik telah meledak. Tak ada pilihan selain bergegas menemukan solusinya.
***
Sampah plastik bertebaran di segenap penjuru laut dunia. Berbagai pemberitaan media belakangan telah menunjukkannya secara gamblang. Tapi penggunaan plastik dan mikroplastik masih demikian tinggi sejak benda tersebut berkembang secara eksponensial di tahun 1950-an, ketika produksi plastik berskala besar dimulai. Daya tahan yang luar biasa menjadikannya sebagai barang favorit.
Pada saat bersamaan, manusia enggan atau bahkan tidak mampu mengelola sampah plastik secara efektif. Akibatnya, sampah plastik menjadi masalah global yang mempengaruhi hidup manusia dalam berbagai bidang, mulai dari lingkungan hingga sosial-ekonomi-politik. Seperti halnya polusi udara, sampah plastik dan mikroplastik menjadi isu lintas batas yang sifatnya makin kompleks.
baca : Kawasan Samudera Pasifik yang Dipenuhi Sampah Plastik kini Hampir Seluas Daratan Indonesia
Peringatan tentang bahaya sampah plastik sebenarnya sudah mulai didengungkan dalam berbagai literatur ilmiah pada awal 1970-an. Sayangnya, pesan ini hanya memicu segelintir reaksi dari komunitas ilmiah. Seiring ledakan populasi dunia, plastik makin massif diproduksi dengan berbagai variannya. Kita baru memberi perhatian serius pada dasawarsa terakhir, ketika ‘bom waktu‘ masalah plastik meledak.
Pemberitaan media tentang sampah-sampah plastik yang menutupi laut, menimbulkan penyakit, membuat lumba-lumba tersedak, menjerat kuda laut, dan membunuh banyak kehidupan lainnya, barulah menyadarkan kita bahwa sampah plastik merupakan musuh baru umat manusia.
Meski krisis sampah plastik telah memuncak jadi isu global, pengetahuan kita tentang plastik dan mikroplastik –termasuk dampaknya ketika mereka bermuara di laut –masih amat terbatas. Karut-marut ini jadi pekerjaan rumah berat mengingat manusia terlanjur bergantung pada plastik.
baca : Indonesia Serukan Penanganan Sampah Plastik di COP 23
Resolusi PBB Soal Sampah Plastik di Laut
Awal Desember 2017, Badan Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Nairobi, Kenya, mendeklarasikan sebuah resolusi tentang sampah plastik dan mikroplastik di laut. Intinya, negara-negara sepakat mencegah dan mengurangi polusi laut secara signifikan pada tahun 2025. Negara memprioritaskan kebijakan yang menghindari sampah plastik dan mikroplastik masuk lingkungan laut.
Sebagai tindak lanjut, dibentuklah kelompok kerja internasional untuk mengkaji opsi-opsi penanganan sampah di laut yang mengikat secara hukum. Langkah tersebut mendapat sambutan luas karena krisis sampah plastik di laut menjadi musuh baru yang dampaknya makin nyata. Tujuan utama kelompok kerja internasional ini adalah mencari cara melenyapkan sampah laut dalam jangka panjang.
Kelompok ini mendapati bahwa delapan juta ton sampah plastik masuk ke laut tiap tahun. Daya tahan plastik yang sangat tinggi membuatnya tak mudah terurai sehingga sulit dihilangkan begitu saja. Putaran arus laut mengangkut timbunan sampah plastik ke permukaan. Selain tak sedap dipandang, beragam spesies laut mengalami keracunan.
Data terkini menunjukkan bahwa sejak tahun 1950-an sembilan juta ton plastik telah diproduksi di seluruh dunia, dan setidaknya saat ini masih meninggalkan sampah sebesar tujuh juta ton. Penelitian terbaru lainnya juga menunjukan jumlah mikroplastik yang tersebar di lingkungan kini mencapai sekitar 51 triliun butir, atau setara 236 ribu metrik ton.
Jumlah produksi plastik sangatlah besar, dan diperkirakan akan terus meningkat kedepannya. Pada tahun 2014, produksi plastik kemasan dunia tercatat senilai $270 miliar dan diprediksi akan meningkat hingga $375 pada tahun 2030.
Spesies laut bukan satu-satunya makhluk hidup yang terdampak. Sampah plastik juga menjadi ancaman langsung kelangsungan hidup manusia, terutama bagi 400 juta populasi yang pangannya bergantung pada hewan laut (ikan, kerang, tiram, dan sebagainya). Selama ini, sektor perikanan telah terancam oleh eksploitasi berlebihan dan perubahan iklim. Timbunan sampah plastik membuat keadaan makin buruk. Terjadilah saling tunjuk antar negara soal siapa pelakunya.
baca : Sampah Plastik Semakin Ancam Laut Indonesia, Seperti Apa?
Pekerjaan Rumah Indonesia
Sebagai salah satu negara dengan area laut terluas dunia, Indonesia tercatat sebagai pemasok sampah plastik dan mikroplastik terbesar kedua setelah Tiongkok. Indonesia tidak dapat memungkiri fakta ini, terlebih berbagai video (baik media massa maupun independen) telah memperlihatkannya dengan begitu gamblang. Sampah plastik mengapung di seluruh penjuru dengan penanganan minim.
Indonesia memang telah bertekad mereduksi sampah plastik di laut sebesar 75% pada tahun 2025. Namun butuh kerja keras yang luar biasa agar tekad tersebut tak hanya berhenti pada wacana. Aturan hukum yang tegas mutlak dibutuhkan agar komitmen terlaksana. Ketegasan ini diperlukan mengingat penggunaan plastik di Indonesia sudah sangat membudaya.
Tak kalah penting adalah penyusunan peta jalan nasional melalui koordinasi antar kementerian untuk mengurangi produksi plastik-mikroplastik dan penggunaannya. Peta jalan nasional ini diterjemahkan dalam berbagai aturan untuk mengurangi penggunaan produk plastik sekali pakai secara drastis, sekaligus menawarkan insentif guna mendukung pola produksi dan konsumsi berkelanjutan.
Daur ulang dalam industri pun perlu digarisbawahi jika ingin mereduksi produksi bahan-bahan plastik yang berpotensi menumpuk di laut, misalnya mikroplastik dalam produk-produk perawatan pribadi. Dalam hal ini, pemerintah perlu merangkul produsen sehingga memiliki tanggungjawab terhadap siklus hidup produk-produknya.
Peta jalan nasional penanganan sampah plastik juga perlu memberi ruang bagi inovasi aneka bahan ramah lingkungan, termasuk inovasi teknologi yang dapat mengatasi sampah plastik.
Yang tak kalah penting adalah merangkul masyarakat untuk melaksanakan kampanye 6R yakni redesign (desain ulang), reduce (mereduksi plastik sebagai bahan baku), remove (menghapus plastik sekali pakai), reuse (menggunakan kembali plastik yang masih bisa digunakan), recycle (daur ulang untuk menghindari limbah plastik), recover (pembakaran plastik secara ketat untuk produksi energi).
Kerangka kerja tersebut perlu ditopang oleh kajian ilmiah sehingga masyarakat dapat memperoleh informasi tentang sumber serta aliran sampah plastik dan mikroplastik di laut.
baca : Miris.. Video Pari Manta Makan Sampah Plastik Ini Viral
Kajian tersebut mencakup titik masuk limbah-limbah plastik ke laut setelah menggali informasi dari sektor perikanan tangkap dan akuakultur, pelayaran dan lepas pantai, pariwisata, pengelolaan limbah, dan evaluasi terhadap peristiwa bencana (badai, tsunami, dan banjir pesisir). Garis pantai pun perlu diidentifikasi secara berkala. Demikian pula komunikasi yang terbuka dengan masyarakat rentan.
Hal lain yang perlu dikaji adalah sumber dan jalur mikroplastik seperti jumlah mikroplastik primer dan sekunder dan titik masuknya ke laut, kontribusi serat sintetis, fragmen ban kendaraan, ukuran, bentuk dan komposisi mikroplastik dari sumber yang berbeda (polimer dan aditif), pelet resin produsen plastik, titik-titik pelabuhan, sungai, atmosfer/udara, dan aliran limbah mikroplastik.
Kajian semacam ini dapat menjadi landasan bagi peta jalan nasional sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam menjalankan komitmen bersama dalam mencegah dan mengurangi polusi laut secara signifikan pada tahun 2025. Mengingat betapa seriusnya bahaya sampah plastik di laut, tidak ada cara selain mengubah budaya penggunaan plastik dan mikroplastik secara aktif.
Kunci keberhasilannya terletak pada kesadaran seluruh masyarakat bahwa sampah plastik adalah musuh baru umat manusia. Pekerjaan berat ini tak dapat dilakukan sendirian. Pemerintah perlu selalu bersinergi dengan para pemangku kepentingan seperti produsen, lembaga swadaya masyarakat, komunitas, hingga masyarakat yang selama ini rentan terdampak limbah plastik.
Sejalan dengan tema peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2018 yaitu beat plastic pollution dan Hari Laut Sedunia (World Ocean Day) 8 Juni 2018 yaitu “Mencegah Polusi Plastik dan Mendorong Solusi untuk Lautan Yang Sehat”, seharusnya kita tak membiarkan laut tercemar lebih lanjut. Laut adalah rumah, ruang hidup yang perlu kita jaga bersama. Bagaimanapun, limbah plastik lahir dari tangan manusia sehingga manusia pulalah yang mesti bertanggungjawab mengatasinya. Tak ada cara lain.
***
*Dr Agus Supangat, pencinta laut dan salah seorang pengelola Barunastra Foundation (http://barunastra.org). Artikel ini merupakan opini pribadi penulis.