- Perubahan lahan basah Sungai Musi dimulai dari masa Kesultanan Palembang dan pemerintahan Hindia Belanda. Tujuannya, untuk kepentingan perkebunan karet, persawahan padi, perkebunan tebu, peternakan kerbau, dan perikanan.
- Masyarakat yang mengelolanya selain masyarakat lokal [Suku Ogan, Suku Mesuji dan Suku Komering], juga para pendatang dari berbagai wilayah di Sumatera, Jawa, China dan India.
- Di masa lalu, berkebun hanya dilakukan di lahan kering atau talang. Saat ini, berkebun dilakukan juga di rawa yang dikeringkan.
- Perlu dilakukan upaya mengembalikan kondisi lahan basah sesuai fungsinya. Misalnya, merevitalisasi sungai, lebak atau rawa yang sudah rusak. Juga, menghentikan berbagai tindakan yang merusak sungai dan rawa, seperti ditimbun untuk dijadikan lokasi perkebunan, permukiman, serta pembangunan infrastruktur.
Baca sebelumnya:
Hujan Terus Turun, Ribuan Hektar Sawah di Sumatera Selatan Terancam Gagal Tanam
Menderitanya Petani Rawa Lebak di Sumatera Selatan Akibat Perubahan Iklim
**
Selama hampir satu abad, lahan basah Sungai Musi melepas jutaan ton karbon akibat aktivitas manusia. Kini, pelepasan karbon yang memicu perubahan iklim global dan kerusakan bentang alam, membuat ratusan ribu jiwa manusia menderita hidupnya. Penyebabnya aktivitas perikanan, pertanian, perkebunan, dan peternakan terganggu dan terancam hilang.
Sejak kapan lahan basah Sungai Musi mengalami perubahaan?
“Dimulai dari masa Kesultanan Palembang dan pemerintahan Hindia Belanda,” kata Ryllian Chandra, akademisi di FISIP UIN Raden Fatah Palembang, pertengahan April 2024 lalu.
Mengubah [tata kelola] lahan basah Sungai Musi tersebut tujuannya untuk kepentingan perkebunan karet, persawahan padi, perkebunan tebu, peternakan kerbau, dan perikanan.
Masyarakat yang mengelolanya selain masyarakat lokal [Suku Ogan, Suku Mesuji dan Suku Komering], juga para pendatang dari berbagai wilayah di Sumatera, Jawa, China dan India. Mereka ini bukan hanya membawa pengetahuan terkait tanaman karet, persawahan padi, juga berbagai ilmu pertukangan kayu [rumah, perahu dan kapal], kerajinan logam [emas, perak dan timah], tenun kain, serta penganan dari ikan.
“Wilayah lahan basah yang ditata ini menjadi makmur, sehingga menjadi sumber pajak kepada pemerintahan Kesultanan Palembang dan Hindia Belanda di Palembang,” kata Ryllian yang tengah melakukan penelitian tentang politik tata kelola air di Sumatera Selatan.
Wilayah lahan basah ini disebut sebagai “kepungutan”. Kepungutan berasal dari kata “pungut” yang artinya mengambil.
“Di awal abad ke-20 hingga menjelang kemerdekaan Indonesia, wilayah lahan basah tersebut sebagai salah satu sentra getah karet di Sumatera Selatan, termasuk juga pusat beras dan ikan,” ujar Ryllian.
Di masa lalu, beberapa wilayah lahan basah Sungai Musi dikenal sebagai sentra getah karet, beras, ikan, daging dan susu kerbau, serta buah hutan [duku dan durian]. Wilayah itu antara lain Pangkalan Lampam, Pampangan, Sirah Pulau Padang, dan Pedamaran di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], serta Pemulutan, Muara Penimbung, Burai, Tanjungraja, dan Muara Kuang di Kabupaten Ogan Ilir [OI], juga beberapa wilayah di Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir] seperti di Air Itam dan Tanah Abang.
“Keluarga kami dan sebagian besar warga di sini dulunya hidup makmur. Hasil beras dan ikan melimpah. Sekarang ini berubah jauh. Buat kebutuhan makan saja sulit,” kata Hambali, warga Desa Muara Penimbung Ulu, Kabupaten OI.
“Daerah ini sentra beras. Buah dan ikan juga banyak dihasilkan dari sini. Tapi cuaca yang selalu berubah dan banyak rawa yang ditimbun, menyebabkan penghasilan kami dari beras dan ikan perlahan berkurang,” kata Hendriansyah, warga Tanah Abang, Kabupaten PALI.
Risan atau arisan
Salah satu cara menata atau mengubah lahan basah Sungai Musi adalah dengan membuat kanal, guna menghubungkan lebak dengan sungai atau menghubungkan dua sungai. Fungsinya, selain sebagai sarana transportasi, jga mengatur air di lebak sehingga dapat ditanami padi dan habitat ikan [irigasi], menjaga kebun dari kebanjiran, serta sebagai pembatas kepemilikan pengelolaan.
Kanal ini disebut “risan” di wilayah OKI dan “arisan” di Ogan Ilir. Setiap kanal diberi nama para pemiliknya. Misalnya “risan Haji Ali”.
Pengubahan lahan basah ini membuat sebuah lanskap menjadi sejumlah wilayah, seperti permukiman [di tepi sungai], perkebunan [karet dan buah-buahan] di talang, persawahan di rawa, jalur transportasi [sungai dan kanal], serta perikanan di rawa dalam [lebung].
Sementara di Palembang dibuat sejumlah kanal yang disebut “kedukan”. Pemerintahan Hindia Belanda juga menimbun kawasan rawa dan sungai untuk permukiman dan jalan, serta membuat sejumlah kambang [danau kecil] sebagai penampung air.
Contohnya, sungai di belakang Benteng Kuto Besak dan Kantor Ledeng [Kantor Walikota Palembang] yang ditimbun lalu dibuat jalan [Jalan Merdeka], serta pembuatan kambang atau kolam besar [Kambang Iwak Besar dan Kambang Iwak Kecil] di Talang Semut sebagai penampungan atau pembuangan air di sekitar permukiman masyarakat Belanda.
Penimbunan rawa dan sungai juga dilakukan untuk membangun sejumlah pertokoan [rumah toko] seperti di Pasar 16 Ilir.
Warisan
Mengubah lahan basah Sungai Musi dengan cara membuat kanal, menimbun rawa, serta membuat kambang, terus menyebar dan diwariskan di masyarakat Sumatera Selatan. Misalnya, masyarakat Suku Bugis yang menetap di Pesisir Timur Sumatera Selatan, membuat kanal sebagai upaya pengeringan kawasan mangrove dan gambut untuk perkebunan kelapa dan persawahan.
Di masa pemerintahan Indonesia, khususnya dari masa Orde Baru hingga sekarang, pembuatan kanal dan penimbunan lahan basah Sungai Musi, menjadi pilihan utama untuk membangun kawasan permukiman, pertanian dan perkebunan transmigran, serta perkebunan skala besar. Sebut saja perkebunan sawit dan HTI [Hutan Tanaman Industri] dan pabrik milik puluhan perusahaan.
Di Palembang, penimbunan rawa dan sungai [reklamasi] terus berlangsung hingga saat ini. Misalnya dimulai dari penimbunan lahan basah di kawasan Gandus yang dijadikan perumahan dan Jalan Soekarno-Hatta, kawasan Jakabaring yang dijadikan permukiman, pasar, sarana olahraga, dan perkantoran.
Serta, penimbunan berbagai wilayah lahan basah di Kalidoni seperti Kenten dan Mata Merah, yang dijadikan permukiman dan sarana lainnya.
Di sisi lain, masyarakat terus menimbun rawa dan sungai untuk membangun rumah toko atau memperluas rumahnya. Ini terjadi di berbagai wilayah lahan basah seperti di Plaju, Kertapati, Sungai Batang, dan Gandus.
“Memanfaatkan rawa dan sungai dengan cara menimbun sudah menjadi pengetahuan di masyarakat, pelaku usaha dan mungkin para pelaksana pemerintahan,” kata Ryllian.
Perubahan komoditas
Mengapa lahan basah Sungai Musi saat ini lebih cepat mengalami kekeringan dan banjir?
“Terjadi pengeringan dan penimbungan rawa dan lebung yang diperuntukan bagi perkebunan. Kalau dulu dijadikan persawahan, yang masih mengikuti proses alami banjir dan kering yang disebabkan musim. Sementara sekarang, perkebunan seperti sawit membutuhkan lahan basah kering sepanjang tahun,” kata Dr. Yulian Junaidi dari Fakutas Pertanian Universitas Sriwijaya.
Selain itu, perkebunan saat ini lebih banyak membutuhkan lahan. “Kalau dulu perkebunan karet atau buah hanya memanfaatkan talang yang merupakan tanah kering, sementara saat ini perkebunan sawit dan HTI tidak hanya di talang juga di rawa dan lebung yang dikeringkan.”
Lahan basah Sungai Musi terdiri talang [tanah kering], rawang [rawa yang mengalami banjir dan kering], lebung [selalu tergenang air], dan sungai.
Di masa lalu, masyarakat lahan basah Sungai Musi menjadikan talang sebagai lokasi perkebunan [karet dan buah], rumah, dan pemakaman. Lalu, rawa dijadikan persawahan, lebung sebagai habitat ikan, serta sungai sebagai sarana transportasi.
Berdasarkan data HaKI [Hutan Kita Institut], dari tiga juta hektar luas lahan basah Sungai Musi, sekitar 1.123.119 hektar berubah fungsi. Sebanyak 17 perusahaan HTI menguasai sekitar 559.220 hektar, dan 70 perusahaan sawit menguasai 231.741 hektar. Sekitar 332.158 hektar dijadikan permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan jalan.
Solusi
Perubahan lahan basah Sungai Musi membuat bencana banjir dan kekeringan terjadi.
“Perubahan iklim global memperparah kondisi tersebut. Bukan tidak mungkin dalam lima tahun ke depan, masyarakat di lahan basah Sungai Musi mengalami krisis pangan dan tidak punya pendapatan lagi dari hasil alam,” kata Yulian.
Solusi yang harus dilakukan adalah mengembalikan kondisi lahan basah. Misalnya, merevitalisasi sungai, lebak atau rawa yang sudah rusak. Juga, menghentikan berbagai tindakan yang merusak sungai dan rawa, seperti ditimbun untuk dijadikan lokasi perkebunan, permukiman, serta infrastruktur.
“Infrastruktur seperti membangunan jalan dan rumah mungkin sulit untuk dicegah, tapi sebaiknya menggunakan tiang seperti yang dilakukan masyarakat di masa lalu,” ujarnya.