Mongabay.co.id

Respon Kota Lambat Tangani Banjir Bandung

 

Warga kota resah, setibanya musim basah. Curah hujan tinggi selama sebulan terakhir ini, bolak-balik merendam perumahan warga di Kawasan Bandung Raya.

Seperti sudah lumrah menggenangi. Limpasan air mengalir cepat tak terbendung. Tidak kurang dari 15 menit, tinggi air menggenangi rumah Ahmad Lutfi (30) di Komplek Perumahan Rajasanagara, Desa Cibiru, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jumat (7/2/2020).

“Tanggul dekat komplek perumahan jebol. Imbasnya, air menggenangi rumah setinggi 20-30 cm,” katanya.

Di Kawasan Bandung Timur, memang perumahan baru mengonversi lahan pertanian. Tanpa disertai infrastruktur dasar seperti drainase memadai. Akibatnya, kawasan terendah Bandung ini mulai kebanjiran.

Lutfi menggerutu. Dia menilai pihak developer tidak serius memperhitungkan air limpasan. Padahal, baru setahun menempati tempat tinggal barunya.

“Katanya perumahan bebas banjir, tapi kok begini. Fasilitas umum pun belum dibangun. Saya akan komplen,” keluhnya. Berdasarkan pantauan lapangan, setidaknya ada tiga komplek perumahan terendam banjir di Cibiru.

baca : Inovasi Infrastruktur Jadi Solusi Banjir 

 

Kondisi banjir di Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada awal Februari 2020.
Foto: Donny Iqbal/Mongabay

 

Di Bandung Selatan, apalagi. Banjir musiman mengepung 6 kecamatan. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat menunjukkan ada 6.328 rumah, 47 sekolah serta 47 sarana ibadah terendam air luapan Sungai Citarum. Bahkan, warga baik yang terdampak maupun mengungsi mencapai 35.419 jiwa.

Cemas di wajah Iis (43) muncul lagi seiring air merendam seisi rumahnya di Dayeuhkolot. Letaknya yang lebih rendah dengan permukaan Citarum jadi penyebabnya.

Tak banyak yang bisa dilakukan para warga pelanggan banjir. Selain menyelamatkan diri dan keluarga. Setidaknya sejak 30 tahun terakhir, tak ada perubahan. Hujan bisa datang kapan saja. Meluapkan Sungai Citarum yang dangkal.

 

Respon Kota Lambat

Banjir menurut ahli tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Denny Zulkaidi, tak semata karena tingginya curah air hujan. Minimnya infrakstruktur penanganan air limpasan juga menunjang banjir kian parah.

Selain curah hujan tinggi, sedimentasi dan penyempitan sungai, serta hunian padat menghambat laju air di daerah aliran sungai meningkatkan resiko. Dikutip Tempo, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat kapasitas pengairan Sungai Citarum 1.647 meter kubik per detik. Adapun total debit air dari delapan sungai di Citarum dapat mencapai 1.728 meter kubik per detik saat hujan deras.

“Fenomena banjir menjadi indikator lambatnya penguasa kota merespons pertumbuhan kotanya,” ujar Denny.

baca juga : Mereka Lelah Didera Banjir Berkepanjangan

 

Kondisi banjir di Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada awal Februari 2020.
Foto: Donny Iqbal/Mongabay

 

Denny menilai, kota-kota di sekitar Bandung tidak disiapkan dengan terencana menghadapi banjir. Dia mencontohkan Kota Bandung, yang semula didesain oleh Thomas Karsten hanya untuk menampung 750.000 penduduk dalam jangka waktu 25 tahun ke depan.

Dengan jumlah penduduk yang telah ditentukan itu, Belanda merancang Bandung sebagai Garden City atau Kota Taman. Katanya, Kota Bandung pernah memiliki banyak ruang terbuka hijau (RTH) yang menjadi resapan air.

Berdasarkan data Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan dan Pertamanan (DPKP3) Kota Bandung, jumlah RTH Kota Kembang berada di angka 12,15% atau setara 2.032 hektare dari luas kawasannya. Angka ini nyaris stagnan hampir 10 tahun.

Pemkot Bandung setidaknya perlu perluasan lahan RTH hingga 7,5% atau setara 1.254 hektare lahan agar ideal sesuai Undang-undang No.26/2007 tentang Penataan Ruang, RTH publik minimal 20% dan privat 10% dari luas wilayah kota.

Namun, Denny meragukan data tersebut. Jika ditelaah lebih detail, angka 12% mungkin tidaklah sesuai. “Sebab sekarang ruang terbuka publik dominan non hijau ketimbang RTH-nya,” ujarnya.

Lagipula, menurutnya, patokan RTH tak melulu mengejar angka ideal. “Ada hitungannya. resapan dan kebutuhan oksigen berbeda di setiap kota. Tergantung jumlah penduduk.”

Ketika para penguasa kota masih sibuk berencana, pertambahan penduduk Kota Bandung terus meningkat. Kini, kota itu harus menampung jumlah penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa pada 2018. Dengan kepadatan penduduk rata-rata 155 jiwa per hektar.

Imbasnya, RTH yang dibangun Belanda hilang menjadi kawasan terbangun. Padahal, konsep Belanda merancang kota mengutamakan aspek hidrologi.

Selain itu, Denny menambahkan, biasanya tata letak kotanya menyesuaikan kondisi geologi. Sehingga pembangunan ruang hidup bertumpu daya tampung dan daya dukung.

Akan tetapi, tengoklah Bandung kini. Jalan-jalannya macet, terutama saat hari libur. Sampah menjadi masalah yang tak teratasi. Taman-taman yang membuat Bandung terkenal sebagai kota taman hampir tak ada jejaknya lagi.

Masalah makin pelik. Sistem drainase Kota Bandung kerap menjadi sorotan ketika banjir melanda. Saluaran yang ada dinilai tak memadai membuang air dalam jumlah besar secara cepat.

perlu dibaca : Banjir di Kota Bandung, Akibat Buruknya Drainase

 

Kondisi banjir di Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada awal Februari 2020.
Foto: Donny Iqbal/Mongabay

 

Rencana pusat kota baru itu berada di Bandung timur, saat ini belum terealisasi. Namun, alih fungsi di lahan pertanian berupa sawah marak terjadi. Hal ini mendorong Pemkot Bandung mencari alternatif lain.

Pembangunan sejumlah infrastruktur pengendali banjir dibangun. Kolam retensi, basemen air dan tol air jadi andalan.

Meski demikian, pembangunan infrastruktur tersebut dinilai belum efektif meminimalisir banjir. Penyebabnya, buruknya perencanaan dan minimnya RTH sehingga daya resap air tidak optimal.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat Meiki W Paendong berpendapat, solusi yang dikerjakan pemerintah tak memiliki visi yang jelas. Pemerintah seperti tidak memiliki prioritas dalam membangun kotanya. Terutama mengatasi banjir.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Bandung 2018 – 2023, misalnya, tidak spesifik menjabarkan langkah penambahan RTH maupun penanganan banjir. Meiki khawatir, pembangunan tanpa arah ini justru menimbulkan masalah baru.

Agaknya, pembangunan basemen air di Jalan Pagarsih pada 2018 jadi salah satu contoh. Proyek tersebut bertujuan untuk mengatasi banjir akibat luapan Sungai Citepus. Setelah basemen air dioperasikan, banjir di jalan itu berkurang.

Akan tetapi, banjir di Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astanaanyar, di pinggir Sungai Citepus, semakin parah. Pada November 2019, ketinggian banjir bahkan mencapai 1,5 meter serta merendam puluhan rumah di daerah itu.

“Solusi mengatasi banjir perlu dikaji menyeluruh. Infrastruktur harus matang terutama mempertimbangkan aspek ekologis berdampak pada pengaturan RTRW yang baik,” ucap Meiki.

Meiki bilang, solusi saat ini terkesan responsif dan tambal sulam. Sebaiknya, cara lekas ditinggalkan. Pendekatan ekologis mesti diprioritaskan untuk mengimbangi pendekatan infrastruktur. Penambahan RTH dinilainya bakal lebih efektif mengatasi banjir.

baca juga : Banjir, Masalah Klasik Di Bandung Raya. Apa Solusinya?

 

Kondisi banjir di Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada awal Februari 2020.
Foto: Donny Iqbal/Mongabay

 

Peneliti Perkumpulan Inisiatif, Aang Kusmawan, berpendapat serupa. Program penanggulangan banjir di Kota Bandung tak konsisten. Pasalnya, inisiatif penyelesaiannya terkesan parsial serta tak sistematis.

Dia mencontohkan, tahun 2017, Pemkot Bandung mengalokasikan Rp157 miliar untuk program pengendalian banjir. “Program ini tidak ada di 2018 dan 2019. Bisa jadi nama program berganti. Semestinya ada program berkelanjutan agar lebih efektif dan terukur. Jangan sampai, pendekatan yang dilakukan seolah-olah mengatasi banjir tetapi sebenarnya tak menyentuh akar persoalan,” ujarnya.

Seyogyanya, kata Aang, dasar kebijakan solusi banjir ada ketika pemerintah tegas terhadap Perda Tata Ruang. “Karena di sana menunjukan adanya komitmen. Ada rencana yang matang.”

 

Lansekap Cekungan Bandung

Potret banjir di kota – kota di Bandung Raya menuntut kemauan politik dari para penguasa kota setempat untuk mendahulukan kebijakan pro-lingkungan. Seharusnya, fungsi Kawasan Bandung Utara adalah melindungi kawasan di bawahnya, yakni Cekungan Bandung, yang meliputi ibu kota Jawa Barat dan sekitarnya.

Tanpa disadari, kecenderungan pertambahan penduduk di kota Bandung masih akan terjadi pada tahun-tahun mendatang. Denny memprediksi, akan ada masalah besar bagi kota-kota di Cekungan Bandung. Yang nyata hari ini adalah krisis air dan ruang hidup yang cenderung tak nyaman.

 

Exit mobile version