Mongabay.co.id

KPA: RUU Cipta Kerja Ancam Reforma Agraria

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Ketimpangan penguasaan lahan antara pebisnis dan warga begitu tinggi di negeri ini. Pemerintahan Presiden Joko Widodo, mengusung reforma agraria dan perhutanan sosial guna memberikan distribusi lahan kepada warga. Niatan awal mempersempit jurang perbedaan ketimpangan kuasa lahan tampaknya bisa jadi sekadar rencana kala Rancangan UU Cipta Kerja hadir seolah hanya mewakili suara pebisnis.

“Dalam RUU Cipta Kerja ini membuat argumentasi, yang menghambat investasi adalah pengadaan tanah oleh investor dan sektor skala besar, itu yang tertulis di naskah akademik,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam temu media di Jakarta, pekan lalu.

RUU yang membawa penyederhanaan berbagai aturan ini, katanya, tanpa memperhitungkan dampak sosial, ekonomi, politik, budaya. Padahal, RUU ini menyasar pada pembangunan berbasis agraria di sektor pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, perisir-kelautan, properti dan infrastruktur.

Kalau sampai draf RUU ini jadi, katanya, tak hanya berdampak buruk bagi buruh di Indonesia, juga membahayakan sendi-sendi ekonomi kerakyatan, jaminan hak atas tanah dan keamanan wilayah hidup rakyat. Dari petani, masyarakat adat, buruh tani/kebun, nelayan, perempuan, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan.“Ini akan memperparah konflik agraria dan kemiskinan struktural di Indonesia.”

Dewi pesimis, agenda reforma agraria terlaksana kalau ada RUU ini. Pasalnya, banyak obyek reforma agraria untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan lahan malah jadi pro pemodal.

Berdasarkan catatan akhir tahun KPA (2019) terjadi 279 letusan konflik agraria seluas 734.239,3 hektar berdampak pada 109.042 keluarga. Selama lima tahun tahun terakhir terjadi 2.047 konflik agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir pulau-pulau kecil, pertanian, infrastruktur dan properti. Ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia mencapai 0.68, 1 % penduduk menguasai 68% tanah.

KPA menduga, banyak agenda terselubung kelompok pengusaha perkebunan skala besar dalam penguasaan tanah masuk lewat RUU ini. Keistimewaan pada korporasi pun terlihat dalam RUU ini, seperti masa berlaku hak guna usaha (HGU) selama 90 tahun langsung sejak permohonan awal. Seiring itu, ada penghapusan pasal-pasal penting soal sanksi kepada korporasi.

Dia contohkan, penghapusan Pasal 16 UU Perkebunan tentang kewajiban perkebunan mengusahakan lahan perkebunan dan sanksi bagi perusahaan yang tak jalankan kewajiban.

“Penghapusan pasal itu berpotensi menghilangkan status tanah terlantar, salah satu syarat hapus HGU dan UU Pokok Agraria.”

 

Saparuddin (40 tahun) memandang lahan keluarganya yang telah ditanami sawit PTPN XIV di Maroangin, Kabupaten Enrekang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Dengan hilangnya status tanah terlantar maka berpotensi menghambat reforma agraria dari perkebunan. Padahal, kata Dewi, salah satu obyek prioritas reforma agraria bagi rakyat adalah tanah-tanah (perkebunan) yang banyak telantar.

KPA menilai, terjemahan hak penguasaan lahan pada draf Pasal 129, makin menyimpang, negara seperti hendak menghidupkan kembali konsep domein verklaring zaman kolonial, yang tegas sudah dihapus dalam UUPA 1960.

”Ini jadi bentuk penyimpangan penguasaan dari negara, karena hak penguasaan lahan tidak ada dalam UU Pembaharuan Agraria dan yang selama ini menimbulkan konflik.”

Hak penguasaan lahan jadi jenis hak baru yang kuat dan luas, karena dapat diberikan kepada instansi pemerintah, BUMN/BUMD, badan hukum yang ditunjuk pemerintah termasuk lembaga bank tanah, atau bisa kerjasama dengan pihak ketiga.”Parahnya, hak pengelolaan lahan dapat diberikan 90 tahun, lalu di atasnya dapat terbit HGU, hak guna bangunan bagi investasi.”

RUU Pertanahan sangat pro pemodal pun tidak hanya langgeng dalam agenda prioritas legislasi nasional juga masuk dalam substansi RUU Cipta Kerja, seperti pembentukan lembaga bank tanah. Ia salah satu misi dalam RUU Pertanahan muncul dalam draf aturan ini.

Dalam naskah akademik dinyatakan, sebagai norma baru, alasan pembentukan bank tanah adalah mempercepat proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur.

Sejak awal, katanya, semangat bank tanah lebih berorientasi mendorong pasar tanah bebas dalam mendukung kebutuhan pengadaan tanah bagi kepentingan investasi kawasan ekonomi khusus (KEK), real estate, pariwisata, bisnis properti, pembangunan infrastruktur yang bersifat lapar tanah.

Anehnya, RUU ini mengklaim sebagai salah satu tujuan pembentukan bank tanah untuk kepentingan reforma agraria. KPA menilai, ini bentuk penyimpangan sekaligus pengkhianatan terhadap agenda reforma agraria.

“Kalau terbentuk, bank tanah justru memperparah situasi ketimpangan, konflik agraria, dan mempermudah proses-proses perampasan tanah atas nama pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, sekaligus menyuburkan praktik mafia tanah dan spekulan tanah,” kata Dewi.

Selain itu, sumber dari bank tanah adalah hak pengelolaan lahan yang bisa dipastikan akan makin meluas klaim tanah negara untuk dikelola lembaga bank tanah.

 

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Perampasan sampai alih fungsi lahan

Argumentasi tentang hambatan pengadaan lahan bagi investasi dan kegiatan bisnis ini, katanya, jadi jalan mempermudah perampasan, pergusuran, dan pelepasan hak tanah untuk kepentingan infrastruktur dan bisnis.

Kondisi bisa terjadi, seperti proses pengukuhkan kawasan hutan hanya menggunakan pendekatan penggunaan teknologi informasi dan satelit, tanpa melibatkan masyarakat atau pemerintah desa. Atau tak mempertimbangkan kondisi penguasaan tanah di lapangan. Keadaan ini, katanya, akan mempermudah perampasan tanah masyarakat adat dan petani di pinggiran atau dalam kawasan hutan.

“Pengadaan tanah tak dapat dilihat sebatas proses penyediaan tanah bagi pembangunan proyek infrastruktur semata, namun harus diperhitungkan dampak sistemik degradasi ekonomi, sosial dan budaya pada lokasi dan masyarakat terdampak.”

Yang sering terjadi, katanya, pengadaan tanah seringkali mengesampingkan prinsip keadilan. Bagi pihak penolak, bentuk dan besaran ganti rugi bisa titip di pengadilan negeri. Proses ini, katanya, mempermudah penggusuran tanah masyarakat.

Alih fungsi lahan pertanian masif terjadi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) November 2019 menyebutkan, luas lahan sawah pada 2012 mencapai 8 8.127.264 hektar dan terus menurun hingga 8.087.393 hektar. Penyusutan ini, katanya karena proyek besar seperti perkebunan sawit dan pembangunan pemukiman.

Bahkan, hasil kajian dan monitoring KPK terkait perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), menyebutkan, luas lahan baku sawah, baik beririgasi maupun non irigasi mengalami penurunan rata-rata 650.000 hektar per tahun.

Demi investasi non-pertanian RUU Cipta Kerja bermaksud mengubah UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk mempermudah alih fungsi lahan pertanian pangan untuk kepentingan pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK), real estate, tol, bandara, sarana pertambangan dan energi.

Kemudahan proses perizinan, seperti penghapusan keharusan kajian kelayakan strategis rencana alih fungsi tanah dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah akan mempercepat perubahan lanskap tanah pertanian di Indonesia.

”Akan terjadi krisis pertanian dan ketahanan pangan di Indonesia.”

Kalau laju konversi tanah pertanian tidak setop bahkan terlegalisasi melalui RUU ini, petani dan tanah pertanian akan terus menyusut dan kehilangan alat produksi mereka yakni tanah. Pertanian akan makin tergerus.

 

Keterangan foto utama:  Konflik lahan masyarakat dan PTPN di Sulawesi Selatan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version