Mongabay.co.id

Kebijakan Satu Peta Masih Abaikan Peta Kelola Rakyat

 

Kebijakan satu peta menjadi kebutuhan dasar untuk penyusunan agenda kebijakan nasional. Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan seluruh kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah untuk segera memanfaatkan satu peta indikatif informasi geospasial tematik sebagai landasan perencanaan tata ruang, dan penyelesaian berbagai masalah yang terkait dengan spasial di Indonesia.  (Media Indonesia (07/02/2020) “Satu Peta Geospasial Hindarkan Overlapping”).

Hal ini merupakan buah upaya tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 9/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (PKSP) pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Tujuannya agar perencanaan pembangunan merujuk pada data spasial akan dapat menghindarkan konflik dan tumpang tindih pemanfaatan lahan. 

Pada akhir tahun 2018 pemerintah telah meluncurkan Geoportal Kebijakan Satu Peta. Saat itu, dari 85 peta tematik ada 2 peta tematik yang belum terkompilasi dalam geoportal, yaitu peta tematik batas desa dan peta tanah ulayat atau peta wilayah adat.

Pada akhir 2019, Sekretariat Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta juga telah melaporkan penyelesaikan kegiatan kompilasi dan integrasi Informasi Geospasial Tematik (IGT) secara nasional sebanyak 84 dari 85 tema (99%) dari 19 K/L dan Pemda di 24 Provinsi. Adapun satu Tema IGT yang belum terintegrasi adalah Peta Batas Desa/Kelurahan skala 1:10.000.

Mencermati hal tersebut, penulis coba melakukan refleksi tentang apa yang telah dilakukan pemerintah dengan kebijakan satu peta dengan semangat partisipasi publik untuk mencapai agenda keadilan sosial.

Adapun pertanyaan refleksi tersebut tertuang dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1) Dimanakah letak posisi peta partisipatif yang menunjukan wilayah kelola rakyat, baik masyarakat adat maupun lokal dalam klaim pencapaian implementasi kebijakan satu peta tersebut?

2) Apakah peta tematik terkait peta batas desa dan peta tanah ulayat yang dijanjikan akan segera terintegrasi dan terakomodir pasca peluncuran geoportal kebijakan satu peta?

3) Sampai sejauh mana satu peta indikatif informasi geospasial tematik yang sudah dihasilkan oleh pemerintah bisa menyelesaikan konflik tumpang tinding ruang, tanpa adanya akomodasi terhadap wilayah kelola rakyat?

 

Lahirnya Kebijakan Satu Peta dan Sengkarut Kebijakan yang Mengaturnya

Proses penyusunan satu peta pada hakikatnya akan mencakup identifikasi dan kompilasi dari seluruh IGT yang dimiliki oleh 19 K/L sebagai wali data yang pada akhirnya akan bermuara pada sinkronisasi atau proses penyelarasan IGT.

Adapun Badan Informasi Geospasial (BIG) ditunjuk sebagai badan yang  bertanggung jawab dan berwenang atas Informasi Geospasial Dasar (peta dasar) dalam mengkonsolidasikan semua IGT.

Sebagai salah satu mandat dari Perpres, BIG menerbitkan Surat Keputusan (SK) Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 27/2019  tentang wali Data Informasi Geospasial Tematik sebagai pengganti SK Kepala BIG Nomor 54/2015.

Namun yang menjadi catatan adalah bahwa dalam SK baru nomenklatur “wilayah adat” ditiadakan, padahal sebelumnya ia telah terakomodir di dalam SK lama yang dibuat oleh Kepala BIG.

Baca juga: Kebijakan Satu Peta, Akses Data Ternyata Tetap Terbatas?

Ketiadaan nomenklatur wilayah adat ini lalu berdampak pada tidak adanya wali data (untuk wilayah adat atau masyarakat hukum adat) sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap informasi geospasial wilayah adat. Wali data ini menjadi penting karena menjadi bagian dari penjaminan data yang selanjutnya bakal diinterintegrasikan dan menjadi bagian rujukan dalam proses sinkronisasi penyelesaian tumpang tindih ruang dalam kebijakan satu peta.

Hal ini tentu berbeda, jika mengacu pada Perpres Nomor 9/2016, halaman 5 tentang Lampiran Rencana Aksi yang menyebutkan dengan jelas pada bagian “kolom kegiatan” mewujudkan IGT Tanah Ulayat dan pada “kolom keluaran” tertulis Peta Perda Tanah Ulayat, bahwa Penanggung Jawab Kementerian Dalam Negeri.

Rencana Aksi yang diatur dalam Perpres ini kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala BIG Nomor 13/2016 tentang Kelompok Kerja Nasional IGT (POKJA IGT), dimana Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tercantum sebagai Anggota IGT Masyarakat dan Hukum Adat.

Sebagai catatan, sebelumnya dalam lampiran tabel tema data dan walidata Keputusan Kepala BIG Nomor 54/2015, tercatat tema data yaitu Wilayah Adat dengan walidatanya adalah Direktorat Survei dan Pemetaan Tematik kementerian ATR/BPN.

Termutakhir, dalam SK Kepala BIG No. 27/2019, pada bagian kolom Tema Data, tercantum Tema Data Penetapan Hutan Adat dengan Walidata Direktorat PKTHA (Pengaduan Konflik Tenurial dan Hutan Adat) KLH, meski untuk Tema Data Wilayah Adat Berubah menjadi Tema Data Hak Komunal dengan Walidata Direktorat Survei dan Pemetaan Tematik kementerian ATR/BPN.

Namun yang menjadi ironis adalah pada SK Kepala BIG Nomor 28/2019 tentang Kelompok Kerja IGT, dimana nama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai perwakilan kelompok masyarakat sudah tidak ada lagi di dalam Pokja IGT tersebut.

 

Masyarakat adat di Enrekkang saat proses pemetaan partisipatif. Foto: Wahyu Candra/Mongabay Indonesia

 

Pentingnya Peta Wilayah Kelola Masyarakat dalam Kebijakan Satu Peta

Salah satu tujuan kebijakan satu peta hadir yaitu untuk meminimalisir atau bahkan mengatasi tumpang tindih atas ruang yang menjadi dasar timbulnya konflik keruangan (konflik batas, ruang dan lahan) yang melibatkan masyarakat korban sebagai subjek utama.

Oleh karena itu, maka menjadi ironis jika data-data spasial masyarakat tidak diakomodir dan/atau belum diakomodir sebagai salah satu acuan dalam proses sinkronisasi dan integrasi.

Padahal tanpa data pembanding dari masyarakat, semua data sektor/tematik yang diproduksi wali data, sinkronisasi hanya akan terjadi antar kementerian dan lembaga. Upaya penyelesaian konflik tumpang tindih dengan masyarakat menjadi tidak akan tersentuh.

Sementara ini sebenarnya sudah banyak peta partisipatif yang dihasilkan oleh masyarakat dan diberikan kepada K/L secara reguler. Sebagai contoh, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) hingga tahun 2019 yang telah mengkonsolidasikan sekitar 14,5 juta hektar lahan yang telah dipetakan secara partisipatif. Dari total tersebut, hampir 7.8 juta ha wilayah adat yang sudah diregistrasi oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) merupakan potensi hutan adat.

 

Pemetaan Partisipatif dan Persoalan Perbedaan Metodologi

Dalam penyediaan data, maka selain IGT yang dilakukan oleh instansi pemerintah/ pemda, sebenarnya masyarakat dapat berkontribusi dalam menyelenggarakan penyediaan IGT.

Namun yang yang terjadi, keterlibatan dan partisipasi masyarakat (adat dan masyarakat lokal) dalam penyediaan data spasial masih dianggap sebagai pelengkap dan masih terbatas pada peran serta untuk melengkapi data IGD (Informasi Geospasial Dasar).

Dalam implementasinya, BIG pun telah menetapkan SOP pemetaan Partisipatif sebagai acuan bagi masyarakat dalam berkontribusi data untuk melengkapi peta dasar (IGD).

Masalahnya, metodologi penyediaan data desa masih terpaku pada standar kartografi yang terlalu kaku dan rumit (standar, alat maupun lisensi). Metode pemetaan survey dengan handheld GPS tidak diakomodir, sementara spesifikasi teknis penyajian peta desa melalui teknik kartometrik (deliniasi di atas peta dasar) juga tidak memenuhi kualifikasi peta desa yang diharapkan. Ironisnya, BIG justru mengembangkan metode pemetaan desa tanpa kesepakatan yang jauh dari mandat dan semangat Permendagri Nomor 45/2016 tentang Batas Desa.

Walhasil, terdapat perbedaan hasil peta desa yang dibuat oleh masyarakat lewat metodologi partisipatif dengan peta desa yang dikeluarkan oleh BIG dan BPS (Badan Pusat Statistik).

 

Peta overlay hasil pemetaan partisipatif, peta BPS dan BIG. Dari gambar terdapat perbedaan hasil peta desa yang dibuat oleh masyarakat dengan metodologi partisipatif dan peta desa yang dikeluarkan oleh BIG dan juga BPS. Perbedaan signifikan bukan sekedar masalah standard, akurasi alat tetapi lebih pada soal metodologi (data diolah JKPP).

 

Sebagai contoh gambar di atas yang diambil di Kabupaten Lebak, Banten. Berdasarkan hasil overlay beberapa data peta tematik yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan data hasil pemetaan partisipatif menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan. Perbedaan ini tentu akan menjadi sumber potensi konflik penguasaan dan pemanfaatan lahan, dari sisi batas administratif, status, maupun fungsi ruang.

 

Penutup

Klaim pencapaian kebijakan satu peta oleh pemerintah telah mengabaikan ruang hidup masyarakat dengan tidak memasukan peta partisipatif dalam kebijakan tersebut baik dalam tahap kompilasi, integrasi bahkan sinkronisasi. Hal ini tentu membuka tafsir akan potensi konflik ruang yang dapat terjadi masa yang akan datang.

Oleh karenanya penting untuk melakukan hal sebagai berikut:

1) Kompilasi dan mengintegrasikan peta masyarakat kedalam kebijakan satu peta sebagai salah satu data rujukan dalam melakukan proses verifikasi status dan fungsi ruang lintas kementerian;

2) Dalam rangka mewujudkan partisipasi masyarakat terhadap Kebijakan Satu Peta, diperlukan adanya kejelasan mekanisme adopsi, verifikasi, registrasi dan penetapan serta standarisasi oleh walidata (NSPK);

3) Memperjelas ketersediaan kelembagaan didaerah sebagai wadah koordinasi, konsolidasi peran, fungsi dan kewenangan yang merupakan kepanjangan tangan walidata.

4) Peta wilayah adat harus menjadi baseline dalam kebijakan satu peta;

5) Tersedianya ruang bagi publik untuk input data dan mengintegrasikan peta partisipatif yang telah dihasilkan termasuk  mekanisme yang jelas NSPK pasca input data.

 

* Imam Hanavi, penulis adalah Kepala Divisi Advokasi Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Artikel ini merupakan pendapat penulis.

 

 

Exit mobile version