Mongabay.co.id

Cerita dari Tenda Perjuangan Warga Penolak Tambang Emas Gunung Salakan [1]

Gunung Salakan, tampak dari kejauhan, yang akan jadi sasaran eksplorasi tambang emas. Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Dua anjing tampak mengendap-endap mendekati dapur umum berukuran sekitar 4×6 meter bertutup terpal biru. Ibu-ibu dari Dusun Pancer, tak asing dengan kehadiran hewan itu. Mereka justru memberi makanan pada kedua anjing itu. Serupa dengan sekumpulan kucing yang ada di sekitaran tenda. Antara anjing dan kucing pun kompak, tak bermusuhan.

Tak jauh dari dapur umum, ada tenda lain lebih panjang, sekitar 4x 9 meter. Di tenda inilah warga Dusun Pancer berkumpul. Ada lelaki, perempuan, remaja, maupun anak-anak turut orangtuanya sepulang belajar.

Baca juga: Kala Warga Banyuwangi Tolak Tambang di Gunung Salakan

Inilah suasana di tenda perjuangan warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur. Tenda perjuangan ini sebagai protes warga terhadap rencana eksplorasi tambang emas di Gunung Salakan, yang berdekatan dengan Gunung Tumpang Pitu.

Kami tiba di tenda pada 29 Januari 2020, tepat hari ke-22 warga bikin tenda perjuangan. Warga datang dan pergi, mengisi tenda.

Lokasi ini di tepi jalan yang menghubungkan antara Pantai Pulau Merah dengan Pantai Mustika, Pancer.Setiap hari jalanan itu dilalui kendaraan-kendaraan yang memuat material untuk kebutuhan perbaikan jalan dan irigasi tepi jalan.

“Warga bikin tenda ini tanpa rencana. Ya, bermula pada 8 Januari 2020 itu. Waktu itu, kami menghadang Brimob yang mengawal peneliti untuk survei cadangan mineral di Gunung Salakan. Kami menolak,” kata Bambang, warga Pancer. Kala itu, Brimob bikin tenda di sana.

Baca juga: Mereka Terus Suarakan Penyelamatan Tumpang Pitu dari Tambang Emas

Hari itu, katanya, warga berinisiatif sama-sama bikin tenda, tepat di samping tenda Brimob. “Tapi tenda mereka sudah dibongkar malam itu, jam 10.00 malam. Kami lanjut sampai sekarang. Takut kecolongan,” katanya.

 

Suasana di tenda perjuangan kala warga berkumpul. Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, warga melarang peneliti Universitas Trisakti, PT Bumi Suksesindo (BSI), PT Damai Sukses Indonesia (DSI), dan polisi melintas di jalan kampung menuju Gunung Salakan. Warga menolak ada kegiatan apapun di Gunung Salakan dan sekitar.

DSI, perusahaan berkedudukan di Jakarta Utara, bergerak bidang pertambangan yang memegang izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi seluas 6.558,46 hektar. DSI, anak perusahaan BSI– dengan kepemilikan saham 99%. Keduanya, anak perusahaan PT. Merdeka Cooper Gold.

Baca juga: Protes Tambang Emas: Cari Keadilan, Warga Banyuwangi Kayuh Sepeda ke Surabaya

IUP eksplorasi DSI, sesuai SK Gubernur Jawa Timur No. P2T/83 tertanggal 17 Mei 2018, ada perpanjang waktu IUP eksplorasi hingga 25 Januari 2022. Lokasinya, di Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi, seluas 6.558,46 hektar.

Dalam pertimbangan teknis pinjam pakai kawasan hutan No.522 tertanggal 23 Januari 2018, DSI mendapatkan izin eksplorasi pertambangan emas di kawasan kelola RPH Sanepo Selatan, Pulau Merah dan Kesilir Baru, BKPH Sukamade dan Pesanggaran. Juga, Bagian Hutan Genteng, KPH Banyuwangi Selatan, Desa Sumberagung dan Kandangan, Lecamatan Pesanggaran. Total luasan sekitar 2.231,21 hektar.

Kedua perusahaan tambang ini dapat izin di pesisir selatan Banyuwangi, yakni, di Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Salakan, merupakan kawasan rawan bencana (KRB).

Sebelum ada BSI dan DSI, pada 7 November 2006, PT Indo Multi Niaga, mengajukan permohonan peningkatan kuasa pertambangan ke tahap eksplorasi. Ratna, Bupati Banyuwangi, kala itu, mengeluarkan surat pemberian KP eksplorasi pada 16 Februari 2007 seluas 11.621,45 hektar. Ia mencakup Desa Sumberagung, Pesanggaran, Bayuwangi. Selain Tumpang Pitu, seluas 1.700 hektar, konsesi IMN juga mencakup Katak, Candrian, Gunung Manis, Salakan, Gumuk Genderuwo dan Rajeg Wesi.

Sebelumnya, dalam berita Mongabay, juru bicara BSI Teuku Mufizar Mahmud menilai wajar ada kelompok warga menolak. Namun, BSI telah sosialisasi kepada semua lapisan masyarakat di sekitar Pancer dan wilayah sekitar pada November 2019.

Sosialisasi menjelaskan, bakal ada kegiatan survei geolistrik sebagai survei awal mendeteksi kandungan mineral di Lompongan dan Gondoruwo.

“Bukan di Gunung Salakan, harus diluruskan,” katanya.

Survei geolistrik dilakukan di tiga titik. Tim survei sebanyak 70 orang terdiri atas peneliti dari Universitas Trisakti, dan 40 warga lokal yang membantu proses survei. Warga lokal membantu agar tak ada gangguan selama proses survei. Dalam proses survei, tim menarik kabel di beberapa lubang berdiameter satu meter dengan kedalaman 50 centimeter.

Kabel berlapis aluminium foil, dialiri listrik. Ada delapan titik, setiap titik terdiri atas tiga baris. Total ada 24 baris. Satu baris dipasang kabel dialiri listrik. “Setrum pada jarak aman yang dijaga. Cukup aman,” katanya.

Hasil survei dapat dibaca kandungan mineral di dalamnya. Survei ini merupakan tahap awal dalam sebuah tahapan survei mineral. Selanjutnya, akan ditentukan tahapan berikutnya. Estimasi survei, jika lancar berlangsung sekitar sebulan. “Belum ada eksplorasi apalagi eksploitasi. Kekhawatiran akan penambangan tak benar,” katanya.

Di lapangan tak selancar harapan, terjadi penolakan. Dia menilai, kelompok tolak tambang ada unsur kesengajaan agar kegiatan survei geolistrik tak berjalan. Selama proses survei brimob Polda Jatim mengawal.

Teuku mengatakan, kalau kawasan tambang BSI merupakan obyek vital nasional. Dalam keketentuan pemerintah, katanya, obvitnas harus diamankan.

“Itu prosedur. Selama ini pihak yang mengamankan bertindak baik. Tidak akan yang melakukan kekerasan terhadap warga. Sekalipuan mereka menolak,” katanya.

 

 

***

Warga Dusun Pancer, mata pencaharian utama nelayan dan tani. Meskipun begitu, alam daerah barat daya Banyuwangi ini terkendal keindahannya hingga jadi destinasi wisata, seperti Pantai Mustika Pancer.

Zainal Arifin, warga Desa Ringintelu, Kecamatan Bangorejo, turut bersolidaritas dengan warga Pancer di tenda perjuangan, mengatakan, aksi ini akumulasi masyarakat yang selama ini diam. Warga, katanya, hanya bisa merasakan dampak ada pertambangan di Tumpang Pitu.

“Masyarakat di sini tidak tahu IUP itu bagaimana. Yang punya siapa. Kenyataannya, hari ini akan ada perluasan pertambangan di Gunung Salakan.”

Masyarakat berusaha Gunung Salakan tetap terjaga karena kawasan itu pertahanan mereka. Warga di sana, katanya, punya pengalaman alami tsunami, sumber air juga dari pegunungan itu dan kala nelayan kena angin barat, tidak bisa melaut, mengandalkan pengharapan dari gunung.

Perusahaan pertambangan emas, BSI, di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran berlokasi di dekat pantai Pulau Merah, Pancer, Wedi Ireng, Lampon, Parang Kursi dan beberapa garis pantai sekitar. Pantai-pantai ini merupakan tujuan wisata di Banyuwangi.

Pulau Merah, disebut primadona wisata dan pantai paling menarik di Banyuwangi. Pemerintah Banyuwangi pun gencar promosi obyek wisata ini kepada dunia.

 

Pintu masuk ke Dusun Pancer, Banyuwangi. Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia

 

Keindahan Pulau Merah, mendatangkan daya tarik luar biasa bagi wisatawan domestik dan mancanegara meskipun jalan menuju lokasi terbilang buruk. Jalan berlubang, ketika hujan datang, genangan air menutup lubang-lubang di jalan dan mengecoh para pengendara.

Tenda perjuangan ini ada di tepi jalan menuju gerbang pemukiman Dusun Pancer. Tepat di seberang tenda ada pertigaan kecil, akses menuju Gunung Lompongan. Itu akses masuk bila ada survei geolistrik sebagai survei awal mendeteksi kandungan mineral di Lompongan dan Genderuwo.

Warga dari sejumlah dusun di sekitaran Tumpang Pitu dan Gunung Salakan, bergantian berjaga setiap hari. Ketika sebagian besar bekerja, yang tak bekerja berjaga. Beberapa nelayan yang tak melaut membawa pekerjaan yang sekiranya bisa dikerjakan di tenda, seperti memperbaiki jala sebagai persiapan untuk melaut.

Beberapa petani dan pedagang, juga merapat ke tenda usai bekerja. Terkadang terlihat mereka sekadar melepas lelah di sela pekerjaan. Sepulang sekolah, anak-anak kecil berlarian dan bermain di sekitaran tenda. Tenda ini terbangun gotong royong.

“Sehari bisa masak 8-10 kg beras. Kalau yang ke sini banyak, atau pas barengan sama istighosah, tentu lebih banyak. Alhamdulillah, semua bahan tak pernah kurang. Selalu ada saja orang baik yang membantu perjuangan kita. Yang tidak bisa jaga tenda, sumbang rezeki bahan-bahan. Yang sedang tidak punya rezeki, sumbang tenaga jaga dan beres-beres tenda,” kata Suparti, seraya berkata, terpenting guyub dan rukun berjuang bersama-sama.

Kala masak nasi di tenda, dia punya pengalaman aneh. Ketika awal-awal tenda berdiri, masak nasi mulai pukul 9.00 pagi, hingga pukul 12.00 siang, masih beras.

“Masih utuh berbentuk beras. Itu yang membuat kami terheran-heran. Alhamdulillah, di sini kuat semua. Setelah kejadian itu, tidak pernah ada kejadian lagi seperti itu,” katanya. Dia mengaitkan kejadian itu dengan sesuatu berbau mistis.

 

Sayur mayur sumbangan atau gotong royong warga di dapur umum tenda perjunagan Dusun Pancer. Foto: RZ Hakim/Mongabay Indonesia

 

Konflik antar warga

Rabu, (29/1/20), datang dua pria usia sekitar 50 tahunan. Mereka berdua menyampaikan keinginan untuk mengumpulkan warga buat acara yasinan dan istighosah bersama di rumah warga di Pancer. Mereka juga ingin mengajak warga bermusyawarah. Keinginan itu ditolak mentah-mentah warga, terutama kalangan ibu-ibu.

“Kalau mau musyawarah, yasinan, istighosah ya, di sini. Di tenda ini. Di sini tempat kita. Nggak usah di tempat lain. Kalau mau yasinan sendiri ya ke sana. Jangan memindah yang di sini. Masalahnya, kita sudah krisis kepercayaan,” kata Mis, warga Pancer.

Krisis kepercayaan warga, katanya, karena kejadian-kejadian lalu yang membuat mereka terpecah belah. Ketakutan Mis, ketika datang di acara selain di tenda bisa jadi bukti kuat oleh pro tambang.

“Biasa kita difoto-foto. Kelihatan ngumpul bareng kalau difoto. Trus foto ditunjukkan ke orang-orang, jadi bahan pembicaraan. Iki lho, wes pro tambang.”

Kalangan ibu-ibu menyambut riuh kedatangan dua pria itu. Satu sama lain saling memberikan argumen menolak usulan ini.

Orang-orang Pancer, rata-rata menolak pertambangan emas di dusun mereka.

Buaian kesejahteraan dengan ada perusahaan tambang emas, malah berbuah permasalahan sosial makin tinggi. Konflik antar saudara, keluarga, tetangga, teman terus terjadi antara mereka pro tambang dan penolak tambang.

“Dampak sosial sangat luar biasa, antara yang sudah bekerja di tambang dan tidak. Yang dianggap pro tambang adalah orang-orang yang mendapatkan uang, digaji ataupun proyek dari perusahaan pertambangan,” kata Zainal.

Dia bilang, sampai ada ibu dan anak bertengkar, hingga harus keluar dari rumah. “Ada kakak dan adik yang sampai tidak saling bertegur sapa. Apakah ini yang dinamakan kesejahteraan? Kalau harus mengorbankan keluarga, pergaulan sosial antara tetangga.”

Sampai-sampai acara khitanan dan menikah, tak ada yang datang kondangan. “Yasinan dan pengajian pun yang biasa 20-100 orang, kalau yang ngadakan orang-orang pro tambang, yang datang hanya tujuh orang. Apakah kira-kira ini wujud kesejahteraan?” (Bersambung)

 

(Catatan redaksi: revisi 10 Maret 2020)

Keterangan foto utama:  Gunung Salakan, tampak dari kejauhan, yang akan jadi sasaran eksplorasi tambang emas. Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version